"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ Bab 7
Hari pemilihan berakhir dengan dentuman genderang kerajaan. Aula utama dipenuhi sorak-sorai bangsawan, sementara suara sang Herald Kerajaan bergema lantang:
“Dengan keputusan bulat Dewan Penilai dan restu Ibu Suri Elenora, maka terhitung hari ini, Lady Camilla Barak resmi ditetapkan sebagai Putri Mahkota Kerajaan Ardelia!”
Suara tepuk tangan bergemuruh. Para bangsawan berdiri, sebagian bersorak lantang, sebagian lainnya berbisik-bisik sambil melirik satu sama lain.
Di antara kerumunan itu, Duke Leontinus berdiri tegap, sorot matanya penuh kepuasan dingin. Duchess Helena menangis haru, menggenggam tangan putrinya dengan erat.
Mary hampir tak bisa menahan air mata, ia berbisik lirih, “Lady.. Anda berhasil. Semua usaha Anda tidak sia-sia.”
Camilla tersenyum tenang. Di wajahnya terpancar keanggunan seorang pemenang, tetapi dalam hatinya ia tahu: ini baru awal dari perjalanan yang jauh lebih berbahaya.
Matanya melirik ke arah balkon kerajaan, tempat Arthur berdiri. Wajah Putra Mahkota tampak kaku, senyumnya tipis, seolah dipaksakan.
Hanya matanya yang sedikit goyah ketika tatapannya melintas ke arah sudut aula, tempat Annette duduk bersama para kandidat yang tidak terpilih.
Sekilas, Camilla melihat kesedihan dalam tatapan itu seperti menyimpan kesedihan yang tidak ditujukan padanya, melainkan pada gadis lain.
Namun ia segera mengangkat dagunya tinggi. Sejak awal memang aku yang akan dipilih. Aku yang akan menjadi ratu. Dan aku akan memastikan masa depan akan berubah, tidak seperti dulu..
Malam itu, pesta besar diadakan di Aula Kristal. Permadani merah digelar, lampu kristal berkilau, musik meriah mengisi ruangan. Para bangsawan bergantian memberi ucapan selamat kepada keluarga Barak.
“Selamat, Lady Camilla! Kini keluarga Barak benar-benar menjulang di atas keluarga lain.”
“Takdir kerajaan ada di tanganmu, Lady. Semoga kebijaksanaanmu sebanding dengan kecantikanmu.”
Camilla menerima semua ucapan itu dengan senyum terukur. Ia berbicara lembut, penuh wibawa, seakan sudah terbiasa memikul beban sebagai calon ratu.
Di sisi lain ruangan, Arthur berdiri dikelilingi pejabat istana. Aiden selalu di sampingnya, wajahnya penuh kewaspadaan.
Arthur menjawab seadanya, sesekali melirik ke arah Camilla, tapi lebih sering pandangannya terseret ke kursi pojok, tempat Annette duduk diam. Gadis itu menunduk, tangannya meremas pangkuan gaunnya erat.
Elenora mendekat, menepuk lengan Arthur dengan senyum puas. “Lihatlah, anakku. Camilla bersinar seperti bintang malam ini. Tepat sekali pilihan istana.”
Arthur hanya menjawab datar, “Ya, Ibu Suri.”
“Tentu saja, pembicaraan mengenai pertunangan harus segera dimulai,” lanjut Elenora dengan suara lantang yang bisa didengar beberapa bangsawan terdekat. “Rakyat menunggu kabar baik. Pernikahan harus diumumkan sebelum musim semi.”
Kata-kata itu membuat semua orang bersorak setuju. Segelas demi segelas anggur terangkat tinggi.
Camilla menunduk hormat ke arah Ibu Suri, lalu pada Arthur. “Saya siap, Yang Mulia. Demi kerajaan, saya akan melaksanakan tugas ini dengan sepenuh hati.”
