NovelToon NovelToon
CINTA DARI MASA LALU

CINTA DARI MASA LALU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Kehidupan di Kantor / Fantasi Wanita
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: ASEP SURYANA 1993

Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.

Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?

Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.

Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 16 — Keputusan yang Ditunda, Perasaan yang Terbuka

Pagi itu, Vibe Media terasa sibuk seperti biasa, tapi bagi Emma, setiap detiknya terasa pelan.

Ia datang lebih pagi, duduk di meja, dan menatap layar tanpa benar-benar membaca.

Kepalanya masih penuh oleh suara Ryan semalam:

> “Tentang cinta… dan tentang pergi.”

Ia mencoba menepisnya, tapi setiap kali membuka email kerja, matanya justru mencari satu nama: Ryan Miller.

Namun, tidak ada satu pun pesan darinya pagi itu.

---

Liam masuk ke ruangan kerja bersama dua orang dari tim manajemen.

Begitu melihat Emma di luar ruangannya, ia tersenyum kecil.

“Pagi, Emma.”

“Pagi, Pak,” jawab Emma datar.

Liam menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, “Setelah meeting, kita bicara sebentar, ya?”

Emma mengangguk tanpa ekspresi.

Ia tahu pembicaraan itu tak akan sekadar soal kerja.

---

Sementara itu, di lantai partnership, Ryan duduk menatap laptopnya.

Email dari Brightwave Digital masih terbuka — deadline jawabannya: hari ini, jam 5 sore.

Ia mengetuk-ngetukkan jari di meja, lalu menatap foto di layarnya: foto tim kreatif Vibe Media, dengan Emma di tengah, tersenyum.

Nathan, kepala timnya, melangkah mendekat.

“Kau belum balas tawaran itu, Miller?”

Ryan tersenyum kecut. “Belum, Pak.”

Nathan menepuk pundaknya. “Aku tahu kau punya potensi besar. Tapi dengar, kalau Brightwave yang datang ke kamu, itu bukan kebetulan. Mereka nggak sering ngulang tawaran dua kali.”

Ryan menatapnya. “Aku tahu. Aku cuma… belum yakin.”

Nathan mengangkat alis. “Soal pekerjaan, atau soal seseorang?”

Ryan terdiam sesaat, lalu tersenyum samar. “Mungkin keduanya.”

---

Siang hari, Emma mendapat undangan meeting dengan Liam.

Ruangannya tampak lebih hangat dari biasanya — entah karena lampu kuning, atau karena Liam sudah menyiapkan dua cangkir kopi di meja.

“Untukmu,” katanya sambil menyodorkan cangkir itu.

“Aku ingat kau suka yang pahit tapi ringan.”

Emma menerimanya, tapi tak minum. “Terima kasih. Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?”

Liam menarik napas. “Aku ingin kau tahu, aku tidak memaksakan apa pun. Tapi aku juga tidak akan pura-pura tidak peduli.”

Emma mengerutkan kening. “Liam, kita sedang kerja.”

“Aku tahu. Tapi kita juga dua manusia yang pernah saling mengenal.”

Emma menatapnya, lalu berkata datar, “Pernah. Dan sudah selesai.”

Liam mencondongkan tubuh sedikit. “Belum, kalau aku masih di sini.”

“Liam…”

Nada Emma mulai menurun. “Aku minta, jangan campur ini dengan pekerjaan.”

Liam tersenyum tipis. “Terlambat. Karena aku menempatkanmu di proyek ini bukan cuma karena kau hebat, tapi karena aku masih percaya sama kita.”

Emma memutar pandangan, menahan kesal. “Kau tidak tahu berapa banyak hal yang sudah berubah.”

Liam menatapnya lama. “Aku tahu satu hal. Kamu mulai berubah sejak dia datang.”

Emma menatapnya tajam. “Jangan bawa Ryan ke sini.”

“Kenapa? Karena aku benar?”

“Tidak,” kata Emma cepat. “Karena aku tidak ingin dengar namanya keluar dari mulutmu.”

Liam terdiam.

Dan untuk sesaat, bahkan egonya tak bisa menahan kenyataan bahwa Emma tidak lagi melihatnya seperti dulu.

