Rubiana Adams, seorang perempuan jenius teknologi dan hacker anonim dengan nama samaran Cipher, terjebak dalam pernikahan palsu setelah dipaksa menggantikan saudari kembarnya, Vivian Adams, di altar.
Pernikahan itu dijodohkan dengan Elias Spencer, CEO muda perusahaan teknologi terbesar di kota, pria berusia 34 tahun yang dikenal dingin, cerdas, dan tak kenal ampun. Vivian menolak menikah karena mengira Elias adalah pria tua dan membosankan, lalu kabur di hari pernikahan. Demi menyelamatkan reputasi keluarga, Rubiana dipaksa menggantikannya tanpa sepengetahuan Elias.
Namun Elias berniat menikahi Vivian Adams untuk membalas luka masa lalu karena Vivian telah menghancurkan hidup adik Elias saat kuliah. Tapi siapa sangka, pengantin yang ia nikahi bukan Vivian melainkan saudari kembarnya.
Dalam kehidupan nyata, Elias memandang istrinya dengan kebencian.
Namun dalam dunia maya, ia mempercayai Cipher sepenuhnya.
Apa yang terjadi jika Elias mengetahui kebenaran dari Rubiana sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7. MURKA
Suara yang awalnya hanya berupa percakapan ringan perlahan berubah nada.
Di speaker, terdengar napas Rubiana yang sedikit gemetar, lalu suara pria yang lebih tua, kasar, dan berat.
Elias menajamkan pendengarannya. Raven yang berdiri di belakangnya menatap layar dengan dahi berkerut, berusaha memahami konteksnya.
Suara bentakan terdengar menghantam ruang kantor seperti cambuk petir.
Raven refleks menatap Elias, tapi wajah pria itu sudah mengeras, matanya gelap seperti batu obsidian.
PLAK!
Suara tamparan bergema keras di ruangan, membuat Raven ikut menegang.
Lalu disusul dengan suara terisak tertahan.
Elias tak bergerak, tapi rahangnya mengeras, matanya menatap kosong pada layar.
Suara di speaker berlanjut, kini diiringi suara langkah kaki mendekat, suara tubuh terhempas ke lantai, lalu bentakan lagi.
"Tolong, Dad ... jangan-"
DUK!
Raven spontan menutup mulutnya, seolah tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Suara hantaman itu diikuti jeritan lirih yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Rubiana berulang kali memohon maaf, tapi pria itu, yang pasti Edward Adams, terus memaki tanpa jeda. Dengan suara sabetan benda ke tubuh Rubiana yang menjerit kesakitan saat suara itu terdengar.
Elias tidak berkata apa-apa. Tapi tangannya yang menggenggam tepi meja perlahan mengeras, buku-buku jarinya memutih.
Suara itu terpotong oleh sesuatu. Mungkin karena Rubiana terjatuh, atau karena perekam di botol parfum itu terguncang. Namun cukup bagi Elias untuk merasakan dadanya mengencang seperti dicekik.
Hening menggantung di udara selama beberapa detik. Hanya napas berat Elias yang kini terdengar di ruangan, keras, dalam, seperti napas binatang buas yang baru dilepaskan dari kandang.
Raven menatapnya hati-hati. "Elias ... tenang dulu. Kita-"
"Tutup mulutmu," Elias memotong tanpa berpaling. Suaranya datar, tapi setiap suku katanya mengandung bara. Ia menekan sesuatu di layar. Gelombang suara berhenti.
Ruang kantor itu mendadak sunyi, hanya tersisa dengung pelan dari pendingin ruangan.
Elias berdiri perlahan, kursinya berderit pelan.
Ia berjalan ke arah jendela, menatap keluar ke arah kota Boston yang kini tampak buram dari balik kaca, lalu menundukkan kepala, menahan diri agar tak membanting sesuatu.
Raven melangkah pelan mendekat. "Elias, aku tahu kau marah. Tapi-"
"Marah?" Elias menoleh. Tatapannya membakar. "Aku tidak marah, Raven. Aku ingin menghancurkan seseorang."
Raven menelan ludah. Ia tahu Elias bukan orang yang meledak-ledak. Ia jarang, bahkan hampir tidak pernah, menunjukkan emosi sekuat ini. Tapi sekarang ... wajahnya tampak seperti seseorang yang siap menyalakan perang.
"Berikan aku kunci mobil," ucap Elias pelan, tapi tegas.
"Elias, dengar aku dulu-"
"Sekarang, Raven."
Nada suaranya seperti perintah militer.
Raven menghela napas, mengeluarkan kunci digital dari saku jasnya, lalu menyerahkannya tanpa perlawanan.
