Anaya White memaksa seorang pria asing untuk tidur dengannya hanya untuk memenangkan sebuah permainan. Sialnya, malam itu Anaya malah jatuh cinta kepada si pria asing.
Anaya pun mencari keberadaan pria itu hingga akhirnya suatu hari mereka bertemu kembali di sebuah pesta. Namun, siapa sangka, pria itu justru memberikan kejutan kepada Anaya. Kejutan apa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irish_kookie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan!
Setelah ciuman singkat yang memabukkan itu, Anaya tersadar, dan mendorong Josh untuk menjauh.
"K-kau! Kau benar-benar mempermainkanku, Tuan Grebel!" ucap Anaya dengan mata berkaca-kaca dan debar jantung yang masih bertalu-talu.
Josh tersenyum, lalu dia kembali menarik pergelangan tangan Anaya. "Aku tidak mempermainkanmu, aku hanya mengikuti naluriku saja."
Air mata Anaya bergulir jatuh. Cepat-cepat gadis itu mengusapnya. "T-tidak sopan!"
"Kau yang lebih dulu mengatakan kalau kau ... You know and I know," kata Josh masih dengan seringai seksinya.
Anaya menyipitkan kedua matanya. "Kau gila!"
Gadis itu kemudian duduk sambil melipat tangannya. Duduknya gelisah, dia membuang muka, tetapi sesekali melirik Josh dari sudut matanya.
Josh ikut duduk di tempatnya semula. Namun, pandangannya tak dia lepaskan sedetik pun dari Anaya.
Suasana canggung itu berlangsung hingga beberapa menit. Sampai akhirnya, Anaya tak tahan dan menggebrak meja. "Bisakah kau melihat ke arah lain?"
"Kau tidak boleh memandangku seperti itu! Bisa-bisa aku akan, ...."
"Semakin jatuh cinta kepadaku?" potong Josh dengan tegas.
Wajah Anaya memerah. "Bagaimana mungkin aku jatuh cinta padamu, Josh! Kau ini suami orang! Catat itu, suami orang!"
Josh mendengus, lalu tersenyum. Senyumnya membuat pertahanan hati Anaya berantakan. "Lalu, kenapa kalau aku suami orang? Cinta itu hak asasi dan aku tidak bisa melarangmu untuk jatuh cinta kepadaku, kan?"
"Memang cinta tidak salah, tapi jatuhnya di tempat yang salah!" balas Anaya dengan pedas.
Saat ini, hatinya berkecamuk. Dia tidak ingin melanjutkan cintanya yang salah tempat itu.
Tanpa sengaja, dia memutar-mutarkan cincin berlian yang melingkar di jari tengahnya. Di situ dia sadar, dia pun sudah milik orang lain.
Josh melihat keraguan di mata Anaya. "Baiklah, aku minta maaf karena sudah melewati batas. Jujur saja, malam itu hidupku sedang berada di persimpangan jalan dan kau datang seolah menyelamatkanku."
"Tapi, kau sudah beristri dan aku pun ... ku sudah bertunangan!" Suara Anaya pecah di akhir kalimatnya. Ada jeda panjang yang diisi hanya oleh detak jantungnya sendiri dan tatapan tajam pria di depannya.
Josh mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi terkadang, hidup memberi kita sesuatu yang terasa salah di waktu yang tepat.”
Anaya menelan ludah. “Kau bicara seperti orang yang tidak punya beban moral.”
Josh terkekeh, sedikit getir. “Dan kau bicara seperti orang yang tidak pernah jatuh cinta.”
Hening kembali mengisi ruang di antara mereka. Tak lama, Anaya meraih tas mungilnya, lalu berdiri. "Ayo, kita saling melupakan! Kita sudah sama-sama dewasa dan kejadian malam itu, anggap saja sebuah kesalahan yang tidak disengaja."
Josh kembali mendengus sambil menundukkan kepalanya. "Begitu? Kau ingin melupakan malam itu? Oke, tapi bolehkah aku minta satu hal padamu?"
"Apa itu?" tanya Anaya mengerenyitkan keningnya.
"Kau sudah kuanggap sebagai penyelamat hidupku, Gadis Kecil. Jadi, aku ingin membalas jasamu, sekali saja. Apa mau mengizinkan aku untuk itu?" tanya Josh.
Kali ini, Anaya dapat melihat dan merasakan kesepian Josh. Ada ruang kosong di matanya dan tatapan Josh saat ini berbeda dengan tatapan Josh yang tadi.
Anaya terdiam. Dia mengangkat bahunya. "Entahlah, aku tidak tau. Aku hanya tidak ingin ada skandal karena ... You know what I mean."
Mata Josh kembali terisi saat dia tersenyum. "Hehehe, tenang saja, kita akan sering bertemu setelah ini."
"Hah? Apa maksudmu, Josh?" tanya Anaya penuh tanda tanya.
Namun, Josh hanya tersenyum. Dia meraih tangan Anaya dan memaksa gadis itu untuk berjalan di sisinya. "Aku akan mengantarmu."
Mau tidak mau, Anaya menurut. Keningnya masih berkerut-kerut karena ucapan Josh yang misterius itu.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Anaya masih belum bisa menenangkan diri. Ucapan Josh waktu itu terus terngiang di kepalanya.
