Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.
Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketemu Lagi?! Kok Bisa di Sini?!
Begitu masuk ke dalam kafe, Nayla langsung disambut oleh aroma kopi yang lebih pekat dan suara obrolan pelanggan yang riuh namun terasa hangat. Lampu gantung di dalam kafe memancarkan cahaya kekuningan yang lembut, membuat suasana terasa nyaman. Beberapa teman kerjanya sudah terlihat sibuk ada yang bolak-balik dari dapur membawa pesanan, ada yang sedang mengelap meja, dan ada pula yang mencatat orderan pelanggan dengan tergesa-gesa.
Nayla melangkah cepat menuju area loker karyawan yang berada di sudut ruangan, tak jauh dari dapur. Di sana, deretan loker berwarna cokelat muda berjajar rapi. Ia membuka loker miliknya yang sudah ditempeli stiker kecil bertuliskan "Nay". Dengan gerakan cepat, ia meletakkan tasnya ke dalam, lalu menghela napas panjang.
"Oke, Nayla. Saatnya kerja," gumamnya pelan sambil menepuk pipinya dua kali untuk membangkitkan semangat.
Tanpa banyak pikir, Nayla meraih ikat rambut dari dalam loker dan mulai mengikat rambutnya yang panjang. Ia tidak terlalu memperhatikan kerapihan, hanya mencepol rambutnya asal-asalan. Beberapa helai rambut tetap terlepas dan jatuh di sekitar wajah serta tengkuknya, membuat penampilannya terlihat sedikit berantakan namun tetap manis.
Selesai dengan rambutnya, Nayla mengenakan celemek hitam dengan logo kafe di bagian depan, lalu merapikan sedikit lipatan bajunya. Setelah itu, ia tersenyum pada bayangan dirinya di kaca kecil yang menempel di dalam pintu loker.
"Semangat, Nay! Hari ini pasti lancar," ujarnya memberi semangat pada dirinya sendiri.
Tepat saat Nayla hendak berbalik, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari belakang.
"Nay, lo baru datang ya? Syukurlah! Gila, kafe lagi rame banget. Kita kekurangan orang nih," seru Tari, salah satu senior sekaligus teman kerja Nayla yang selalu cerewet tapi baik hati.
"Iya, Kak. Sorry telat dikit, tadi habis kuliah," jawab Nayla sambil buru-buru menutup loker dan tersenyum canggung.
Tari hanya menggeleng. "Gapapa, yang penting sekarang lo siap tempur." Ia menyerahkan buku catatan kecil dan pulpen pada Nayla. "Lo bagian catat order sama antar makanan, ya. Yang di meja dua dan tiga udah nungguin dari tadi."
"Siap, Kak!" Nayla langsung menerima buku dan pulpen itu, lalu bergegas menuju area meja pelanggan.
Kafe terlihat lebih penuh dari biasanya. Beberapa pelanggan duduk santai sambil ngobrol, ada juga yang sibuk dengan laptop masing-masing. Aroma kopi, susu hangat, dan roti panggang bercampur, membuat suasana terasa hangat sekaligus sedikit hectic.
Sambil berjalan, Nayla terus mencoba menenangkan dirinya. "Fokus, Nay. Jangan kebayang Kak Revan lagi. Ini kerja, bukan drama romantis!" batinnya sambil menahan senyum.
Sesampainya di meja dua, Nayla langsung membungkuk sedikit dengan sopan sambil tersenyum.
"Selamat sore, Kakak-kakak. Mau pesan apa hari ini?" tanyanya ramah.
Pelanggan yang duduk di sana, dua perempuan muda, langsung menyodorkan menu. Salah satunya berkata, "Aku pesan cappuccino sama croissant cokelat, ya."
"Aku caramel latte sama donat," timpal yang satunya lagi.
"Oke, noted!" Nayla mencatat pesanan mereka dengan cepat, lalu memastikan ulang. "Cappuccino, croissant cokelat, caramel latte, dan donat. Benar, ya?"
