Saquel dari Novel "Janda untuk om Duda"
Semenjak mamanya menikah dengan tuan muda Danendra, perlahan kehidupan Bella mulai berubah. Dari Bella yang tidak memiliki ayah, dia menemukan Alvaro, sosok ayah sambungnya yang menyayangi dirinya selayaknya anak kandungnya sendiri.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, sebuah insiden membuat semua berbalik membencinya. Bahkan mama kandungnya ikut mengabaikan dan mengucilkan Bella, seolah keberadaannya tidak pernah berarti.
Di tengah rasa sepi yang mendalam takdir mempertemukan kembali dengan Rifky Prasetya , dokter muda sekaligus teman masa kecil Bella yang diam-diam masih menyimpan rasa sayang untuknya. Bersama Rifky, Bella merasakan arti dicintai dan di lindungi.
Namun, apakah cinta masa lalu mampu menyembuhkan luka keluarga yang begitu dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kikoaiko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
Bella berdiri terpaku di parkiran mall, pandangannya tertuju pada sosok yang tak asing namun terasa asing sekaligus. Dia tanpa sengaja bertemu ibunya dan juga ayah sambungnya. Mata Bella membelalak, napasnya sesak ketika menyadari keduanya saling bertukar pandang.
"Tunggu, Bella," suara Arumi memecah keheningan, lembut namun penuh harap.
Namun sebelum Bella sempat membuka mulut, dari dalam mobil terdengar suara Rifky yang memanggil dengan nada tergesa, "Sayang, ayo!"
Jantung Bella berdegup keras. Ia mengangguk pelan tanpa menoleh ke arah Arumi, langkahnya berat saat masuk ke dalam mobil. Di balik kaca jendela yang mulai menutup, wajahnya terlihat muram, ada campuran kecewa dan luka yang sulit dihapus.
Kata-kata ibunya yang tidak boleh mengakui ibunya di hadapan publik terus berputar di kepala Bella. Larangan itu seperti belenggu yang menyesakkan, memisahkannya dari satu-satunya wanita yang pernah ia sebut ibu. Di balik kesunyian itu, Bella menahan diri agar tak meneteskan air mata, menyembunyikan rasa sakit yang tak bisa ia ungkapkan.
Mobil itu melaju meninggalkan Arumi, membuat mata wanita tengah baya itu merah dan berair, menatap sosok anaknya yang semakin mengecil di kejauhan. Ada campuran perih dan penyesalan yang menyesak dada, seolah setiap langkah mobil itu mengikis harapannya untuk memperbaiki segalanya.
Di sisi lain, Maureen yang berdiri di samping papanya mengerucut bibirnya kesal. Suara panggilan Rifky yang lembut memanggil Bella dengan sebutan "sayang" menusuk hatinya. Jari-jarinya mengepal erat, dada terasa sesak oleh cemburu yang membara.
"Papa lihat kan, mereka berpacaran," bisik Maureen dengan suara serak yang nyaris tak terdengar, matanya berkaca-kaca saat menatap jauh ke arah sekelompok remaja yang tengah asyik berbicara di sudut taman. Rasa sesak di dada membuatnya sulit bernapas, seperti ada duri yang terus menusuk hatinya perlahan.
Ia mengangkat kepalanya, mencoba menangkap perhatian ayahnya, namun Alvaro hanya mengalihkan pandangan sambil mengerutkan dahi.
"Kak Bella tahu aku suka sama Kak Rifky, tapi dia tetap aja mendekatinya," lanjut Maureen dengan nada getir yang berusaha disamarkan oleh senyum tipis dan kata-kata yang dibuat-buat santai.
Namun, di balik itu, kepedihan membara, seolah-olah dikhianati oleh orang terdekatnya sendiri. Tubuhnya sedikit bergetar, tangan kecilnya meremas ujung bajunya tanpa sadar.
Alvaro, dengan sikap dingin yang sudah menjadi kebiasaannya, menepuk bahu Maureen tanpa benar-benar menatapnya, "Biarin saja, mereka sudah dewasa. Kamu lebih baik fokus dengan pendidikan mu dulu" Suaranya datar, seperti melepas beban yang ia anggap remeh.