Sorak kembali menggema. Hanya Arthur yang diam, sorot matanya dingin, tak bisa ditebak.
Setelah pesta, Camilla dipanggil ke ruang pribadi Elenora di Paviliun Seraphine. Suasana hangat menyelimuti, tetapi di balik senyum manis Elenora, tersimpan tajamnya pedang.
“Kau sudah membuktikan dirimu, Camilla,” kata Elenora sambil menyeruput teh melati.
"Mulai sekarang, kau bukan lagi sekadar putri Duke Barak. Kau adalah Putri Mahkota. Setiap langkahmu akan diperhatikan seluruh kerajaan.”
Camilla menunduk sopan. “Saya mengerti, Yang Mulia.”
Elenora menyipitkan mata. “Dan mengenai Putra Mahkota… jangan berharap hatinya akan langsung terbuka untukmu. Aku tahu, anak itu punya kelemahan, ia terlalu mudah terpesona oleh hal-hal sepele. Gadis sederhana dengan kecapi, misalnya.”
Camilla menahan senyum. “Saya tahu, Yang Mulia. Tetapi hati manusia bisa diarahkan, jika kita cukup sabar. Arthur akan belajar melihat siapa yang benar-benar layak berada di sisinya.”
Elenora tertawa kecil, nadanya puas. “Bagus. Kau mengingatkanku pada diriku sendiri waktu muda. Ingat, Camilla.. ratu bukan hanya istri raja. Ia adalah penjaga tahta. Kau harus kuat. Kau harus memastikan kerajaan tidak jatuh ke tangan yang salah.”
“Ya, Yang Mulia.”
***
Sementara itu, di paviliun kecil di sisi timur, Annette duduk sendirian. Dayangnya sudah tidur, hanya lampu minyak yang temaram. Ia menatap keluar jendela, mendengar riuh pesta yang masih bergema dari kejauhan.
Air mata mengalir diam-diam di pipinya. “Selamat, Lady Camilla.. Kau memang pantas.. Tapi kenapa hatiku sakit seperti ini?”
Ia menunduk, memeluk kecapinya erat, memainkan melodi pelan yang penuh luka.
Di luar jendela, tak jauh dari sana, Arthur berdiri dalam bayangan gelap lorong rahasia. Ia mendengar alunan itu, dadanya sesak.
Namun langkah kakinya tertahan. Ia tahu, mulai malam ini, ia terikat pada Camilla. Dan kerajaan tidak akan memaafkan kelemahan hati seorang Putra Mahkota.
***
Keesokan harinya, lonceng istana berdentang tiga kali, tanda panggilan untuk pertemuan resmi di Aula Perak. Di sanalah semua perbincangan besar kerajaan disahkan.
Camilla memasuki aula dengan gaun biru tua berhias bordir perak, simbol keteguhan keluarga Barak. Mary berjalan setengah langkah di belakangnya, membawa gulungan catatan kecil.
Wajah Mary masih berseri-seri karena tuannya kini menjadi Putri Mahkota, meski matanya juga dipenuhi kecemasan, ia tahu jalan ini penuh duri.
Di sisi lain aula, Arthur sudah duduk di kursi tinggi, mengenakan jubah kebesaran Putra Mahkota. Ekspresinya datar, seolah ia sekadar boneka dalam pertemuan formal.
Di sampingnya, Ibu Suri Elenora tampak penuh wibawa, sementara Raja dan Ratu hanya hadir sebagai simbol, mereka lebih jarang terlibat langsung dalam urusan harian.
Duke Leontinus berdiri tegap di depan, dengan suara berat ia mengucapkan salam hormat. “Atas nama keluarga Barak, saya mengucapkan terima kasih atas kehormatan ini. Putri kami, Camilla, telah dipilih untuk mendampingi Yang Mulia Arthur. Kami siap mendukung penuh segala keputusan kerajaan.”