"Benar," jawab mereka bersamaan sambil tersenyum.
"Baik, pesanannya segera saya antar." Nayla pun melangkah menuju dapur untuk memberikan catatan order kepada barista dan tim dapur.
Sambil menunggu pesanan selesai, ia membantu mengambil gelas dan piring bersih dari rak, lalu mengantarkannya ke meja pelanggan lain yang baru datang. Langkahnya lincah dan sigap, terlihat jelas kalau Nayla sudah terbiasa dengan ritme pekerjaan ini.
Namun di sela kesibukannya, ia tak bisa menghentikan senyum kecil yang muncul di bibirnya saat mengingat momen di parkiran tadi, ketika Revan memasangkan helm di kepalanya.
"Ya ampun, Nayla, fokus kerja! Jangan sampai senyum-senyum sendiri ketahuan orang," gumamnya dalam hati sambil menggigit bibir, mencoba menahan rasa bahagia yang meledak-ledak di dalam dadanya.
Tak lama kemudian, suara Tari terdengar memanggil dari arah dapur.
"Nay! Pesanan meja dua dan tiga udah jadi nih! Cepet ambil, pelanggan udah nungguin."
"Siap, Kak!" Nayla segera berlari kecil mengambil nampan berisi minuman dan makanan. Dengan hati-hati, ia mengantarkan pesanan tersebut ke meja pelanggan sambil tetap tersenyum ramah, membuktikan bahwa meski sibuk dan lelah, ia tetap profesional.
Di dalam hati, ia bertekad, "Kerja keras dulu, biar nanti bisa cerita seru sama Mita tentang hari ini!"
Nayla berjalan dengan hati-hati sambil membawa nampan berisi minuman dan makanan. Aroma kopi hangat dan roti panggang yang baru keluar dari oven membuat perutnya ikut keroncongan, tapi ia tetap memasang senyum ramah di wajahnya. Ia meletakkan pesanan itu di atas meja dengan gerakan terlatih.
"Ini pesanannya, Kak. Cappuccino dan croissant cokelat untuk Kakak, lalu caramel latte dan donat untuk Kakak satu lagi," ucap Nayla lembut.
"Makasih ya!" jawab pelanggan itu bersamaan, tampak senang karena pesanan mereka akhirnya datang.
"Sama-sama. Selamat menikmati, ya!" Nayla membungkuk sedikit, lalu berbalik dan berjalan menuju area dekat pintu masuk. Baru saja ia meletakkan nampan kosong di rak, bel pintu berbunyi ting-tong tanda ada pelanggan baru yang masuk.
Dua orang lelaki memasuki kafe. Keduanya terlihat santai, mengenakan setelan jas kantor, namun ada aura yang membuat beberapa pelanggan lain ikut melirik mereka. Salah satunya bahkan menoleh cepat, seolah ingin memastikan sesuatu.
"Selamat sore, Kak. Mau pesan apa?" Nayla bertanya dengan nada ramah dan penuh sopan santun.
Namun begitu salah satu dari mereka menoleh, senyum Nayla seketika membeku. Napasnya tercekat. Jantungnya berdetak begitu kencang seakan hendak meloncat keluar dari dada.
O... oh my God... demi apa ini... kenapa harus dia?! batinnya menjerit panik.
Tatapan mereka bertemu hanya sepersekian detik, tapi itu cukup membuat tubuh Nayla terasa kaku. Wajahnya seketika memanas, matanya terbelalak tak percaya.
Arga bersandar santai di kursinya, matanya memandang ke sekeliling kafe dengan tenang. Wajahnya tetap datar, khas dirinya yang selalu cool dan dingin. Tapi dalam hatinya, ia sebenarnya sedikit terkejut.
Ia sama sekali tidak menyangka akan bertemu Nayla di tempat ini bukan sebagai pelanggan, tapi sebagai pelayan kafe. Sosok gadis itu sekarang berdiri di hadapannya dengan celemek hitam, rambut dicepol asal hingga beberapa helai terlepas di sekitar wajahnya. Bagi orang lain mungkin biasa saja, tapi di mata Arga, pemandangan itu terasa... menarik.
