kisah cinta di dalam sebuah persahabatan yang terdiri atas empat orang yaitu Ayu , Rifa'i, Ardi dan Linda. di kisah ini Ayu mencintai Rifa'i dan Rifa'i menjalin hubungan dengan Linda sedangkan Ardi mencintai Ayu. gimana ending kisah mereka penasaran kaaan mari baca jangan lupa komen, like nya iya 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Husnul rismawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 33 keseruan 3 serangkai
"Di," Rifa'i menyela keheningan di antara mereka, "Gue punya ide... agak nekat sih."
Ardi mengangkat wajahnya, menatap Rifa'i dengan tatapan bertanya. "Nekat gimana, Rif?"
Rifa'i menarik napas dalam, seolah mengumpulkan keberanian. "Gue pikir... lo harus nyatain perasaan lo ke Ayu."
Ardi terdiam. Raut wajahnya berubah, dari khawatir menjadi kaget bercampur pahit. Ia menunduk, memainkan sedotan di gelas kopinya.
Andai lo tahu, Rif. Andai lo tahu kalau yang dia suka itu lo. Bukan gue. Gue nggak bisa nyatain perasaan yang dia nggak mau dengar dari gue, batin Ardi, terasa ngilu.
"Rif... lo nggak tahu apa-apa," gumam Ardi, lirih nyaris tak terdengar.
Rifa'i mengerutkan kening. "Maksud lo?"
Ardi mengangkat wajahnya, menatap Rifa'i dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kesedihan, kepasrahan, dan sedikit rasa bersalah di sana.
"Rif... gue nggak bisa," kata Ardi, dengan nada pelan namun tegas.
Rifa'i semakin bingung. "Kenapa nggak bisa? Lo kan sayang sama Ayu. Ini mungkin kesempatan lo buat nunjukkin perasaan lo."
Ardi menggelengkan kepalanya. "Nggak, Rif. Ini... ini bukan waktu yang tepat. Dan... gue rasa, ini nggak akan pernah jadi waktu yang tepat."
Rifa'i mencoba meraih tangan Ardi, memberikan dukungan. "Di, lo kenapa sih? Lo nyerah gitu aja? Lo nggak mau berjuang buat cinta lo?"
Ardi menarik tangannya, menghindari sentuhan Rifa'i. Ia menghela napas panjang, seolah menyimpan beban yang sangat berat.
"Rif... gue tahu, Ayu suka sama orang lain," kata Ardi, akhirnya membuka rahasia yang selama ini ia simpan.
Rifa'i terkejut. "Suka sama orang lain? Siapa?"
Ardi menggelengkan kepalanya lagi. "Gue nggak bisa bilang, Rif. Gue udah janji sama Ayu."
Gue udah janji sama dia, Rif. Janji buat nggak ngasih tahu lo kalau lo adalah alasan dia sekarang berubah. Janji buat nggak bilang kalau lo adalah orang yang dia suka, batin Ardi, merasakan tusukan di dadanya.
Rifa'i semakin penasaran. "Janji? Janji apa?"
Ardi mengigit bibirnya, tampak ragu untuk melanjutkan. "Ayu cerita sama gue. Dia bilang, dia suka sama seseorang. Tapi dia minta gue buat nggak cerita sama siapa-siapa, termasuk lo."
Rifa'i terdiam, mencoba mencerna informasi tersebut. Ia merasa sedikit tersinggung karena Ardi lebih memilih untuk menyimpan rahasia Ayu daripada bercerita padanya. Tapi, ia juga bisa memahami posisi Ardi sebagai sahabat yang berusaha menjaga kepercayaan.
"Jadi... karena lo tahu Ayu suka sama orang lain, lo nyerah gitu aja?" tanya Rifa'i, dengan nada sedikit kecewa.
Ardi mengangkat wajahnya, menatap Rifa'i dengan tatapan penuh penyesalan. "Gue nggak mau ngerusak semuanya, Rif. Gue nggak mau Ayu jadi nggak nyaman sama gue. Gue lebih baik jadi sahabatnya daripada jadi orang yang dia hindari," jawab Ardi, dengan nada lirih.