---

Beberapa jam kemudian, Emma turun ke kafe kantor untuk menghirup udara segar.

Dan di sanalah — di meja dekat jendela — ia melihat Ryan duduk, menatap layar laptop, sendirian.

Ia ragu beberapa detik, lalu akhirnya melangkah mendekat.

“Masih di sini?” tanyanya pelan.

Ryan menoleh, terkejut, tapi tersenyum. “Kau selalu datang di saat yang pas.”

Emma menatap layar laptop di depannya. “Masih belum kirim balasan?”

Ryan menggeleng. “Aku nggak tahu harus nulis apa.”

“Kalau kau tanya aku…” kata Emma pelan, “aku akan bilang, ambil saja. Itu kesempatan bagus.”

Ryan menatapnya. “Jadi kau ingin aku pergi?”

Emma diam.

“Bukan gitu maksudku.”

Ryan bersandar di kursi, menatapnya lebih dalam.

“Kau tahu, Em… kadang aku cuma pengen dengar seseorang bilang, ‘Tinggallah.’ Nggak pakai alasan, nggak pakai logika. Cuma… tinggallah.”

Emma menunduk. “Aku nggak bisa bilang itu.”

“Kenapa?”

“Karena aku nggak punya hak buat menahanmu.”

Ryan tersenyum pahit. “Dan aku nggak punya alasan buat pergi. Jadi kita imbang, ya?”

Emma tersenyum samar, tapi matanya mulai berair.

---

Hujan turun lagi sore itu.

Mereka duduk diam beberapa menit tanpa bicara — hanya suara air di luar kaca.

Lalu Ryan berkata pelan, “Kalau aku pergi… janji nggak lupa sama aku?”

Emma menghela napas panjang. “Kalau aku janji, kau janji juga nggak hilang dari pikiranku?”

Ryan tertawa kecil. “Aku rasa itu janji yang berbahaya.”

“Lalu jangan pergi,” bisik Emma, nyaris tak terdengar.

Ryan menatapnya, menahan napas. “Apa kau baru saja bilang jangan pergi?”

Emma langsung berdiri. “Aku harus kembali kerja.”

Ryan ikut berdiri, menatapnya dalam.

“Emma, jawab aku.”

Emma menatap ke arah hujan. “Aku nggak tahu, Ryan. Aku nggak tahu apa yang benar.”

Ryan tersenyum samar. “Lucu, ya. Aku pikir cinta itu sederhana.”

“Tidak kalau ada masa lalu di dalamnya,” jawab Emma cepat.

“Dan masa lalu itu Liam?” tanya Ryan lembut.

Emma tidak menjawab. Tapi diamnya cukup untuk menjawab semuanya.

---

Malamnya, di apartemennya, Emma menatap layar ponsel.

Satu pesan baru dari Ryan muncul.

> Ryan:

“Deadline jam 5. Aku nunda jawabannya. Mungkin karena aku nunggu satu hal… satu kata dari kamu.”

Emma mengetik cepat, lalu menghapus.

Mengetik lagi. Menghapus lagi.

Akhirnya ia meletakkan ponselnya di meja dan menutup wajah dengan tangan.

Air matanya jatuh, pelan tapi nyata.

Di luar, hujan belum berhenti.

Dan di tempat lain, Ryan masih menatap layar laptopnya — email Brightwave terbuka, jarinya melayang di atas tombol Reply.

> Subject: Re: Offer Letter

[cursor blinking…]

Ia tersenyum kecil dan berbisik sendiri.

> “Kalau cinta aja nggak bisa pasti, setidaknya keputusan ini harus.”

Dan tepat jam 4:59 sore, Ryan menekan “Send.”

---

Satu jam kemudian, Emma melihat pesan baru di ponselnya.

> Ryan:

“Aku sudah kirim jawabannya. Besok aku mau bicara langsung, sebelum semuanya berubah.”

Emma menatap pesan itu, matanya berkaca-kaca.

Ia tahu apa arti kalimat itu.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, ia tidak tahu apakah yang datang besok akan menjadi awal baru — atau perpisahan terakhir.

---

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!