Ternyata dia kerja di sini. Hmmm, menarik juga, batin Arga sambil memperhatikan setiap gerak Nayla dengan seksama.
Tak sadar, sudut bibirnya perlahan terangkat, membentuk senyum tipis yang jarang sekali ia tunjukkan. Senyum itu bukan sekadar senyum ramah, melainkan senyum penuh arti dan tentu saja, bagi Nayla, itu adalah alarm bahaya.
Nayla yang berdiri di depan mereka langsung menarik napas panjang. Ia memejamkan mata sepersekian detik sambil berkata dalam hati,
"Oke, Nayla. Profesional. Fokus kerja. Jangan emosi. Jangan kasih dia lihat kalo lo kesel. Lo cuma pelayan, dia cuma pelanggan. Simple."
Setelah merasa siap, Nayla kembali membuka mata dan memaksakan senyum tipis di bibirnya.
"Mau pesan apa, Pak?" tanyanya dengan nada datar tapi tetap sopan, menekankan kata Pak untuk memberi batasan di antara mereka.
Arga memiringkan kepalanya sedikit, sorot matanya penuh rasa usil. Ia tak langsung menjawab, malah membiarkan keheningan beberapa detik hanya untuk melihat Nayla gelisah. Lalu akhirnya, ia tersenyum senyum yang bagi orang lain mungkin terlihat menawan, tapi bagi Nayla... itu seperti senyum iblis.
"Saya mau espresso," ucap Arga pelan tapi jelas, sambil terus menatap Nayla tanpa berkedip.
Nayla bergidik ngeri seketika. Bulunya meremang hanya karena senyuman dan tatapan itu.
Sumpah ya, senyuman itu bukan senyuman biasa. Ini senyuman yang... mengerikan. Astaga, kenapa dia harus kayak gitu sih?! batin Nayla yang sudah ingin menjerit, tapi tetap memasang wajah profesional.
Ia buru-buru mengalihkan pandangan, menoleh ke arah pria yang duduk di sebelah Arga, yaitu Dion.
"Kalau Bapak?" tanyanya dengan suara yang sedikit lebih lembut.
Dion tersenyum ramah, berbeda jauh dengan aura Arga yang intimidating.
"Saya kopi hitam satu, ya. Yang panas," jawab Dion sambil melirik ke arah Arga, jelas sudah membaca ketegangan yang terjadi di antara mereka.
"Baik, saya ulangi pesanannya. Satu espresso panas, dan satu kopi hitam panas, betul?" Nayla memastikan sambil menulis cepat di buku catatannya.
"Betul," jawab Dion sambil mengangguk.
Arga hanya menggumam pelan, matanya masih menatap Nayla tanpa henti. Tatapannya itu membuat Nayla semakin tidak nyaman. Rasanya seperti ada laser yang menembus kulitnya, membuat jantungnya berdegup tak karuan.
Berusaha tetap profesional, Nayla menghela napas pelan, lalu memaksakan senyum tipis.
"Baiklah, tunggu sebentar, ya. Pesanannya akan segera saya antar."
Tanpa memberi kesempatan bagi Arga untuk berkata apa pun lagi, Nayla langsung membalikkan badan dan berjalan cepat menuju dapur.
Begitu punggung Nayla menghilang, Dion langsung terkekeh pelan sambil menoleh ke Arga.
"Gila, Ar. Itu tatapan apaan barusan? Lo kayak lagi makan orang, sumpah." Dion menyikut bahu Arga sambil tersenyum jahil.
"Biasanya lo tuh orang paling cuek dan dingin sedunia, tapi tadi... bahkan gue aja ikut ngerasa deg-degan liat lo ngeliatin dia."
Arga tetap tenang, tidak langsung menjawab. Ia hanya mengambil HP nya.