Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.
Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.
Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran di Balik Topeng
Mimpi itu datang lagi. Al Fariz berdiri di tepian danau yang airnya sehitam malam, memantulkan wajah-wajah yang silih berganti. Wajah ibunya yang tersenyum lembut, lalu berubah menjadi rupa Khadijah yang penuh kesedihan. Terakhir, wajahnya sendiri—tetapi dengan mata yang berwarna ungu tua.
"Darah kita adalah kutukan," suara itu bergema dari dalam air. "Tapi juga penebus."
Al Fariz terbangun dengan keringat dingin membasahi pelipis. Cahaya fajar baru saja menyapa Nurendah, namun sesuatu terasa berbeda. Udara terasa berat, penuh dengan energi misterius yang membuat bulu roma berdiri.
"Paduka!" Dayang Sari membuka pintu kamarnya tanpa mengetuk, wajahnya pucat. "Ada sesuatu yang terjadi di taman istana."
Di taman, sebuah pemandangan aneh menyambut mereka. Bunga-bunga yang semalam merekah indah, kini layu dan berwarna keabu-abuan. Lebih aneh lagi, di tengah taman terdapat lingkaran rumput yang masih hijau segar, membentuk simbol yang sama dengan yang mereka temukan di ruang tahta.
Fadhil sudah berada di sana, berlutut memeriksa tanah. "Energi segel semakin melemah. Alam mulai merasakan dampaknya."
Khadijah muncul dari balik pepohonan, wajahnya khawatir. "Ini baru permulaan. Jika segel benar-benar runtuh, tidak hanya Nurendah yang akan terkena dampaknya."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Al Fariz, menatap bibinya.
"Kita harus menemukan Hati Nurendah," jawab Khadijah. "Artefak yang disembunyikan oleh pendiri kerajaan kita. Hanya dengan itu segel bisa diperbaiki—atau dihancurkan selamanya."
Fadhil mengangguk pelan. "Aku pernah mendengar legenda itu. Tapi selalu mengira itu hanya dongeng pengantar tidur."
"Itu nyata, Paman," sahut Khadijah. "Dan ibu kita—ibu Al Fariz dan aku—telah menemukan lokasinya sebelum dia dibunuh."
Mereka kembali ke perpustakaan kerajaan, di mana Khadijah menunjukkan peta kuno yang disembunyikan dalam jurnal ibunya. Peta itu menunjuk ke sebuah pulau terpencil di selatan, tempat yang dianggap angker oleh para pelaut.
"Pulau Bayangan," bisik Fadhil. "Tempat di mana waktu berjalan berbeda."
Tapi rencana mereka harus tertunda. Dari luar istana, teriakan warga mulai terdengar. Al Fariz bergegas ke balkon, dan pemandangan yang menakutkan menyambutnya.
Warga-warga Nurendah berkumpul di alun-alun, tapi mereka tidak seperti biasanya. Mata mereka kosong, dan mereka bergerak serempak seperti boneka. Yang lebih menyeramkan, bayangan mereka tidak mengikuti gerakan tubuh—melainkan bergerak sendiri, membentuk pola-pola aneh.
"Penjaga Segel," desis Khadijah. "Mereka menggunakan sihir bayangan untuk mengendalikan warga."
"Kenapa mereka melakukan ini?" tanya Dayang Sari dengan suara bergetar.
"Untuk mencegah kita pergi ke Pulau Bayangan," jawab Fadhil. "Mereka tahu jika segel diperbaiki, kekuatan mereka akan hilang."
Al Fariz menatap rakyatnya yang tak berdaya. "Kita harus membantu mereka."
"Tapi bagaimana?" Khadijah memandangnya. "Jika kita melawan, kita bisa melukai warga yang tidak bersalah."
Al Fariz teringat pelajaran sebelumnya—tentang menerima kegelapan daripada melawannya. Dengan keyakinan baru, dia melangkah ke balkon dan menyapa kerumunan di bawah.
"Warga Nurendah! Aku tahu kalian masih ada di dalam sana! Dengarkan suaramu sendiri, bukan bisikan yang mencoba mengendalikan kalian!"
Awalnya, tidak ada respons. Tapi kemudian, seorang anak kecil mengangkat kepalanya, matanya berkedip-kedip penuh kebingungan.
"Paduka?" suara kecilnya terdengar.
Itulah yang dibutuhkan. Satu per satu, warga mulai sadar dari kendali sihir. Bayangan-bayangan yang memberontak mulai menyusut, kembali ke bentuk normal.
Tapi kemenangan ini singkat. Dari balik kerumunan, sosok-sosok bertopeng emas muncul. Mereka adalah Penjaga Segel yang sebenarnya.
"Sultan Al Fariz," pimpinan mereka berbicara dengan suara bergema. "Kau tidak memahami konsekuensi dari tindakanmu."
