Mereka memanggilnya Reaper.
Sebuah nama yang dibisikkan dengan rasa takut di zona perang, pasar gelap, dan lingkaran dunia bawah.
Bagi dunia, dia adalah sosok bayangan—tentara bayaran tanpa wajah yang tidak meninggalkan jejak selain mayat di belakangnya.
Bagi musuh-musuhnya, dia adalah vonis mati.
Bagi saudara seperjuangannya di The Veil, dia adalah keluarga.
Namun bagi dirinya sendiri... dia hanyalah pria yang dihantui masa lalu, mencari kenangan yang dicuri oleh suara tembakan dan asap.
Setelah misi sempurna jauh di Provinsi Timur, Reaper kembali ke markas rahasia di tengah hutan yang telah ia sebut rumah selama enam belas tahun. Namun kemenangan itu tak berlangsung lama. Ayah angkatnya, sang komandan, memberikan perintah yang tak terduga:
“Itu adalah misi terakhirmu.”
Kini, Reaper—nama aslinya James Brooks—harus melangkah keluar dari bayang-bayang perang menuju dunia yang tak pernah ia kenal. Dipandu hanya oleh surat yang telah lusuh, sepotong ingatan yang memudar, dan sua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
THE SEVENTEEN MOON
Alexander duduk mencondongkan badannya ke depan, kedua siku bertumpu pada lutut, jari-jarinya saling menempel.
“Jadi… apa sebenarnya yang terjadi di Aethel Club tadi malam?” tanya Alexander pelan. “Alicia hanya menceritakan sedikit—bagaimana kau menyelamatkan dia dan yang lainnya. Untuk itu, James, aku benar-benar berterima kasih. Tapi aku merasa… ada sesuatu yang kau sembunyikan.”
James bersandar, kedua lengannya berada di sisi kursi, “Ada, Paman.”
Dia berhenti sejenak, menyusun pikirannya sebelum lanjut berbicara. “Aethel Club bukan hanya tempat hiburan malam dengan lampu neon dan musik jelek. Mereka menargetkan keluargaku. Mereka mengirim orang-orang untuk menyerangku. Salah satunya terhubung dengan insiden yang hampir merenggut nyawa Julian. Kondisi kesehatan ayah tiriku—apa pun yang memicunya—bukan kecelakaan.”
James melanjutkan, “Aku pergi ke sana tadi malam untuk mencari jawaban. Dan ketika aku tahu seberapa dalam korupsi itu berjalan, aku membuat keputusan. Tempat itu racun untuk kota ini. Narkoba, perdagangan manusia, eksploitasi. Aku membakarnya… bukan hanya untuk balas dendam, tapi untuk melindungi Alicia, Jenny, Grace, yang mungkin masuk ke sana dan tidak akan pernah keluar dengan cara yang sama.”
Alexander menghela napas lalu bersandar. “Aku selalu curiga ada yang tidak beres dengan tempat itu. Aku sudah memperingatkan Alicia tentang klub seperti itu, tapi kau tahu sendiri kalau dia sangat keras kepala. Kadang dia memang sedikit manja.”
Suara dari lorong menyela.
“Itu tidak adil, Ayah,” protes Alicia sambil melangkah masuk ke ruangan, kedua lengannya terlipat dengan alis terangkat.
Alexander menaikkan sebelah alis. “Apakah kau mendengarkan kami bercerita?”
“Kalian bicara tentang aku seolah-olah aku tidak ada di sini,” gerutunya. “Lagipula, aku selalu anak baik, ingat? Itu tidak terdengar seperti ‘manja’ bagiku.”
James terkekeh pelan lalu menggelengkan kepalanya. “Dia tidak sepenuhnya salah, kok.”
Alicia menoleh padanya, “Kau juga?!”
“Kau memang manja,” James menggoda lembut, “tapi kau juga berani. Pintar. Kau bertahan cukup lama di tempat mengerikan itu sampai aku bisa menemukanmu. Itu bukan hal kecil.”
Alicia menyipitkan mata, tapi bibirnya hampir tersenyum. “Tetap jahat.”
Alexander mengamati perbincangan itu, lalu dia kembali fokus pada James.
“Jadi… apa rencanamu sekarang?” tanyanya. “Kau mengatakan kau sudah pensiun dari The Veil. Kau sedang mencari pekerjaan? Kalau iya, aku memiliki banyak koneksi. Aku bisa menelepon beberapa orang untuk mengatur sesuatu yang cocok untukmu.”
James menghela napas perlahan, pandangannya naik ke arah lampu gantung. “Aku belum memutuskan. Aku tidak kembali untuk misi baru atau gelar baru. Aku kembali untuk kedamaian. Untuk keluargaku. Tapi…” James menatap Alexander, “Ada sesuatu yang bergerak di kota ini, Paman. Seseorang yang disebut Tuan Tua. Aku tidak tahu apa rencananya, tapi itu terhubung dengan obat itu… dengan masa lalu dan juga dengan Ayahku.”
