NovelToon NovelToon
KISAH CINTA YASMIN DAN ZIYAD

KISAH CINTA YASMIN DAN ZIYAD

Status: tamat
Genre:Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter Genius / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Babah Elfathar

Kisah Seorang Gadis bernama Yasmin yang baru pindah ke desa, setelah coba tinggal di kota dan tidak nyaman, dia tinggal di rumah sang nenek, Yasmin seorang gadis yang mandiri, ceria diluar, namun menyimpan sebuah duka, bertemu dengan Ziyad seorang dokter muda yang aslinya pendiam, tidak mudah bergaul, terlihat dingin, berhati lembut, namun punya trauma masa lalu. bagaimana kisahnya.. sedikit contekan ya.. kita buat bahasa seni yang efik dan buat kita ikut merasakan tulisan demi tulisan..

yda langsung gaskeun aja deh.. hehehe

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Bab 23

Pagi datang dengan cahaya lembut. Kabut tipis masih menggantung di atas sawah yang baru saja disiram hujan semalam. Udara terasa segar, tapi ada keheningan aneh yang belum pergi dari Desa Tembung. Seolah-olah langit belum benar-benar percaya kalau badai telah usai.

Yasmin membuka jendela kamarnya perlahan. Embun menetes dari daun pisang di halaman. Aroma tanah basah masih terasa kental, bercampur bau kayu dan bunga kenanga dari pekarangan belakang. Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang belum stabil.

Semalam ia menangis terlalu lama. Setiap kata dari Ziyad terus terngiang di kepala—tentang cinta, dosa, dan ketakutan untuk bertahan. Tapi yang paling ia ingat adalah genggaman tangan pria itu di bawah hujan—hangat, jujur, dan rapuh sekaligus.

“Ziyad…” bisiknya lirih dengan nada rindu.

Dari luar kamar, terdengar suara Nek Wan batuk kecil. Yasmin segera bergegas, menyiapkan air hangat dan secangkir teh. Neneknya duduk di kursi rotan di beranda, mengenakan selendang tipis dan menatap jauh ke sawah.

“Sudah reda hujannya, Nek,” ucap Yasmin lembut dengan nada hangat.

Nek Wan mengangguk pelan. “Ya, tapi hujan di hati orang belum tentu reda, Min,” ucapnya tenang dengan nada dalam.

Yasmin duduk di sampingnya. “Maksud Nek Wan?” tanyanya pelan dengan nada penasaran.

Nek Wan menatap cucunya lama. “Kau tahu, semalam aku lihat banyak mata di luar sana yang masih belum ikhlas. Mereka lihat kau dan Ziyad bersama di bawah hujan, dan mereka akan mulai bicara lagi,” ucapnya perlahan dengan nada khawatir.

Yasmin menunduk. “Biar saja, Nek. Aku sudah lelah menyesuaikan diri dengan mulut orang lain,” ucapnya pelan dengan nada pasrah.

Neneknya mendesah. “Kadang, yang kita abaikan justru bisa jadi badai baru. Tapi Nek tahu, kau bukan anak yang mudah goyah,” ucapnya lembut dengan nada penuh kasih.

Yasmin tersenyum kecil. Ia menggenggam tangan neneknya. “Selama Nek Wan di sini, aku tidak takut apa pun,” ucapnya pelan dengan nada hangat.

Namun jauh di dalam hatinya, Yasmin tahu—ketenangan itu tidak akan lama.

Di sisi lain kampung, Ziyad berdiri di halaman klinik kecilnya. Dinding kayu masih lembab, dan atap seng berkilau oleh sisa air. Ia menatap papan nama yang mulai pudar: “Praktik dr. Ziyad Rahman”.

Suara langkah terdengar dari belakang. Itu Pak Taufan, kepala dusun, dengan payung yang masih menetes air.

“Ziyad, bisa bicara sebentar?” ucapnya datar dengan nada serius.

Ziyad menoleh dan mengangguk. “Tentu, Pak. Ada apa?” jawabnya sopan dengan nada tenang.

Pak Taufan mendekat, menatapnya lama. “Desa sedang ramai membicarakan kejadian semalam. Orang-orang mulai bertanya-tanya kenapa kau dan Yasmin masih saja bersama, padahal masa lalu kalian sudah cukup berat,” ucapnya pelan dengan nada hati-hati.

