NovelToon NovelToon
Jangan Salahkan Aku, Ibu

Jangan Salahkan Aku, Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Poligami / Bullying dan Balas Dendam / Hamil di luar nikah / Cintapertama / Mengubah Takdir
Popularitas:300
Nilai: 5
Nama Author: Widhi Labonee

kisah nyata seorang anak baik hati yang dipaksa menjalani hidup diluar keinginannya, hingga merubah nya menjadi anak yang introvert dengan beribu luka hati bahkan dendam yang hanya bisa dia simpan dan rasakan sendirian...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widhi Labonee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kunjungan Teman dan Guru

Tiwi masih harus menjalani perawatan di Rumah Sakit selama delapan hari. Selama itu dia tidak masuk sekolah. Hingga di hari kelima dia dirawat, semua teman sekelasnya dan bu Guru datang menjenguknya di rumah sakit.

"Sakit apa Tiwi? Yang sabar ya, Bapak kamu sekarang sudah ada di surga. Kamu jangan sedih-sedih. Jangan sakit, kasian ibumu Nak," ujar Bu Sripeni sang wali kelas sembari mengusap lembut kepala Tiwi.

" Lekas sembuh ya Tiwi, biar cepat masuk sekolah dan main sama kita,"kata Heni dan Erna yang merupakan sahabat Tiwi di kelas.

"Berarti Tiwi sekarang yatim ya? Kan sudah tidak punya Bapak lagi?" tanya Emi yang mulutnya agak tajam itu.

"Ih kasihan Tiwi, nggak kayak aku dong masih punya bapak," kata Emi lagi. "Kamu jangan jahat gitu Emi, Tiwi sudah kehilangan bapaknya, kita harus menghiburnya," tukas Heni cepat membela sahabatnya.

"Kata guru ngajiku, doa anak yatim itu paling cepat dikabulkan oleh Allah," ujar Sulis menambahkan.

"Kalau begitu kamu berdoa saja Tiwi biar Bapakmu masuk surga," kata Unah teman yang rumahnya ada di belakang rumah Tiwi.

Semua teman Tiwi berusaha menghibur hatinya, menumbuhkan semangat Tiwi agar mau kembali sekolah lagi.

"Yang sabar ya Bu," ucap Bu Sri Peni kepada bu Riyanti," ibu harus selalu mendampingi Tiwi, kasihan dia. Oh iya, kami mohon diri dulu karena harus cepat pulang daripada anak-anak semakin membuat ribut di rumah sakit. Ini titipan dari teman-teman Tiwi dan para Guru disekolah Bu, sekedarnya saja, mohon maaf nggeh."

Bu Sri Peni pun menyampaikan amplop berisi uang belasungkawa kepada Riyanti, yang dibalas.ucapan terimakasih oleg ibu satu anak itu.

"Tiwi cepat sembuh ya..!" serempak anak-anak sekelas berpamitan kepada gadis kecil itu. Dia hanya bisa mengangguk, matanya kembali berkaca-kaca.

Setelah kepergian guru dan temannya, Tiwi kembali terisak karena dia mengingat almarhum bapaknya.

"Ibu Aku sudah tidak punya Bapak lagi ya.. Aku anak yatim ya Bu?" tanyanya terbata-bata. Riyanti hanya bisa memeluk anaknya, diusapnya rambut panjang Tiwi,"Sabar ya Sayang, kita doakan Bapak di surga sana. Semoga suatu saat kita bisa berkumpul bersama lagi."

"Aamiin," jawab Tiwi lirih.

Sore itu Mbah Mirah dan Bude Narti ditemani oleh Anik sedang bercengkrama di beranda depan dapur. Mereka membahas selamatan 40 hari almarhum Bapaknya Tiwi.

"Rencananya nanti kita memotong ayam lagi atau membeli daging sapi saja Bu?" tanya Bude Narti kepada Mbah Mirah. "Kalau menurut aku beli daging saja Nar. Selain lebih menghemat waktu juga gampang untuk mengolah satu lauk itu. Kuenya saja yang ditambahi jenisnya," jawab Mbah Mirah.

