Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Kecurigaan
"Tuan Raditya," panggil asisten Raditya.
"Dokter ... mana Sabil? Cepat cari dokter Sabil!!" teriak Raditya gelisah di tepi ranjang yang ditempati Hania.
"Tuan ... Kabar buruk, dokter Sabil sedang mencari seorang keluarganya yang hilang, dan keluarganya itu—"
"Jadi dia tidak akan datang?!" tanya Raditya suaranya meninggi
"Bagaimana dengan anda, jika dia datang ke sini?"
"Apa maksudmu, jangan bertele-tele, katakan!" bentakannya membuat ketegangan semakin pekat.
"Orang yang dia cari adalah gadis yang ada di hadapan anda," ucapnya berbisik seraya menunduk takut.
"Apa?!" Raditya sontak berdiri, wajahnya pias menatap Hania yang sedang menggigil.
"Anda bisa dilaporkan sebagai penculik jika gadis itu tidak dikembalikan padanya?"
"Jangan teruskan! A-aku bukan menculik, aku menolongnya." Raditya berdiri, lalu berjalan mondar mandir di kamarnya, ia berpikir keras.
Seorang bodyguard berlari kecil dari arah luar ke ambang pintu kamar Raditya, "Tuan, di penjagaan depan dokter Sabil meminta ijin untuk masuk."
"Dia datang? Dia datang bukan untukku tapi untuk mengambilnya. Mengambil bonekaku!" gumam Raditya dilingkupi rasa panik yang mencekam.
"Tuan—"
"Jangan ijinkan dia masuk! Bilang saja aku sudah pergi, aku tidak membutuhkan dia lagi!"
Sang bodyguard tidak serta merta menuruti perintah Raditya, ia harus mengatakan ketegangan yang terjadi di luar pagar halaman rumahnya.
"Tuan, dia datang bersama lima orang polisi dan satu buah mobil ambulan."
Wajah Raditya semakin panik dan pias. "Rudy, apa yang harus aku lakukan?" Raditya menangis seperti anak kecil."
Sang asisten yang sangat tahu apa yang diinginkan bos nya ikut berpikir keras sejak tadi, gadis itu adalah orang yang belakangan ini membuat Raditya berjuang kembali menjadi sosok laki-laki tulen. Dia tidak boleh kehilangan gadis itu lagi, jika hal itu terjadi pengobatan puluhan tahun akan kembali sia-sia. Tindakan ini memang beresiko, tapi dia yakin Papanya Raditya akan setuju padanya demi putranya kembali seperti yang seharusnya.
"Nona boneka akan kami bawa untuk bersembunyi di rumah peristirahatan anda melalui pintu belakang. Lebih baik anda temui dokter Sabil, karena anda sendirilah yang menghubunginya untuk datang."
Sang Asisten berjalan ke lemari koleksi boneka Raditya yang berjumlah ribuan, lalu mengambil satu boneka yang pernah Sabil hadiahkan.
"Katakan padanya dia yang sakit."
"Bagaimana jika dia marah padaku?" Raditya ketakutan, ia menggigit ujung kukunya dengan gelisah. Airmatanya bercucuran seperti balita yang sedang ketakutan.
"Dia tidak akan memarahi anda, karena anda penderita gangguan mental berat. Tapi keputusan aku kembalikan pada anda. Anda ingin bersandiwara sekarang atau kehilangan nona boneka."
"Bawa dia dengan aman. Jangan sampai nenek sihir itu mengetahui keberadaannya. Harus kamu yang membawanya!"
"Baik tuan. Aku harus meyakinkan anda dulu, anda yakin bisa bersandiwara di depan sahabat anda?" tanya Rudy memastikan rencananya tidak salah.
"Cepat pergi! Sembunyikan bonekaku!" Raditya tertunduk dengan kaku, wajahnya menegang, matanya berlarian menatap lantai dengan sorot mata cemas.