Ziyad menarik napas panjang. “Saya tahu, Pak. Tapi saya tidak bisa terus bersembunyi dari kenyataan,” ucapnya mantap dengan nada tenang.

“Tapi kenyataan juga tidak bisa disetir sesuka hati,” sahut Pak Taufan tegas dengan nada menekan. “Sebagian orang mulai meminta agar musyawarah besar minggu depan membicarakan ‘keberadaanmu’ di desa ini. Mereka bilang, namamu membawa sial.”

Ziyad terdiam lama. Hujan semalam terasa belum benar-benar berhenti di dadanya.

“Saya hanya ingin menolong orang, Pak. Tidak lebih,” ucapnya pelan dengan nada getir.

Pak Taufan menatapnya lama, lalu menghela napas berat. “Aku tahu, Ziyad. Tapi terkadang niat baik pun bisa disalahpahami. Siapkan hatimu,” ucapnya tenang dengan nada peringatan.

Begitu pria tua itu pergi, Ziyad menatap sawah di depan klinik. Angin bertiup pelan, tapi dinginnya menembus sampai ke tulang.

Dalam hati ia berbisik, “Kalau pun aku harus pergi lagi… semoga kali ini bukan karena ketakutan,” ucapnya lirih dengan nada pedih.

Menjelang siang, Yasmin datang ke klinik membawa makanan. Wajahnya sedikit pucat, tapi senyumnya tetap sama.

“Aku bawa nasi sayur sama ikan asin, mungkin kau belum makan,” ucapnya lembut dengan nada perhatian.

Ziyad tersenyum samar. “Kau tidak perlu repot, Yasmin,” ucapnya pelan dengan nada canggung.

“Aku ingin repot,” jawab Yasmin cepat dengan nada tegas.

Ziyad terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Kau tidak pernah berubah,” ucapnya ringan dengan nada hangat.

Yasmin menatapnya lembut. “Dan kau… terlalu sering menahan diri,” ucapnya pelan dengan nada lirih.

Ziyad menunduk. “Aku hanya tidak ingin membuatmu susah,” ucapnya pelan dengan nada menyesal.

“Kau tidak membuatku susah. Kau membuatku hidup,” jawab Yasmin pelan dengan nada tulus.

Hening menelusup di antara mereka. Hanya suara angin yang berdesir melewati jendela terbuka.

Ziyad menatap wajah Yasmin lama. “Aku ingin percaya kalau kita bisa melewati ini, Yasmin. Tapi dunia tidak mudah untuk dua orang seperti kita,” ucapnya jujur dengan nada getir.

Yasmin tersenyum tipis. “Kalau dunia tidak mudah, maka biar aku yang jadi alasmu berdiri,” ucapnya tegas dengan nada lembut.

Ziyad terdiam, bibirnya bergerak seolah ingin membalas, tapi suara anak kecil dari luar memanggil.

“Dokter! Tolong, adik saya jatuh di ladang!” seru anak itu panik dengan nada tergesa.

Ziyad langsung berdiri. “Arah mana?” ucapnya cepat dengan nada sigap.

“Di belakang rumah Pak Rahmat!” jawab anak itu dengan nada cemas.

Ziyad mengambil tas medisnya. Yasmin ikut berlari di belakang tanpa berpikir panjang. Hujan mungkin sudah berhenti, tapi langkah mereka berdua kini kembali menuju badai lain—bukan badai di langit, melainkan di hati manusia.

***

Ziyad berlari menembus jalan becek menuju ladang belakang. Udara lembap, tanah licin, dan sisa kabut masih menggantung di atas rerumputan. Yasmin berlari di belakangnya, selendangnya tersangkut ranting, tapi ia terus memaksa langkah tanpa menoleh.

Begitu tiba di ladang, mereka menemukan seorang bocah laki-laki tergeletak di antara batang jagung rebah. Kakinya terluka parah terkena sabit yang terjatuh. Darah mengalir, menciptakan garis merah di tanah basah.

“Ambil kain bersih!” ucap Ziyad cepat dengan nada tegas.