"Oh, baiklah Bu. Besok aku ke Mbakyu Sarip kalau begitu, memintanya untuk menyiapkan 10 kg daging dan 4 Kg tetelan untuk rawon, aku pesankan dulu, biar nanti pas hari ke empat puluh tidak mendadak, belum tentu kita kebagian daging baik kalau tidak pesan dari sekarang, begitukan Bu ?" tanya Bude Narti kepada ibunya.

"Iya Nar, aku rasa Riyanti pasti menyetujuinya." jawab Mbah Mirah.

"Tugas Riyanti akan semakin berat karena dia juga harus menepis anggapan tetangga tentang statusnya yang kembali menjadi janda..." ujar bude Narti dengan nada rendah.

"Iya Nar, aku tahu itu, aku akan menjaga dan selalu mengingatkan Riyanti untuk menjaga sikapnya apalagi tetangga sekitar mengawasi setiap gerak-geriknya." mbah Mirah berkata getir.

Bude Narti menarik nafas panjang,

"Untuk sementara jangan biarkan Riyanti keluar rumah dan pulang malam Bu, demi menjaga nama baiknya sendiri. Lebih baik dia bekerja dirumah saja dengan menerima jahitan dari para pelanggannya dulu. Bukankah mesin jahit nya baru saja diganti model yang terbaru oleh almarhum Dek Fendi."

"Oh iya ya Nar, aku akan sampaikan pesanmu itu pada adikmu," jawab Mbah Mira antusias. Secerca harapan terbersit di wajah tuanya itu. Bukankah anak perempuannya nomer dua itu masih memiliki keahlian yang bisa dimanfaatkan untuk menyambung hidup kedepannya nanti.

"Loh Nik, apakah anakmu sudah pulang sekolah?" tanya Bude Narti kepada Anik.

"Sudah Bu, Budi dan Lili bermain di belakang rumah, Lestari sedang tidur di kamar. Eeng .. anu Bu sepertinya aku hamil lagi,"ujar Anik kepada ibunya.

"Ya ampun?! Apakah kamu sudah bilang pada Sutris suamimu Nik?" Bude Narti kaget.

"Sudah Bu, katanya ini harus menjadi kehamilanku yang terakhir. Setelahnya aku harus ikut program tutup hamil,"imbuh Anik.

"Iya Nduk, aku setuju kata suamimu itu, setelah ini kamu tinggal merawat dan membesarkan keempat anakmu, jangan ditambahin lagi,"nasihat Mbah Mirah kepada cucunya.

"Sepertinya Misti juga isi Bu,"ucap Anik yang membuat Bude Narti kembali terkejut. Bagaimana tidak, anak perempuan dan menantunya hamil di waktu yang bersamaan. Dia akan mendapat dua cucu sekaligus.

"Wah, pasti akan ramai rumah ini oleh tangisan bayi-bayi kecil lagi," kata Mbah Mirah yang akan mendapat tambahan dua cicit.

"Bilang sama Misti, setelah melahirkan dia harus ikut tutup hamil bersamamu," ujar Bude Narti tegas.

"Baik Bu, akan aku sampaikan," jawab Anik.

" Kapan Tiwi boleh dibawa pulang?" tanya Bude Narti lagi.

"Mungkin besok, tadi sewaktu Bulik pulang sebentar dia sempat bilang jika malam ini Tiwi tidak panas lagi, maka besok boleh pulang,"jawab Anik.

"Hm,, Kasihan anak kecil itu, dia begitu mencintai bapaknya, dan sekarang dia harus kehilangan sosok itu dalam hidupnya," ujar Bude Narti pelan.

"Iya Bu, aku juga sangat kasihan setiap kali melihat Tiwi yang tiba-tiba meneteskan air matanya, mungkin dia ingat paklik Fendi," ucap Ani.

"Semoga saja air jampi-jampi dari mbah Siti Saleh ada hasilnya, dan Tiwi dapat segera melupakan kesedihannya," ujar Mbah Mirah.

"Lho, Ibu ke dukun itu lagi kah?" tanya Bude Narti memastikan. Mbah Mirah mengangguk.