Elenora menanggapi dengan senyum dingin. “Itu memang seharusnya. Pernikahan ini bukan hanya penyatuan dua jiwa, tetapi juga penyatuan dua kekuatan. Rakyat butuh simbol stabilitas.”
Camilla menunduk dengan anggun. “Saya mengerti, Yang Mulia. Saya akan melaksanakan peran saya dengan sepenuh hati.”
Arthur hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap lurus ke depan. Elenora menyadarinya, tapi memilih untuk tidak menegur di depan umum.
Seorang pejabat kerajaan maju membawa gulungan bersegel emas. “Ini adalah rancangan awal prosesi pernikahan kerajaan. Upacara pertunangan akan diumumkan dua minggu dari sekarang. Sementara itu, keluarga Barak diminta mempersiapkan persembahan simbolis yang merupakan lambang loyalitas kepada tahta.”
Duke Leontinus mengangguk. “Kami akan menyiapkan persembahan terbaik.”
Mary, yang berdiri di belakang, merasakan hawa dingin merambat di punggungnya. Ia tahu, setiap detail akan menjadi bahan penilaian. Kesalahan sekecil apa pun bisa jadi bumerang.
Sore harinya, di paviliun keluarga Barak, ruangan dipenuhi diskusi. Leontinus berjalan mondar-mandir, wajahnya tegang namun penuh kepuasan.
“Ini kesempatan emas. Dengan Camilla sebagai Putri Mahkota, pengaruh kita di dewan akan semakin kuat,” katanya.
Duchess Helena menambahkan dengan nada lebih lembut, “Tapi kita harus hati-hati. Elenora bukan orang yang mudah puas. Ia akan menuntut kesempurnaan dari Camilla.”
Camilla duduk diam, mendengarkan. Matanya menatap keluar jendela, jauh ke taman bersalju. Di dalam hatinya, ada getar aneh: rasa bangga bercampur beban berat.
Mary mendekat setelah pertemuan selesai. “Lady.. apakah Anda baik-baik saja?”
Camilla tersenyum samar. “Baik, Mary. Hanya saja.. semakin tinggi kita berdiri, semakin tajam mata yang mengawasi.”
Mary menggenggam tangan tuannya. “Tapi saya percaya Lady akan mampu melewati semuanya. Anda.. memang ditakdirkan untuk ini.”
Camilla menatap mata Mary, lalu mengangguk perlahan. Ia tahu, ia tidak boleh goyah.
***
Di sisi lain istana, Arthur duduk bersama Aiden di ruang kerja pribadi. Berkas pernikahan menumpuk di meja, tetapi ia bahkan tak menyentuhnya.
Aiden berbicara hati-hati. “Yang Mulia, keputusan ini sudah final. Pernikahan dengan Lady Camilla akan segera diumumkan. Tidak ada jalan mundur.”
Arthur menghela napas berat. “Aku tahu. Aku tidak menolak takdirku sebagai Putra Mahkota. Tapi, apakah raja harus menikah tanpa cinta, Aiden?”
Aiden menunduk. “Kadang, cinta adalah kemewahan yang tidak dimiliki seorang raja.”
Arthur terdiam, genggamannya mengepal di atas meja. Ia tahu Aiden benar, tetapi hatinya menolak menerima kenyataan itu.
Dan di lubuk hati, bayangan Annette masih ada, membuat luka yang tidak bisa ia tunjukkan pada siapa pun.
Malam itu, Camilla dipanggil lagi oleh Ibu Suri. Kali ini bukan untuk teh melati, melainkan untuk pembicaraan yang lebih serius.
“Camilla,” kata Elenora dengan tatapan tajam, “kau sudah dipilih. Tapi jangan pernah merasa posisimu aman. Arthur.. dia anak yang keras kepala. Jika kau tidak bisa mengikatnya, aku bisa dengan mudah membuat dewan meragukanmu.”
Camilla menunduk dalam, lalu menjawab tenang. “Saya mengerti, Yang Mulia. Saya akan memastikan hati Putra Mahkota tidak menyimpang.”