Rudy membopong tubuh Hania ke arah lift khusus yang langsung tertuju ke basement rumah itu. Lalu membawa Hania melalui pintu gerbang belakang istana boneka milik Raditya.
Di pintu gerbang utama istana itu, Sabil keluar dari mobil karena sudah terlalu lama menunggu. Ia memaksa penjaga untuk segera membuka pintu. Kepala pelayan yang sangat Sabil kenal sejak kecil menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.
"Nak Jalu, mohon maaf atas kehebohan dari semua ini, Radit... Dia mengamuk lagi karena bonekanya sakit," ucapnya, suaranya gemetar ketakutan.
"Ijinkan kami masuk pak Tono, saya sudah bawakan paramedis untuk menanganinya."
"Tolong bukakan pintu gerbang," perintahnya dengan suara tegas. "Silahkan masuk, nak Jalu. Sebentar lagi Tuan Arman akan datang," ujarnya
Sabil hanya mengangguk, kembali ke dalam kendaraan dan melajukan mobilnya ke dalam rumah mewah itu. Dari pintu gerbang utama ke dalam istana itu mereka harus menempuh jarah satu kilo meter, karena luasnya halaman rumah milik Raditya.
Ketika kakinya menginjak lantai rumah Raditya, dada Sabil berdebar kencang, ia terus berdoa agar pagi dini hari itu pencarian Hania menemukan hasil. Para maid berbaris dengan wajah menunduk, sambutan yang terlalu berlebihan untuk sebuah kondisi darurat. Ketegangan dan rasa takut terpancar dari wajah para maid.
"Dimana yang sakit?" tanya Sabil pada seorang pelayan laki-laki yang memakai baju formal pelayan.
"Di kamar Tuan Raditya, dok. Mari saya antar. Tapi — anda dilarang membawa orang lain ke atas."
Rahang Sabil mengeras. Kondisi darurat mereka masih memberlakukan aturan ketat? Sabil mendengus kasar.
"Mereka ada dalam tanggung jawabku, aku tetap akan membawanya menemui majikan kalian," ucap Sabil tegas. Pelayan itu hanya menunduk.
Tono, kepala pelayan menuruni anak tangga lalu mempersilahkan Sabil naik ke lantai atas kamar Raditya. Mereka naik berempat, dua orang polisi dan satu perawat mengekori pak Tono ke dalam kamar Raditya. Kamar yang luasnya tiga ratus meter itu diisi oleh barang-barang mewah yang bernilai fantastis.
Mata Sabil menggelap saat melihat Raditya sedang menimang boneka pemberiannya. Harapannya menemukan Hania kandas seketika, ia mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, gigi gerahamnya ia kancing rapat. Ingin rasanya saat itu juga dia berteriak sekuat tenaga. Tidak menyangka, diujung pagi dan pengharapannya yang kian menipis mencari Hania, dihadapkan dengan lelucon yang menyebalkan.
"Kenapa dia? Apa benar dia sesak napas, tubuhnya menggigil seperti yang kamu ucapkan tadi di telepon?"
"Bil, dia menangis, menggigil ketakutan dan dia tidak bernapas lagi ... Huhuhu," ucap Raditya dengan wajah sembab, rambut gondrongnya ia ikat ke atas dengan penampilan kusut seperti seorang ibu yang merawat anaknya yang sedang sakit.
"Dia boneka Raditya, dia memang tidak bernapas." suara Sabil bergetar menahan amarah dan kecewa. Namun ia berusaha sabar dengan tingkah pasiennya
Dua orang polisi dan perawat yang Sabil bawa menahan tawa mereka dengan menutup mulutnya.
"Aku ingin dia diinfus, dia harus sembuh. Aku takut dia mati ... Aku tidak ingin kehilangannya."
Urat di pelipis Sabil menonjol keluar, sekuat tenaga ia menahan kecewanya. Dia menghela napas berat. Lalu mendekati ranjang Raditya.
Dengan lembut ia berkata, "Dia tidak apa-apa, tenanglah Radit."
Sabil mengambil boneka dalam pelukan Raditya, lalu ia baringkan boneka itu di atas bantal.