"Dan kalian tidak memahami arti kebebasan," balas Al Fariz.
Pertarungan tidak terelakkan. Tapi ini bukan pertarungan pedang atau sihir biasa. Setiap kali Al Fariz mencoba menyerang, Penjaga Segel justru menggunakan warga sebagai perisai.
"Kau lihat?" pimpinan Penjaga Segel tertawa. "Inilah kelemahanmu. Kau terlalu peduli."
Fadhil dan Khadijah bergabung di samping Al Fariz. "Kita harus bekerja sama," bisik Khadijah. "Hanya dengan persatuan darah keturunan pendiri, kita bisa mengalahkan mereka."
Tapi sesuatu yang tak terduga terjadi. Saat mereka bersiap menyerang, Dayang Sari tiba-tiba melangkah maju.
"Sudah cukup, Paman," katanya pada pimpinan Penjaga Segel.
Semua terkejut ketika pria bertopeng itu melepas topengnya. Wajah yang tersembunyi di baliknya adalah Datuk Maharaja, penasihat tua yang selama ini paling setia.
"Dayang Sari?" Al Fariz tak percaya.
"Maafkan aku, Paduka," Dayang Sari menatapnya dengan air mata. "Tapi dia adalah ayahku. Dan aku... aku adalah Penjaga Segel generasi berikutnya."
Pengakuan itu seperti pukulan bagi Al Fariz. Orang yang paling dia percayai ternyata adalah musuh dalam selimut.
"Kenapa?" itu satu-satunya kata yang bisa diucapkan Al Fariz.
"Karena kami mencintai Nurendah," jawab Datuk Maharaja. "Segel ini bukan kutukan, tapi perlindungan. Jika kau memecahkannya, kekuatan yang akan terbebas bisa menghancurkan segalanya."
Khadijah maju. "Itu kebohongan yang telah diajarkan turun-temurun! Segel ini memang awalnya dibuat untuk melindungi, tapi sekarang telah berubah menjadi penjara!"
Fadhil mengangguk. "Dia benar. Aku menyaksikan sendiri bagaimana segel ini mengikis kebebasan kita sedikit demi sedikit."
Al Fariz memandang dari satu wajah ke wajah lain. Dayang Sari yang terpecah antara loyalitas dan kebenaran. Datuk Maharaja yang yakin pada jalannya. Khadijah dan Fadhil yang ingin memutus rantai.
Lalu dia memutuskan.
"Kebencian dan pertempuran bukanlah jawaban," ucap Al Fariz. "Aku tidak akan melawan kalian."
Bahkan Datuk Maharaja terkejut. "Apa?"
"Karena aku percaya pada kebaikan dalam hati setiap orang di Nurendah," lanjut Al Fariz. "Jika kalian benar-benar yakin segel ini perlu dipertahankan, maka yakinkan aku dengan bukti, bukan kekerasan."
Pendekatan yang tidak terduga ini membuat para Penjaga Segel bingung. Beberapa dari mereka mulai menurunkan senjata.
"Jangan dengarkan dia!" seru Datuk Maharaja. "Dia hanya mencoba menipu kita!"
Tapi Dayang Sari menggeleng. "Tidak, Ayah. Dia berbeda. Selalu berbeda." Dia berbalik pada Al Fariz. "Aku akan membantumu menemukan Hati Nurendah."
Datuk Maharaja terlihat terluka. "Anakku..."
"Kadang, untuk melindungi apa yang kita cintai, kita harus berani mengubah cara kita melakukannya," kata Dayang Sari.
Malam itu, di bawah bintang-bintang yang bersinar terang, Al Fariz dan sekutunya bersiap untuk perjalanan ke Pulau Bayangan. Tapi sebelum mereka pergi, Khadijah menarik Al Fariz ke samping.
"Ada satu hal yang belum kuberitahu," bisiknya. "Hati Nurendah... sebenarnya adalah jantung dari pendiri kerajaan kita. Dan untuk mengaktifkannya, dibutuhkan pengorbanan nyawa."
Al Fariz menatapnya, memahami implikasi dari kata-kata itu. "Siapa yang harus berkorban?"
Khadijah menghela napas. "Itulah yang harus kita cari tahu. Bisa jadi aku, bisa jadi Fadhil, atau..." Matanya menatap dalam-dalam. "Bisa jadi kau."
Di kejauhan, dari menara tertinggi, seseorang mengamati mereka dengan bola kristal. Senyum tipis mengembang di bibirnya.
"Semuanya berjalan sesuai rencana," bisiknya. "Segera, semuanya akan berakhir."
Siapakah dia? Dan apa rencana sebenarnya? Perjalanan ke Pulau Bayangan akan mengungkap lebih dari yang bisa mereka bayangkan. Dan pengorbanan terbesar masih menanti di ujung jalan.