Rifa'i menghela napas. Ia bisa melihat betapa beratnya beban yang dipikul Ardi. Ia bisa merasakan betapa besarnya rasa sayang Ardi pada Ayu, hingga ia rela mengorbankan perasaannya sendiri demi kebahagiaan sahabatnya.
"Oke, Di. Gue ngerti," kata Rifa'i, akhirnya mengalah. "Tapi... siapa orang yang disukai Ayu? Apa dia orang yang baik?"
Dia orang yang baik, Rif. Dia orang yang paling baik yang gue kenal. Dan dia... dia ada di depan gue sekarang, batin Ardi, menahan diri untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.
Ardi menggelengkan kepalanya. "Gue nggak tahu, Rif. Ayu nggak cerita banyak. Yang jelas, dia lagi bingung dan nggak tahu harus gimana."
Rifa'i terdiam. Ia merasa semakin khawatir dengan keadaan Ayu. Kalau Ayu menyukai seseorang tapi merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, pasti ada sesuatu yang tidak beres.
"Di," kata Rifa'i, dengan nada serius, "Kita harus cari tahu siapa orang yang disukai Ayu. Kita harus bantu dia buat ngadepin masalahnya."
Gimana caranya gue bantu lo cari tahu, Rif, kalau gue udah tahu jawabannya? Gimana caranya gue bantu dia ngadepin masalahnya, kalau masalahnya itu lo? batin Ardi, merasa terjepit.
Ardi mengangguk setuju. "Gue juga mikir gitu, Rif. Tapi gimana caranya? Kita nggak bisa langsung nanya ke Ayu."
Rifa'i berpikir sejenak. "Kita bisa coba cari tahu dari teman-teman deketnya. Atau... kita bisa coba perhatiin gerak-gerik Ayu. Siapa tahu, kita bisa nemuin petunjuk."
Ardi mengangguk setuju. "Oke, Rif. Kita lakuin itu bareng. Kita harus bantu Ayu, apapun yang terjadi."
Ya, apapun yang terjadi. Meskipun itu berarti gue harus melihat lo berdua bahagia. Meskipun itu berarti gue harus merelakan dia, batin Ardi, dengan hati yang hancur namun mencoba tegar.
Mereka berdua berjanji untuk bekerja sama mencari tahu siapa orang yang disukai Ayu walaupun sebenarnya Ardi sudah mengetahui siapa orangnya tapi iya tetap berpura-pura seakan iya tidak mengetahuinya dan membantu Ayu menyelesaikan masalahnya. Mereka tidak peduli dengan perasaan mereka sendiri. Yang terpenting bagi mereka adalah kebahagiaan Ayu.
Keesokan harinya, sebelum berangkat kerja, Rifa'i dan Ardi sepakat untuk mampir ke rumah Ayu. Pagi itu, mentari Jakarta mulai menghangatkan suasana, seolah memberi semangat baru bagi kedua sahabat itu.
"Lo yakin, Rif, kita mau langsung datengin Ayu?" tanya Ardi, ragu. Mereka sudah berada di depan pagar rumah Ayu yang bercat putih.
Rifa'i mengangguk mantap. "Kita nggak bisa terus-terusan diem, Di. Ayu butuh kita. Gue yakin, dengan kita ada di sampingnya, dia bakal lebih terbuka."
Ardi menghela napas, mencoba menenangkan diri. Ia tahu Rifa'i benar, tapi tetap saja ada perasaan tidak nyaman yang mengganjal di hatinya. Ia takut, kedatangan mereka justru akan membuat Ayu semakin tertekan.
"Oke, tapi inget, Rif. Kita harus hati-hati. Jangan sampe Ayu curiga," pesan Ardi, mengingatkan.
Rifa'i tersenyum tipis. "Tenang aja, Di. Gue serahin semua sama lo. Lo kan yang paling deket sama Ayu."
Ardi tersenyum kecut. "Justru itu masalahnya, Rif."
Setelah menarik napas dalam-dalam, Rifa'i menekan bel rumah Ayu. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya membuka pintu.
"Eh, ada Rifa'i sama Ardi. Cari Ayu ya? Sebentar ya, Ibu panggilin," sapa Ibu Ayu ramah, lalu mempersilakan mereka masuk.
