Suatu hari, Rian, seorang pengantar pizza, melakukan pengantaran di siang hari yang terik.
Namun entah kenapa, ada perasaan aneh yang membuat langkahnya terasa berat saat menuju tujuan terakhirnya.
Begitu sampai di depan pintu apartemen lokasi pengantaran itu, suara tangis pelan terdengar dari dalam di ikuti suara kursi terguling.
Tanpa berpikir panjang, Rian mendobrak pintu dan menyelamatkan seorang gadis berseragam SMA di detik terakhir.
Ia tidak tahu, tindakan nurani itu akan menjadi titik balik dalam hidupnya.
Sistem memberi imbalan besar atas pencapaiannya.
Namun seiring waktu, Rian mulai menyadari
semakin besar sesuatu yang ia terima, semakin besar pula harga yang harus dibayar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quesi_Nue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 - Yuna Trauma
Rian menoleh ke jam dinding.
05.50.
“…Ada apa, Yun…? Masih pagi banget…” suaranya serak, jelas baru bangun.
Yuna mengembungkan pipi.
“Kakak lupa mau Mindahin Yuna!
Rian terdiam setengah detik mencerna...
“ASTAGA.”
Rian baru teringat janji yang ia ucap kemarin, janji buat melepas secara resmi Yuna dari sekolah swasta lamanya.
Sekolah yang sudah tidak bisa Yuna hadiri selama 15 hari karena masalah ekonomi yang menyesakkan itu.
Dan hari ini… mereka harus datang untuk menyelesaikan administrasi, mengambil berkas, dan memulai semuanya dari awal ke sekolah yang baru.
Rian mengusap wajahnya cepat, rasa panik kecil mulai naik.
“Maafin kakak, Yun… ayo siap-siap. Kita berangkat habis mandi.” tutur rian langsung berdiri dan berlari ke kamar mandi.
Di belakangnya, Yuna hanya bisa mengangguk kecil, diam-diam tersenyum tipis.
Ia turut memutar badan, merapikan sedikit rambutnya yang berantakan habis mandi.
Siswi itu bergerak ke dapur, langkah nya ringan, tapi ada kesungguhan di matanya untuk memulai masak masakan pertama nya.
Kemarin pagi…
Rumah sederhana itu terasa hangat dengan aroma bawang putih yang baru ditumis.
Yuna, berdiri kikuk sambil memegang sapu pandangan matanya sedikit bimbang, seolah takut menginjak lantai yang bukan milik nya.
"Bu..."
Yuna menarik napas, memberanikan diri.
"Cara masak gimana, Bu? Aku… nggak enak numpang di rumah tapi cuma berleha-leha. Takut ngerepotin ibu dan kak Rian."
Suaranya kecil.
Mata Yuna menunduk.
Jari-jarinya menekan ujung bajunya sendiri tanda ia gelisah, takut salah gerak.
Ibunda Rian, Bu Siti yang sedang memotong sayur menoleh pelan.
Ada kehangatan di matanya, sedikit terkejut, tapi lebih banyak rasa iba melihat gadis sekecil itu menahan beban besar.
Ia mengusap kepala Yuna lembut, gerakan nya penuh empati.
“Udah… nggak usah takut begitu, Nak. Kamu nggak ngerepotin siapa pun. Santai aja. Kamu hanya perlu fokus belajar yang rajin.”
Yuna menggigit bibir bawahnya sebentar, lalu menggeleng cepat.
“Gapapa, Bu… ajarin aku juga! Soal belajar… aku udah belajar kok! Biar aku bisa bantu masak juga…”
Nada suaranya memaksa dirinya tampak tegar, tapi mata Yuna berkaca sedikit campuran ingin berguna, takut merepotkan, dan ingin dianggap bagian dari rumah itu.
Bu Siti mengembuskan napas kecil antara tersenyum dan terharu.
Ia sempat menggeleng perlahan, memandangi kesungguhan yang bahkan melebihi anak seumur itu.
Lalu ia menggeser posisi, memberi ruang di sisi kompor.
“Ayo sini, ibu ajarin kamu. Tapi hati-hati ya, jangan dekat api dulu nak.”
Mata Yuna langsung berbinar.
“Ayo, Bu!”
---
Beberapa menit kemudian…
Rian keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya dengan handuk.
“Uh… mantap nya mandi dingin pagi-pagi begini…” keluhnya sambil menggigil kecil.
Tiba-tiba hidungnya menangkap sesuatu.
Aroma tumisan bawang yang harum, lembut, tapi jelas terasa.
Rian menoleh ke kanan.
Di dapur kecil itu Yuna berdiri di atas bangku kecil, apron kebesaran milik ibunya menggantung lucu di tubuh nya, spatula di tangan, wajah fokus luar biasa.
“Eh, Yuna… kamu bisa masak?” tanya Rian, separuh kagum, separuh tak percaya.
Yuna menoleh cepat.
Mata besarnya berkedip dua kali, agak kikuk karena kaget dipanggil, tapi bibirnya langsung melengkung senyum malu-malu.
“Oh! Kak Rian… bisa kok!