Yasmin merobek ujung bajunya tanpa ragu, menyerahkannya pada Ziyad. Pria itu segera menekan luka bocah itu, menghentikan perdarahan dengan tangan gemetar.

“Tenang, Nak, tidak apa-apa, napas dulu,” ucap Ziyad lembut dengan nada menenangkan.

Bocah itu meringis, menahan tangis. Yasmin memegang kepalanya, membisikkan doa pelan-pelan agar anak itu tetap sadar. Ziyad bekerja cepat, tangannya cekatan, wajahnya tegang tapi fokus.

Setelah beberapa menit, darah mulai berhenti mengalir. Ziyad membalut luka itu rapi, lalu mengangkat bocah itu ke gendongannya.

“Ke klinik. Sekarang,” ucapnya singkat dengan nada tegas.

Yasmin mengangguk, membantu menyingkirkan ranting di jalan. Mereka berjalan cepat, menembus jalan sempit di antara sawah. Dari kejauhan, warga mulai berdatangan, beberapa berbisik pelan, memperhatikan kedekatan mereka berdua.

Namun Ziyad tidak peduli. Ia hanya fokus menyelamatkan anak itu. Dalam matanya, ada sesuatu yang menyala—bukan hanya rasa tanggung jawab, tapi juga tekad yang lebih dalam: membuktikan bahwa ia bukan seperti yang orang kampung bicarakan.

 

Setelah bocah itu selamat dan tertidur di ranjang klinik, Yasmin duduk di kursi kayu, menatap Ziyad yang sedang mencuci tangannya.

“Lihat? Kau menolong anak itu tanpa ragu. Kau selalu begini, Ziyad,” ucapnya lembut dengan nada kagum.

Ziyad menatap air yang menetes dari jarinya. “Menolong orang lain selalu lebih mudah daripada menolong diri sendiri,” ucapnya pelan dengan nada getir.

Yasmin menghela napas. “Kau masih menyalahkan diri sendiri?” tanyanya pelan dengan nada khawatir.

Ziyad terdiam lama. “Bagaimana aku bisa berhenti? Kecelakaan itu... bukan sekadar tragedi bagiku. Aku kehilangan tunanganku, dan ayahmu kehilangan nyawanya. Lalu aku datang ke sini, ke tempat di mana semua itu dimulai,” ucapnya lirih dengan nada berat.

Yasmin memandangnya dalam diam. Matanya berkaca-kaca, tapi senyumnya lembut. “Kau datang bukan karena kesalahan, tapi karena ingin menebusnya,” ucapnya pelan dengan nada penuh keyakinan.

Ziyad mendongak, menatapnya. “Dan kau masih bisa memaafkanku, setelah tahu semuanya?” ucapnya lirih dengan nada tak percaya.

Yasmin mengangguk kecil. “Memaafkan bukan karena lupa, tapi karena aku tidak mau terus hidup dalam dendam,” ucapnya lembut dengan nada tulus.

Ziyad menatap wajahnya lama, lalu berbisik, “Kau lebih kuat dari siapa pun yang pernah aku kenal,” ucapnya kagum dengan nada haru.

Yasmin tersenyum tipis. “Dan kau lebih rapuh dari yang dunia kira,” ucapnya pelan dengan nada lembut.

 

Sore hari turun pelan. Langit berwarna jingga keemasan, membelah sisa awan kelabu yang masih menggantung. Dari jendela klinik, Yasmin melihat anak-anak bermain lumpur, tawa mereka melayang ringan di udara.

Ziyad duduk di kursi depan, diam, menatap jauh. Yasmin mendekat, membawa dua cangkir teh panas.

“Minum dulu, hangatkan badanmu,” ucapnya lembut dengan nada perhatian.

Ziyad mengambil cangkir itu, menatap uapnya yang menari pelan. “Terima kasih, Yasmin. Untuk semuanya,” ucapnya pelan dengan nada tulus.

“Kalau kau terus bilang terima kasih, aku mulai hitung dan tagih bunganya nanti,” sahut Yasmin sambil tersenyum kecil dengan nada menggoda.

Ziyad terkekeh pelan. “Kau tahu cara membuat sunyi jadi terasa hidup,” ucapnya lembut dengan nada hangat.

Mereka terdiam sebentar, menikmati udara sore yang mulai sejuk. Namun di balik ketenangan itu, Ziyad merasa bayangan masa lalu masih belum selesai.