Mereka berdua duduk di ruang tamu yang sederhana namun terasa nyaman. Beberapa saat kemudian, Ayu muncul dengan wajah sedikit terkejut.
"Rifa'i? Ardi? Ada apa kalian pagi-pagi ke sini?" tanya Ayu, heran.
Rifa'i tersenyum. "Nggak ada apa-apa kok, Yu. Cuma pengen nyapa aja sebelum kita berangkat kerja. Bener kan, Di?"
Ardi mengangguk, berusaha tersenyum senormal mungkin. "Iya, Yu. Kebetulan kita lagi ada waktu luang."
Ayu menatap kedua sahabatnya dengan tatapan menyelidik. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka.
"Kalian nggak bohong kan?" tanya Ayu, curiga.
Rifa'i dan Ardi saling bertukar pandang. Mereka tahu, mereka harus berhati-hati dalam bersikap.
"Nggak kok, Yu. Beneran deh," jawab Rifa'i, meyakinkan.
Ayu menghela napas lega. "Oke deh, gue percaya sama kalian. Eh, tapi beneran nih, nggak ada apa-apa? Tumben banget pagi-pagi udah nongol di sini." Ayu menaikkan alisnya, sedikit curiga tapi juga geli.
Rifa'i nyengir lebar. "Ya ampun, Yu, segitunya curiga sama sahabat sendiri. Kita kan kangen pengen liat lo sebelum sibuk kerja."
Ayu memutar bola matanya. "Alah, palingan juga bosen di rumah terus gangguin pacar."
Rifa'i tertawa. "Ya nggak gitu juga, Yu. Tapi emang bener sih, kadang suka bingung mau ngapain kalau lagi nggak kerja."
Ardi terkekeh. "Udah, Yu, percaya aja sama Rifa'i. Dia kan emang suka gitu, tiba-tiba dateng tanpa alasan."
"Iya deh, iya. Terserah kalian aja," kata Ayu, sambil tersenyum. "Eh, ngomong-ngomong, kalian udah sarapan belum?"
Rifa'i menggeleng. "Belum nih, Yu. Tadi buru-buru berangkat."
"Sama, gue juga belum sempet sarapan," timpal Ardi.
"Nah, pas banget! Kebetulan Ibu masak nasi goreng banyak banget. Mau sarapan bareng nggak?" tawar Ayu.
Rifa'i dan Ardi saling bertukar pandang. "Wah, boleh banget tuh, Yu! Nggak nolak deh kalau ada rejeki nasi goreng," jawab Rifa'i, semangat.
"Aku juga nggak nolak. Lumayan buat ganjel perut sebelum kerja," kata Ardi, sambil tersenyum.
"Oke deh, tunggu sebentar ya, aku ambilin piring sama sendok dulu," kata Ayu, lalu beranjak ke dapur.
Setelah Ayu kembali dengan membawa piring dan sendok, mereka bertiga langsung menyantap nasi goreng buatan Ibu Ayu dengan lahap.
"Wah, enak banget nasi gorengnya, Bu! Bener-bener bikin nagih," puji Rifa'i, sambil mengacungkan jempolnya.
"Iya, bener, Bu. Nggak ada duanya deh nasi goreng buatan Ibu," timpal Ardi.
Ibu Ayu tersenyum senang. "Makasih ya, Nak. Kalian ini emang selalu bikin Ibu semangat masak."
Mereka bertiga terus mengobrol dan bercanda sambil menikmati sarapan mereka. Suasana pagi itu terasa sangat hangat dan menyenangkan.
"Eh, udah jam segini nih. Kita harus berangkat kerja sekarang," kata Ardi, melihat jam tangannya.
"Iya nih, nggak kerasa udah lama banget kita ngobrol," timpal Rifa'i.
"Yaudah deh, kalian hati-hati ya di jalan. Makasih ya udah mau mampir," kata Ayu, sambil melambaikan tangannya.
Rifa'i dan Ardi berpamitan kepada Ayu dan ibunya. Mereka berdua keluar dari rumah Ayu dengan perasaan yang sangat senang dan bersemangat untuk memulai hari.