Aku diajarin sama Ibunda Kak Rian kemarin!”
Nada suaranya ceria tapi sedikit gugup.
Pipi kanannya memerah, bangga tapi takut salah.
Ia menunjuk wajan kecil di depannya dengan spatula seperti memperlihatkan nya.
“Lihat, Kak! Aku nggak gosongin apa-apa!”
Matanya berbinar campuran bangga, deg-degan, dan ingin diacungi jempol.
Rian mencondongkan badan, menatap masakan dengan saksama. Wajahnya masih setengah mengantuk, tapi matanya mulai terang.
“Iya iya deh… kamu benar. Oh iya, Yuna, udah masak belum? Nanti kakak nilai, ya!” ucap Rian sambil mengerutkan dahi, tapi terdengar nada serius di suaranya.
“Kalau enak, nanti kita pindah ke rumah baru,” lanjutnya, menambahkan tekad dalam suaranya.
Ucapan Rian serius karena merasa rumah orangtuanya ini kecil menampung sekeluarga nya, dan ia enggan merenovasi karena peninggalan ayah nya, lebih baik pindah.
“Serius, Kak?” tanyanya lirih, suaranya bergetar.
“Iya, serius Yuna. Kakak cuma mau pindah kalau masakan mu layak dicoba dulu,” jawab Rian, tersenyum bercanda.
Rian menerima mangkok berisi nasi goreng. Warnanya sedikit gosong di beberapa bagian, menghitam tipis.
“Waduh… ga enak nih,” pikir Rian, tapi ia tetap mengangkat sendok dan mulai memakannya. Sekilas rasanya pahit, tapi Rian berusaha tetap tersenyum.
“Enak, Yuna! Nasi gorengnya… mantap!” ucapnya sambil menahan senyum. Lalu menambahkan, “Kalau gitu, kita pindah hari ini juga!”
Yuna langsung melonjak kecil, wajahnya berbinar. “Oke, Kak! Makasih, Kak!” serunya, lalu memeluk Rian dengan hangat.
Rian membalas dengan pelukan ringan, menepuk punggungnya sebentar.
“Udah-udah… kita pergi dulu yuk ke sekolahmu. Nanti telat, guru udah mulai ngajar,” ucapnya sambil tersenyum dan sedikit beralasan agar Yuna tidak khawatir soal nasi gorengnya yang pahit.
Yuna mengangguk sambil tersenyum malu-malu, lalu perlahan melepaskan pelukan nya.
Kedua nya yang seperti kakak-adik itu telah berganti pakaian lebih rapi, Yuna memakai seragam sekolahnya yang lama.
Sedangkan Rian tampak formal menggunakan kemeja garis garis dan segera bergerak menuju sekolah Yuna setelah berpamitan dengan ibunda Rian, Siti.
Siti tersenyum hangat sambil menepuk pundak mereka berdua.
“Hati-hati di jalan ya, Nak. Belajar yang rajin, jangan keluyuran Rian,” ucapnya penuh perhatian.
Rian mengangguk mantap, menatap Yuna sebentar memberi isyarat untuk mengikuti.
“Siap, Bu. Kita berangkat sekarang ya, Bu,” ucap rian sambil mereka melambai kecil ke arah ibunya di ujung pintu rumah.
Brmmm… suara mesin motor memecah kesunyian jalanan pagi itu.
“Arahin Yun, kakak nggak hapal jalan nya!” teriak Rian sedikit keras, sambil menahan angin yang menerpa wajahnya.
“Iya, Kak!” balas Yuna, menoleh sekilas sambil menahan rambut nya yang tertiup angin.
“Belok kiri, Kak!”
“Belok kanan, Kak!”
“Lurus, Kak!”
“Kiri, Kak… sudah, tuh belok kanan!”
Rian mengerutkan kening, mencoba mengikuti arahan Yuna sambil tersenyum tipis.
Akhirnya, setelah beberapa menit melaju di jalanan pagi yang sepi, mereka tiba di depan gerbang sekolah swasta internasional itu dan segera memasuki halaman yang luas.
“Gilaa… mahal bener nih, pasti iuran sekolahnya,” gumam Rian sambil menatap bangunan megah, dinding bercat putih bersih, dan halaman yang penuh bunga rapi tersusun.
Ia menahan napas sejenak, merasa agak terpesona sekaligus waswas pasti biaya sekolah segini tentu bikin kantong panas.
Yuna menatap sekeliling dengan mata berbinar, pipinya sedikit memerah.
Ia tampak kagum sekaligus cemas, langkahnya ragu-ragu saat menuruni motor.
“Iya kak… keren…” suaranya pelan, hampir berbisik.
Baru saja mereka menapak di lantai halaman parkir motor, panel biru yang familiar tiba-tiba muncul di hadapan Rian, membuat dada nya berdetak lebih cepat.
[Ding!]
[Misi Lanjutan : Yuna Dirilis]
[Deskripsi : Buat Trauma Yuna Di Sekolah XXXX membaik]
[Reward : Mendapatkan Stat Acak!]
[Kegagalan : Trauma Yuna memburuk]