"Usaha itu bukan hanya mengandalkan dokter Nar. Jika masih ada jalan lain kita harus memanfaatkannya kan,"kata Mbak Mirah sebelum dia ditegur oleh Putri keduanya itu.

" Oalah yo wes Bu, terserah ibu wae," Kata bude Narti menyerah.

...----------------...

Di rumah sakit, Riyanti sedang menghadap Suster diruang perawat. Dia menanyakan kepastian kapan Tiwi bisa dibawa pulang.

"Kapan kami bisa pulang Sus?"tanyanya.

"Jika malam ini dia tidak lagi panas tubuhnya, maka besok pagi sudah boleh pulang Bu,"Suster itu memastikan. "Tetapi masih harus tetap melakukan rawat jalan, kontrol lagi tiga hari ke depan bu," imbuh sang suster.

"Oh.. Baiklah suster. Terima kasih infonya."

Riyanti kembali ke kamar rawat, dia melihat sang anak yang sedang melamun.

"Apa yang sedang kamu pikirkan Ndhuk?"

"Kapan aku pulang Bu? Aku sudah bosan tiduran di rumah sakit terus.."

" Ibu baru saja bertanya pada suster, kalau malam ini kamu tidak panas lagi, maka besok pagi sudah boleh pulang."

"Horeee!! Aku bisa ketemu lagi sama Lupus, Melky dan Boy. Aku sudah sangat kangen bermain bersama mereka Bu, kasihan mereka ditinggal Bapak ke surga, jadi tidak ada yang mengajaknya bermain selain aku," ujar Tiwi dengan mata kembali berkaca-kaca.

Riyanti segera merengkuh tubuh kurus anaknya ini kedalam pelukannya.

"Iya Ndhuk yang sabar,, selalu doakan Bapakmu ya... Sudah, sekarang sudah malam, tidur ya.. Besok biar bisa bangun pagi-pagi kemudian bersiap untuk pulang."

" Iya Bu.." dan Tiwi pun mulai memejamkan matanya untuk tidur. Sementara itu Riyanti duduk bersandar di kursi di sebelah ranjang pasien. Mengusap-usap kepala anaknya dengan lembut, bersenandung lirih, hal yang bisa membuat Tiwi menjadi cepat terlelap.

Keesokan harinya dokter mengizinkan Tiwi untuk pulang dengan syarat harus menjaga pola makan dan tidak boleh bersedih serta tiga hari lagi kontrol kembali ke rumah sakit. Tiwi pun berjanji menyanggupi apa yang dikatakan oleh Pak dokter yang baik hati itu. Yang penting dia bisa segera pulang. Meskipun jarak rumah dan ke rumah sakit dekat, tetapi Riyanti mengajak Tiwi naik becak.

Di halaman sudah ada Mbah Mirah, Anik yang sedang menggendong Tari anak ketiganya, dan Mbak Minuk yang sengaja menunggu kedatangan Tiwi. Tidak disangka Mbak Darti, si tetangga usil mendadak muncul dari rumahnya yang berjarak dua rumah itu.

"Eh sudah pulang, sudah sembuh ya kamu Wi? Mestinya kamu nggak usah sedih begitu lah.. sehingga harus dirawat di rumah sakit. Bukankah Bapakmu yang sudah mati tidak mungkin bisa hidup lagi dan kembali ke rumah ini ? Jadi percuma saja kamu sedih Wi," ujar Mbak Darti kepada anak kecil yang berada di gendongan ibunya itu.

"Jangan berkata seperti itu kepada anak kecil yang belum paham apa-apa ini. Mbok ya dijaga to, Darti... Mulutmu itu,"tukas Mbah Mirah kepada Tetangga yang memang terkenal bermulut pedas ini.

"Lha wong aku cuma bermaksud mengingatkan cucu sampeyan Budhe Mirah, gitu saja kok marah.. Eh iya Yanti, ingat sekarang statusmu adalah janda, jadi kamu harus bisa menjaga sikap di kampung ini agar tidak menjadi gunjingan warga, juga kasihan Tiwi nanti jadi bahan ejekan di sekolahnya," imbuh Darti dengan nada yang menjengkelkan.