"Aku khawatir padamu, bagaimana perasaanmu saat ini? Kamu sedih?" ia membungkus telapak tangan sahabatnya dengan kedua tangannya. "Tanganmu dingin, kamu yang menggigil kedinginan. Apa yang membuatmu begitu cemas? Apakah ada seseorang yang sedang kamu khawatirkan keselamatannya seperti suster Rara?"
Raditya menunduk menghindari tatapan matanya dengan Sabil, lalu menggeleng cepat. "Tidak ada! Kalau kamu sudah periksa dia, kamu boleh pergi sekarang." Tangan Raditya menunjuk arah pintu.
Sabil semakin curiga, dia yang menelpon dengan sangat memaksa untuk datang, sekarang dengan cepat Raditya mengusirnya. Sabil melipat kedua tangannya di dada. Tersenyum samar sambil mengurut pelipisnya yang tegang.
"Setelah pertemuan di Lembang itu, kita baru jumpa lagi, semudah itu kamu mengusirku? Aku melewatkan sesuatu yang penting demi kamu, Bro!" Sabil merentangkan tangannya ke atas, lalu menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, ia tidur miring menghadap Raditya yang terus berpaling darinya.
"Kasurmu empuk sekali, rasanya nyaman, dimana kamu beli kasur mewah ini, hmm?" tanyanya seraya menepuk dasar kasur sambil memperhatikan setiap gerak gerik Raditya yang gugup.
"Kalau kamu suka, nanti aku antarkan ke rumahmu kasur yang lebih nyaman. Sekarang pulanglah... " usirnya, tatapan matanya terus tertuju pada layar ponsel yang tergeletak di atas meja sudut.
"Biarkan aku tidur sebentar saja di kamarmu, seperti masa kecil kita dulu."
"Ke-kenapa kamu bawa polisi ke rumahku?" tanyanya gugup.
"Oh, ya... Kurasa kamu harus tahu, Bro. Sebelum kamu memintaku datang ke sini, aku sedang mencari seseorang, dia menghilang saat acara pemakaman. Aku sedang mencarinya. Kamu sempat ke pemakaman Danisha kan kemarin, apa kamu melihatnya?" tanya Sabil penuh penekanan.
"Tidak! Aku tidak melihatnya." Raditya melengos menghindari tatapan Sabil.
"Dia calon istriku," imbuhnya dengan suara rendah namun tegas.
Meski Raditya menunduk dan menghindari tatapan Sabil, bola mata Raditya membesar dan bola matanya terlihat gelisah dengan bergerak kesana kemari seperti ada sesuatu yang sedang ia rencanakan di kepalanya.
"Istrimu baru meninggal, kamu sudah memiliki penggantinya. Kamu lelaki brengsek!" makinya dengan wajah geram tapi matanya tidak berani menatap Sabil.
Sabil 4terkekeh, walaupun hatinya teramat kesal. Ia tahu sahabatnya sedang menutupi sesuatu.
"Dia adalah perempuan yang harus aku lindungi dari dunia luar yang seringkali kejam padanya." Sabil menatap lekat manik mata Raditya. "Siapapun yang menyakitinya, akan berurusan denganku."
"Ah, sudah pagi. Kalian pulang lah. Semalaman aku terjaga, sekarang aku ingin tidur memeluk bonekaku." Raditya mengambil bonekanya lalu memeluk dengan erat.
Dering ponsel di saku celana Sabil terus berbunyi nyaring, ia segera mengangkat panggilan telepon.
"Apa? Sudah ditemukan, dimana sekarang?! Baik, baik... Aku akan ke sana."
Saat tubuhnya akan beranjak dari kasur, tangan Sabil menyentuh sesuatu, sebuah pin untuk pasmina berbentuk bunga rose berwarna merah maroon, pin pemberian Wina untuk Hania. Ia menyembunyikan pin itu dalam genggaman tangannya sebelum pergi meninggalkan kamar Raditya.