Elenora tersenyum tipis. “Bagus. Aku suka gadis yang tahu apa yang harus dilakukan. Ingat, Camilla, kau bukan hanya calon ratu. Kau juga perisai bagi kerajaan. Jika kau jatuh, semua yang kau cintai akan ikut hancur.”
Camilla meninggalkan paviliun itu dengan hati yang lebih berat dari sebelumnya. Tapi di matanya, api tekad menyala. Ia tidak akan membiarkan siapa pun merebut apa yang sudah menjadi miliknya.
***
Hari-hari berikutnya istana dipenuhi hiruk-pikuk persiapan. Balai Agung tengah dihias ulang dengan permadani ungu dan emas, warna kerajaan yang melambangkan kejayaan dan kemurnian.
Pelayan-pelayan sibuk mengatur bunga, juru masak berlatih menu khusus untuk pesta pertunangan, dan penjahit kerajaan bekerja siang-malam menyelesaikan gaun yang akan dikenakan Camilla.
Mary, yang selalu berada di sisi tuannya, terkadang ikut kewalahan. “Lady, semua orang hanya bicara tentang pertunangan Anda. Bahkan di pasar, nama Anda disebut bersama Yang Mulia Arthur.”
Camilla menatap gaun putih keperakan yang sedang dicoba di tubuhnya. Kain itu berkilau di bawah cahaya lilin, seakan menjadikannya sosok yang benar-benar terlahir untuk takhta.
Tapi di balik pantulan cermin, ia melihat sesuatu yang lain, bayangan seorang gadis yang sedang membungkus hatinya dengan lapisan-lapisan baja.
“Mary,” katanya pelan, “orang-orang melihat cahaya di gaun ini. Tapi aku tahu, yang sedang kusandang bukan hanya keindahan.. melainkan beban.”
Mary terdiam. Lalu ia tersenyum, menggenggam jemari tuannya. “Tapi Lady kuat. Tidak semua orang bisa memikul beban itu.”
Sementara itu, di ruang latihan pedang, Arthur mengayunkan senjatanya dengan penuh amarah. Aiden berdiri di tepi lapangan, memperhatikan.
“Yang Mulia, besok latihan sudah harus dihentikan. Anda harus fokus pada acara pertunangan.”
Arthur menghentikan ayunannya, napasnya memburu. “Aku tahu, tapi pedang ini satu-satunya tempat aku bisa melupakan semuanya.”
“Semua itu.. termasuk Annette?” Aiden bertanya hati-hati.
Arthur menatap kosong pada bilah pedang. Bayangan Annette muncul lagi: suara kecapinya, tatapan polosnya, ketulusan yang tak pernah ia lihat di istana.
“Ya,” jawabnya akhirnya. “Dan aku benci diriku sendiri karena harus melepaskannya.”
Aiden hanya bisa menunduk. Ia tahu, seorang Putra Mahkota tidak pernah benar-benar bebas memilih.
Malam sebelum pertunangan, keluarga Barak mengadakan jamuan kecil di paviliun mereka. Leontinus duduk di kursi utama, anggur merah di tangannya. Wajahnya dipenuhi kepuasan.
“Besok, nama Barak akan tercatat dalam sejarah. Camilla, kau harus ingat, ini bukan hanya tentang dirimu, tapi tentang seluruh keluarga kita.”
Camilla menunduk anggun. “Saya mengerti, Ayah. Saya tidak akan mengecewakan keluarga.”
Helena, ibunya, tersenyum lembut. “Dan jangan lupakan hatimu, Camilla. Kau boleh kuat, tapi jangan biarkan kekuatan itu membuatmu kesepian.”
Camilla menoleh pada ibunya, sejenak merasa hatinya melembut. Tapi dalam benaknya, ia tahu bahwa kesepian adalah harga yang sudah ia siapkan sejak awal.