“Kau tahu sesuatu,” kata James.
Kemudian Alexander berbicara. “Aku takut hari ini akan datang…”
James sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan.
Alexander bangkit, berjalan ke arah jendela, menatap taman luas kediaman itu. “Aku akan memberitahumu semuanya. Tapi setelah aku melakukannya, James, tidak ada jalan kembali.”
“Aku tidak pernah memiliki jalan kembali,” jawab James.
Suara Alexander menurun, “Apa yang kau tahu tentang Scarlett Island, James?”
Mata James sedikit menyipit. Nama itu bukan asing baginya. “Aku pernah bertemu nama itu beberapa kali… muncul di percakapan tertentu. Kenapa?”
Alexander menarik napas panjang, “Kau pasti tahu betapa besarnya kekuatan pulau itu. Secara teknis bagian dari negara kita, tapi… kenyataannya, mereka berjalan seperti negara independen. Pemerintah tidak pernah mengendalikan mereka.”
James mengangguk pelan. “Aku mendengar bisikannya. Perdagangan senjata. Milisi swasta. Beberapa operasi gelap menghilang di sana.”
Alexander menatapnya. “Pulau itu dijalankan oleh satu kelompok yang bernama The Seventeen Moon. Semua pemain besar di dunia bawah tahu mereka. Tapi tidak ada yang berani menyentuh mereka. Apakah kau tahu kenapa?”
James tidak menjawab.
Alexander melanjutkan, “Karena kekuatan mereka bukan kekerasan. Tapi uang, uang dalam jumlah gila. Mereka memiliki hampir sepuluh persen aset dan pelabuhan Crescent Bay. Kau tahu artinya? Kargo. Impor. Rahasia.”
Rahang James mengencang, lalu dia mengangguk.
Suara Alexander berubah semakin berat. “Dan orang tua yang kau bicarakan—yang kau sebut Tuan Tua… Dia bukan mitos. Dia nyata. Tapi sangat sedikit yang tahu namanya. Lebih sedikit lagi yang bertahan hidup setelah mengetahuinya. Mereka yang tahu… tidak pernah menceritakan pada siapa pun.”
Dia berjalan ke meja, mengambil sebuah foto kecil yang sudah lusuh dan melengkung di sudut-sudutnya.
“Ada anggota keenam dalam lingkaran pertemanan kami. Seorang anak laki-laki yang jarang kami bicarakan. Namanya Steven Murphy.”
James mengambil foto itu. Enam anak laki-laki, muda dan dengan satu di antara mereka tampak sedikit berbeda dengan rambut berantakan.
“Steven adalah teman sekelas orang tuamu. Dia sering bersama kami, sebagian besar karena Sophie. Dia sangat mengagumi ibumu.”
Alexander duduk kembali lalu menghela napas. “Tapi dia memiliki banyak masalah. Alkohol. Judi. Lalu obat-obatan. Keluarganya mencoba membantu, sampai akhirnya mereka menyerah lalu mereka mencoretnya dan mengatakan dia sudah tidak bisa diselamatkan.”
James mendengarkan dengan serius. Jari-jarinya menggenggam foto itu lebih erat.
“Suatu malam, dia muncul dalam keadaan mabuk berat di depan rumah ibumu. Berteriak dan menangis lalu menyalahkan semua orang atas kegagalannya. Sophie panik dan menelepon kami. Kami datang secepat mungkin.”
“Terjadi pertengkaran besar, terutama antara Simon dan Steven. Simon menyuruhnya menjauhi Sophie, menyuruhnya tobat, atau tidak usah muncul lagi.”
James tetap diam, ekspresinya tak terbaca.
Alexander menoleh ke arah lain, "Malam itu... adalah terakhir kalinya kami melihat Steven. Beberapa minggu kemudian, rumor mulai muncul, orang-orang mengatakan dia pergi ke Scarlett Island. Mereka mengatakan dia menemukan sesuatu di sana, sesuatu yang mengubah dirinya."
Mata James menyipit. "Kau pikir... dia adalah Tuan Tua?"
"Yang aku tahu hanyalah... waktunya cocok. Amarahnya. Kejatuhannya. Menghilangnya. Dan awal dari semua yang terjadi setelah kematian ayahmu, runtuhnya Brooks Empire, hilangnya kakekmu. Semuanya mengarah kembali ke momen itu."
"Aku akan menemukannya," kata James pelan. "Dan jika dia benar-benar berada di balik apa yang terjadi pada keluargaku..."
Alexander menatapnya, "Maka kali ini... kau selesaikan apa yang tidak bisa ayahmu selesaikan."
Alicia sudah lama diam, dia menatap langsung ke mata James, "Apa yang kalian bicarakan, Ayah...? Bukankah itu terlalu berbahaya?"
Alexander terkejut, dia lupa bahwa Alicia masih berada di ruangan.
James menoleh kepadanya dengan senyum kecil. "Tidak apa-apa, Scarlett Island sama sekali tidak mengusikku."