“Yasmin,” panggilnya tiba-tiba dengan nada serius.

Yasmin menoleh. “Ya?” ucapnya pelan dengan nada lembut.

Ziyad menatap matanya dalam. “Aku harus ke kota minggu depan. Ada seseorang yang ingin menemuiku... keluarga dari tunanganku dulu,” ucapnya perlahan dengan nada hati-hati.

Yasmin terdiam. Jemarinya yang memegang cangkir bergetar sedikit. “Kau akan pergi?” tanyanya lirih dengan nada cemas.

“Untuk sementara,” jawab Ziyad singkat dengan nada datar.

“Apa kau akan kembali?” ucap Yasmin pelan dengan nada takut.

Ziyad menatap langit senja. “Aku tidak tahu. Tapi aku ingin,” ucapnya jujur dengan nada ragu.

Yasmin menghela napas panjang, menatap embun di kaca jendela. “Aku tidak akan menahanmu, Ziyad. Tapi kalau kau kembali, pastikan bukan karena rasa bersalah lagi,” ucapnya tegas dengan nada tenang.

Ziyad menatapnya lama, matanya melembut. “Aku akan kembali karena ingin hidup... bersamamu,” ucapnya pelan dengan nada penuh janji.

 

Malam turun perlahan. Suara jangkrik menggantikan tawa sore. Yasmin pulang ke rumah membawa rasa hampa yang sulit dijelaskan. Di beranda, Nek Wan sudah menunggu sambil merajut.

“Dari klinik lagi?” tanya neneknya tanpa menoleh dengan nada datar.

Yasmin duduk di sampingnya. “Ya, Nek. Ada anak yang terluka. Ziyad menolong,” ucapnya pelan dengan nada tenang.

Nek Wan berhenti merajut. “Kau mulai menyimpan sesuatu di hati, Min,” ucapnya lembut dengan nada waspada.

Yasmin menunduk. “Aku tidak menyimpan, hanya menjaga,” ucapnya pelan dengan nada lirih.

“Menjaga yang rapuh kadang lebih berbahaya daripada melepaskan,” ucap Nek Wan pelan dengan nada bijak.

Yasmin memandang langit malam. “Kalau aku melepaskan, Nek… siapa yang akan bertahan untuknya?” ucapnya lirih dengan nada sedih.

Neneknya menatap cucunya dengan mata yang penuh sayang. “Kalau cinta itu benar, Min, ia tidak perlu dijaga sendirian. Ia akan tetap hidup, bahkan dalam badai,” ucapnya lembut dengan nada penuh makna.

Yasmin tersenyum kecil, tapi air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

 

Di kamar kecilnya, Ziyad duduk menatap foto lama di atas meja. Di dalam bingkai itu, tunangannya tersenyum di samping seorang pria paruh baya — ayah Yasmin.

Ia mengelus foto itu dengan jari gemetar. “Aku tidak tahu apakah aku pantas bahagia setelah semua ini,” ucapnya lirih dengan nada putus asa.

Hujan kecil mulai turun lagi di luar, mengetuk genting pelan. Ziyad menatap ke arah jendela, suaranya bergetar.

“Kalau aku pergi, semoga kau tahu, Yasmin... bukan karena aku ingin menjauh. Tapi karena aku ingin berdamai dengan masa lalu,” ucapnya lirih dengan nada hancur.

Ia memejamkan mata, membiarkan air hujan bercampur dengan air mata yang jatuh. Di luar sana, angin membawa bau tanah dan kenangan yang belum selesai.

Dan malam itu, meski hujan kembali turun, rasanya tak seberat dulu. Karena kali ini, di balik dinginnya, ada kehangatan baru—keberanian untuk melangkah, dan harapan kecil bahwa cinta yang tulus bisa tumbuh bahkan di tanah yang pernah retak.

Bersambung.

1
Nadhira💦
endingnya bikin mewek thorrr...
Babah Elfathar: Biar ga sesuai sangkaan, hehehe
total 1 replies
Amiura Yuu
suka dg bahasa nya yg gak saya temukan dinovel lain nya
Babah Elfathar: mkasi jangan lupa vote, like dan subscribe ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!