"Mbak Darti, kalau memang kamu tidak bisa menjaga mulutmu itu gak usah datang ke sini! Lebih baik kamu segera pulang sebelum sandalku melayang ke mulut pedasmu itu!" ujar Ani sembari menuding kearah Darti, "Bulikku bukan wanita murahan! Meskipun dia janda, dia adalah janda yang terhormat!!"

Darti hanya bisa menghentakkan kakinya ke tanah, kemudian tanpa berpamitan dia membalikkan badan dan melangkah kembali pulang ke rumahnya. Mbak Minuk hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan tetangganya yang menurutnya sangat unik itu.

"Sudah Dek, jangan marah-marah.. Bukankah kamu sedang hamil muda?Nyebut Dek.. nanti Anakmu mirip dia loh.." ujar Minuk kepada Anik yang segera beristighfar memohon ampun kepada Tuhan karena sempat menyumpahi dan memarahi tetangganya yang memang sangat keterlaluan mulutnya itu.

Akhirnya semuanya masuk ke dalam rumah milik Bu Mirah. Tampak Tiwi direbahkan di sofa yang ada di depan TV, anak kecil itu sedang berbaring sembari memeluk kucing kesayangannya. Sementara dua anjingnya duduk anteng di muka pintu tanpa berani masuk ke dalam rumah. Semua orang mengerti kedua anjing itu telah dididik dengan baik oleh almarhum pak Effendi untuk tidak bersikap galak orang yang sudah dikenalnya.

"Bagaimana Nduk rasanya sekarang? Apa masih ada yang sakit?" tanya Mirah kepada cucunya. Tiwi menggelengkan kepalanya.

"Nggak ada Mbah, aku sudah sembuh kok. Kata Pak dokter aku nggak boleh sedih jadi aku mau main-main saja sama Lupus, Melky, dan Boy biar hatiku senang. Dan aku akan selalu mendoakan Bapak di surga sana," jawab Tiwi sendu. Semua yang mendengar itu menjadi terharu, anak sekecil itu yang masih sangat membutuhkan kasih sayang orang tua secara utuh terpaksa harus kehilangan salah satunya, yaitu sosok Bapak yang sangat dicintainya. Sisa hari itu dihabiskan Tiwi untuk bermain dan melepas rindu kepada para hewan kesayangannya itu.

Sementara itu, Riyanti mencuci baju-baju yang digunakan selama di rumah sakit. Mbah Mirah memasak bubur nasi yang masih harus dikonsumsi oleh Tiwi hingga tiga hari ke depan.

" Jangan kamu menyimpan dendam terhadap semua omongan pedas dari orang-orang itu ya Ti,"ujar Mbah Mirah kepada putri ketiganya ini.

"Tapi jadikan omongan itu sebagai cambuk bagi dirimu untuk membuktikan bahwa kamu adalah wanita terhormat meskipun sekarang tidak memiliki seorang suami lagi. Tekuni kembali keahlianmu menjahit, cobalah untuk menerima kembali pelanggan-pelanggan lamamu. Kalau perlu pasang pengumuman di depan rumah jika kamu sudah terima jahitan lagi," usul Mbah Mirah.

" Iya Bu, aku akan memasang spanduk kecil-kecilan di pagar depan, agar orang tahu jika sekarang aku mulai menerima jahitan lagi,"jawab Riyanti.

"Sekalian aku akan memperdalam kemampuanku dengan les lagi ke Ta-cik Hwa modiste," imbuhnya penuh semangat.

"Ibu doakan semoga jahitanmu laris lagi seperti dulu Ti.."

"Aamiin.. Terima kasih doanya Bu, restumu adalah pegangan dalam hidupku. Temani aku sama Tiwi ya, agar aku kuat melanjutkan hidup ini meski tanpa Mas Effendi lagi.."

Dan hari-hari selanjutnya dua orang janda itu saling bahu-membahu merawat dan membesarkan Tiwi agar bisa jauh lebih bahagia dari sekarang.

...****************...

1
Widhi Labonee
Bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!