Mata Alexander menyipit, "Apa maksudmu?"
James berdiri perlahan, menepuk debu dari mantelnya. "Kami sudah memiliki sejarah, Paman, kau akan tahu nanti..."
"Bagaimanapun juga, terima kasih untuk hari ini, Paman." Ucap James
Alexander mengernyit. "Kau sudah mau pergi? Tinggallah untuk makan malam."
James terkekeh. "Tidak bisa, Paman. Aku juga melewatkan makan malam di rumah kemarin, mama pasti akan marah besar."
Ucapan itu membuat Alexander dan Alicia tertawa. "Sophie pasti sangat bahagia... akhirnya putranya telah kembali. Dan aku juga senang, Nak. Terima kasih, karena sudah kembali kepada kami."
"Oh, dan omong-omong," tambah James sambil melirik Alicia dengan setengah senyum sinis, "aku masih menjadi pengawal pribadinya sampai kelulusan."
"Kau benar-benar tidak perlu melakukan itu lagi..." Ucap Alexander.
"Tidak apa-apa, Paman. Lagipula, aku sudah mengatakan ke Mama..." James menatap keluar jendela, lalu kembali menatap mereka. "Aku harus mulai membangun koneksi dengan orang-orang seusiaku. Nama Brooks harus bangkit lagi."
Alexander mengangguk perlahan. "Baiklah, James. Aku percaya padamu. Jaga dirimu baik-baik."
"Ujian sudah dekat," tambah James sambil menatap Alicia. "Jadi... tidak ada lagi pergi ke clubbing."
Alicia memutar mata sambil tersenyum. "Baik, Tuan Brooks."
James menuju pintu. Di luar, mobilnya sudah menunggu.
~ ~ ~
Kediaman Parker dipenuhi suara peralatan makan, dan tawa anak-anak. James baru saja pulang.
Saat ini Julian sudah jauh lebih baik. Dia kini bisa berjalan dengan tongkat, rehabilitasinya membaik setiap hari. Melihat dia bercanda dengan Chloe dan Felix di meja makan membuat James tersenyum.
Saat makan malam, Sophie menatap putranya dengan rasa ingin tahu. "Darimana saja kau, Nak?"
James meletakkan sendoknya. "Aku pergi menemui Paman Alexander. Dia mengundangku."
Sophie terdiam saat mendengar nama itu. "Lalu... bagaimana keadaan Alexander akhir-akhir ini?"
"Dia baik-baik saja," jawab James sambil menganggukkan kepalanya.
"Itu kabar baik." Sophie tersenyum tipis. "Kau harus tetap berhubungan baik dengannya. Dia orang baik, meski jalan hidup kita berbeda."
James mengangguk.
Malam itu, ketika rumah mulai tenang dan si kembar terlelap, James berbaring di tempat tidur menatap langit-langit. Dia mengambil ponselnya dan menelepon Paula.
Sambungan terhubung.
"Ya, bos?" suara Paula terdengar agak mengantuk.
"Aku menemukan sesuatu... tentang Tuan Tua," kata James tanpa basa-basi.
Ada jeda. "Apa maksudmu? Kita bahkan tidak menemukan satu jejak pun tentang dia."
James terkekeh pelan. "Itu karena kau mencari di generasi yang salah. Dia tidak setua gelarnya. Ternyata—dia teman ayahku saat SMA."
"...Apa? Benarkah?" suara Paula terdengar terkejut.
"Ya. Dan disitulah semuanya menjadi rumit," ujar James, "Tapi sekarang aku tahu kenapa tidak ada yang menyebut namanya. Kenapa identitasnya seperti bayangan."
"Kenapa?" tanya Paula.
Nada James menggelap. "Seventeen Moon."
Nama itu seperti tamparan bagi Paula. Napasnya tercekat. "...Mereka?"
James mengangguk, "Ya. Tapi aku tidak yakin dia benar-benar salah satu dari mereka. Tebakanku? Dia menggunakan nama itu. Mengklaim memiliki keterkaitan dengan Seventeen Moon untuk melindungi dirinya. Untuk membangun reputasinya."
Paula bergumam, "Menggunakan nama Seventeen Moon... itu sama saja bunuh diri. Jika mereka sampai tahu—"
"Aku tahu," potong James. "Tapi sudah lebih dari tujuh belas tahun. Seventeen Moon yang asli mungkin tidak tahu. Atau mungkin mereka tidak peduli lagi."
"Aku akan menyelidikinya lebih dalam. Terima kasih atas infonya, bos," kata Paula akhirnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya James. "Bicara soal Scarlett Island tidak mengusikmu lagi?"
Hening sesaat sebelum Paula menjawab, "Aku baik-baik saja, bos. Kenangan itu tidak menghantuiku seperti dulu."
"Baiklah. Tetap waspada, dan kabari aku."
"Selalu."
Jangan lupa terus like dan komen di setiap bab ya!
kapan lanjutan sistem kekayaan itu author tiap hari saya liht tapi blm ada lanjutan
lanjutkan