"Hmmm, apa maksudnya itu? Kenapa aku harus sering bertemu dengan dia?" batin Anaya.
Pertanyaan itu tak sempat terjawab, karena pagi itu, Anaya sudah dipanggil ke ruang rapat utama White Companies.
perusahaan milik Robert yang kini mulai diwariskan kepada Anaya.
Ruang rapat itu besar dan dingin, dindingnya dipenuhi kaca dengan pemandangan kota di bawah sana.
Di ujung meja, Robert White duduk dengan ekspresi serius khasnya, sementara beberapa direksi menatap Anaya seolah menunggu keputusan penting.
"Selamat pagi," sapa Anaya datar sambil duduk di kursinya.
Robert hanya mengangguk singkat. “Kau datang tepat waktu, bagus. Tapi, sayangnya laporan kerja bulananmu tidak sebagus kedatanganmu.”
Anaya menahan napas. Nada suara ayahnya selalu berhasil membuatnya merasa seperti anak kecil yang baru saja dimarahi guru.
"Apa maksud Anda, Tuan White? Semua tender sudah saya kerjakan dan menurut saya, hasilnya memuaskan," jawab Anaya membela diri.
Dia membuka laptopnya dan mengarahkan ke proyektor yang ada di depan meja besar itu. "Ini buktinya, beberapa perusahaan sudah setuju kita ambil alih sahamnya dan ada beberapa perusahaan juga yang sudah menandatangani kerjasama dengan kita. Saya tidak melihat ada masalah di sini."
Robert menatapnya tajam. “Seorang pebisnis akan selalu melihat detail. Apa kau tau kau kehilangan dua klien besar, Anaya. Sementara itu, tim-mu tidak menunjukkan perkembangan berarti. Neraca keuangan kalian masih berantakan dan rapat sebelumnya, tim kalian bahkan menyiapkan presentasi mendadak. Aku tidak ingin bisnis ini hancur hanya karena pewarisnya belum siap.”
Anaya menunduk. Dia tidak pernah menekan tim kerjanya untuk bekerja lebih keras, karena memang dia sendiri tidak berniat untuk berada di sana. "Aku hanya butuh waktu lebih banyak untuk, ...."
“Tidak ada waktu!” potong Robert cepat. “Dunia bisnis tidak menunggu siapa pun. Bahkan tidak untuk putriku sendiri.”
Kata-kata itu menampar harga diri Anaya. Dia kembali menunduk, menahan amarah dan malu yang bergejolak di dada.
Robert bersandar di kursinya, lalu menautkan jari-jarinya. “Mulai minggu depan, aku akan menugaskan seseorang untuk membantumu. Seseorang yang bisa menyeimbangkan emosimu dan membawamu melihat dunia bisnis dari sisi yang berbeda.”
Anaya mendongak, melupakan Robert sebagai pimpinan tertinggi perusahaan. . “Apa maksud Daddy? Aku tidak butuh pengasuh.”
“Bukan pengasuh,” balas Robert tenang. “Tapi, asisten pribadi yang akan mengingatkanmu untuk selalu mengerjakan segala sesuatunya dengan detail."
“Asisten pribadi?” Ulang Anaya, hampir tidak percaya. “Daddy, aku tidak, ...!”
Robert mengangkat tangan, menghentikannya bicara. “Keputusan sudah bulat. Dia akan membantumu langsung di semua proyek besar."
"Tuan White, Nona. Bukan Daddy," kata Robert tanpa senyum.
Anaya menunduk meminta maaf. "Maaf, Dad, eh, Tuan White. Tapi, untuk saat ini, biarkan saya berjalan sendiri dan izinkan saya untuk berkembang dengan cara saya. Saya mohon kebijakan Anda."
Setelah mengucapkan itu, Anaya menghela napas berat, berusaha tetap tenang. Wajah ayahnya mengeras dan jika itu sudah terjadi, maka tidak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat mengubah keputusannya.
“Baik, Tuan, saya akan berbesar hati menerima bantuan dari Tuan White saat ini." ucap Anaya akhirnya dengan suara pelan.
Robert tersenyum tipis. “Dia baru saja sampai. Suruh dia masuk,” katanya kepada sekretaris di depan pintu.
Pintu ruang rapat perlahan terbuka. Langkah sepatu hitam terdengar menapak lantai marmer, ritmenya mantap, percaya diri.
Anaya mendongak dan seluruh darahnya seperti berhenti mengalir.
Pria itu melangkah masuk dengan jas abu-abu tua yang membingkai tubuh tegapnya sempurna. Senyum tipisnya muncul, senyum yang terlalu dia kenal.
“Perkenalkan,” kata Robert dengan nada puas. “Ini Josh Grebel. Mulai hari ini, dia akan menjadi asisten pribadimu, Anaya.”
Josh menatap lurus ke arah Anaya, matanya dalam dan penuh arti.
“Senang bertemu dengan Anda lagi, Nona White,” ucapnya lembut, seolah kata “lagi” itu hanya untuk mereka berdua.
Anaya terpaku di kursinya, jantungnya berdebar kencang tak terkendali.
Sementara di seberang meja, Josh menyunggingkan senyum yang samar namun menggoda.
"Apa-apaan ini?" sergah Anaya dengan lantang.
****