Tapi bagi Maureen, kata-kata itu seperti angin dingin yang menampar wajahnya, membuat luka hatinya terasa makin dalam dan kesepian yang ia rasakan semakin pekat. Diam-diam Maureen menundukkan kepala, menahan air mata yang mulai menggenang, berharap seandainya saja ada yang bisa mengerti betapa pahitnya rasa ini, betapa pedihnya dikhianati bukan oleh orang asing, tapi oleh kakak yang seharusnya melindungi. Di sudut matanya, bayangan Bella dan Rifky terlihat semakin jelas, membuatnya tersiksa dalam kesunyian yang mencekam.
"Ayo masuk," ucap Alvaro dengan suara tenang namun penuh kehangatan, tangannya sigap membuka pintu mobil untuk Arumi dan Maureen.
Arumi melangkah masuk dengan langkah pelan, matanya menatap lurus ke depan, mencoba meredam gejolak emosi yang masih mengganjal. Maureen duduk di sampingnya, wajahnya terlihat cemberut menahan marah.
Setelah memastikan keduanya sudah duduk dengan tenang, Alvaro menutup pintu dengan lembut, lalu berbalik menuju kursi kemudi dengan langkah mantap, namun tatapannya menyiratkan beban yang berat.
Di sisi lain, dalam mobil Rifky, Bella duduk membisu, tatapannya kosong menatap kaca samping. Bayangan wajah mamanya terus menghantui pikirannya—senyum lembut yang kini terasa jauh, air mata yang pernah tertahan, dan kata-kata terakhir yang belum sempat terucap.
Hatinya terombang-ambing antara rindu dan amarah yang membara, membentengi dirinya dari keinginan untuk mengulurkan tangan memeluk. Kebencian yang mengakar dari luka lama membuatnya menahan diri, apalagi Arumi dan Alvaro belum memberi ruang maaf untuknya.
Rifky menepikan mobil di pinggir jalan yang sepi, ia menekan rem dengan pelan, lalu membuka seatbeltnya. Dengan sigap, ia mengulurkan tangan, menarik tubuh Bella yang kaku ke arah pelukannya. Tubuh Bella awalnya kaku, ragu, namun sentuhan Rifky yang hangat dan penuh perhatian mulai mencairkan dinding di sekeliling hatinya. Nafas Bella tertahan, perasaan campur aduk membuncah dalam diam.
Rifky memeluknya erat, seolah ingin menyampaikan bahwa di tengah badai yang menerpa, dia tidak akan membiarkan Bella berdiri sendiri. "Menangislah sayang, aku tahu kamu pasti merindukan mereka"
Bella menghela nafas dalam, dia menepuk punggung Rifky pelan. "Jangan khawatir, aku baik-baik saja" ucap Bella mencoba kuat. Dia sudah tidak mau lagi menangis untuk keluarganya.
Rifky perlahan melepas pelukannya, lalu tangannya mengangkat wajah Bella dengan lembut. Matanya menatap tajam namun penuh kasih, seolah ingin menyampaikan bahwa semua beban itu tidak harus dipendam sendirian. "Kalau mau menangis, menangis saja. Jangan dipendam, nanti hatimu sakit," ucapnya dengan suara hangat yang menggetarkan.
Bella menundukkan kepalanya sebentar, lalu menggeleng pelan sambil tersenyum getir. "Untuk apa aku menangisi mereka? Orang mereka saja tidak peduli denganku kok. Aku rasa lebih baik aku fokus menjalani hidupku sendiri, daripada harus memikirkan mereka," jawabnya dengan nada dingin yang berusaha menyembunyikan luka terdalamnya.
Rifky hanya tersenyum tipis, matanya tetap tak beranjak dari wajah Bella. Tanpa peringatan, dia merapatkan tubuhnya dan menempelkan bibirnya ke bibir Bella.
Tubuh Bella seketika membeku, kaget oleh serangan tiba-tiba itu. Detak jantungnya mendadak berlari, campuran antara bingung dan kehangatan yang tak terduga menyelimuti dadanya. Rifky menahan ciuman itu seolah ingin memberitahu, bahwa dia ada di sana—untuknya, tak peduli betapa berat dunia di sekeliling mereka.
Setelah puas, Rifky pun melepaskan tautan bibirnya. Dia tersenyum sambil mengusap bibir Bella yang basah karena ulahnya.
"Rasanya manis" ucap Rifky.
"Yakk....kenapa kau menciumku" seru Bella setelah sadar, dia memukuli tubuh Rifky karena kesal.
"Harusnya kamu kasih aba-aba, biara akunya siap" seloroh Bella, membuat keduanya tertawa.