"Kau mau ke mana?" tanya Raven.
Elias mengambil mantel hitam panjang dari gantungan, memakainya dengan gerakan cepat namun penuh kendali.
"Ke neraka," jawab Elias pendek. "Tempat keluarga Adams seharusnya berada."
Raven menahan napas sejenak sebelum bicara lagi, "Aku ikut."
Elias berhenti di depan pintu, menatapnya. "Tidak."
"Terlalu berbahaya kalau kau pergi sendiri dalam keadaan begini," kata Raven.
Elias menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas berat. "Baik. Tapi kalau aku kehilangan kendali, kau yang tarik aku keluar. Mengerti?"
Raven hanya mengangguk. Ia tahu itu bukan janji mudah. Elias yang kehilangan kendali berarti kehancuran.
Boston sore itu diselimuti langit kelabu. Hujan turun ringan, menetes di atas kaca mobil hitam yang melaju cepat di jalanan menuju kawasan tua tempat kediaman keluarga Adams berdiri. Di balik kemudi, Raven menggenggam erat setir dengan rahang menegang. Di kursi belakang, Elias duduk diam, tapi dari rahangnya yang mengeras dan tatapannya yang gelap, Raven tahu itu bukan diam biasa. Itu adalah diam sebelum badai.
Sejak rekaman suara dari botol parfum itu terdengar, jeritan, suara rintihan memohon ampun, dan isak tangis yang terlalu nyata untuk diabaikan. Elias tak mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menatap layar ponselnya, jari-jarinya bergetar, seolah mencoba menahan amarah yang menyalakan seluruh darahnya.
Suara lembut Rubiana yang memohon ampun pada seseorang, yang ia tahu pasti ayahnya sendiri, masih bergema di telinga Elias.
Ketika mobil berhenti di depan gerbang rumah keluarga Adams, Elias langsung keluar tanpa menunggu Raven membuka pintu. Hujan mengguyur jas hitamnya, tapi pria itu tak mempedulikan. Ia berjalan cepat, langkah kakinya berat dan penuh tenaga, menabrak genangan air yang memercik ke sekeliling. Matanya menatap lurus ke depan, pada rumah besar bergaya klasik yang kini tampak seperti sarang kegelapan.
Begitu sampai di teras, Elias menekan bel keras-keras. Dentingannya menggema ke seluruh rumah.
Beberapa detik kemudian, seorang pelayan tua membuka pintu, wajahnya pucat.
"Selamat datang, Mr. Spencer," sapa sang pelayan sopan.
"Di mana Edward?" potong Elias dingin.
"Mr. Adams sedang-"
"Panggil dia sekarang," perintah Elias.
Nada suara Elias tak bisa ditawar. Pelayan itu menunduk dalam dan bergegas pergi, langkahnya tergesa menuruni lorong. Elias masuk tanpa menunggu izin, matanya menyapu ruangan seperti singa yang mencari mangsa. Ia mengenal tipe orang seperti Edward Adams, pria yang berlindung di balik kehormatan keluarga dan reputasi sosial, tapi di balik pintu tertutup menyimpan kekejaman yang bahkan iblis pun segan.
Tak lama kemudian, Edward muncul dari ruang kerjanya, mengenakan jubah rumah dan memegang segelas bourbon.
"Elias," katanya dengan nada ramah yang dipaksakan, "malam-malam begini datang tanpa kabar, ada urusan apa?"
Elias menatapnya datar.
"Di mana Rubiana?"
Pertanyaan itu meluncur tanpa basa-basi.
Edward menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil.
"Oh, dia sudah pulang beberapa jam lalu dari rumahmu, bukan? Mungkin sedang istirahat," dusta Edward.
"Di mana istriku," ulang Elias, suaranya rendah tapi mengandung ancaman yang membuat udara di ruangan itu berat.
Edward tertawa kaku. "Dia di kamarnya, tentu saja. Anak itu memang agak manja, sejak kecil tidak tahu sopan santun. Kalau kau datang ke sini untuk membelanya-"
"Katakan di mana dia." Nada Elias berubah. Bukan lagi dingin, tapi gelap dan mengancam.
Edward terdiam sepersekian detik, lalu mencoba berdalih. "Aku tidak tahu apa maksudmu, Elias. Dia istrimu sekarang, bukan tanggung jawabku-"
Suara gelas pecah di tangan Edward ketika Elias meraih kerah bajunya, menariknya kasar hingga punggung pria itu menabrak dinding.
"Aku mendengar segalanya," desis Elias, matanya menatap tajam seperti baja dingin. "Suara dia menangis, berteriak minta ampun. Suara pukulan. Kau pikir aku tidak tahu apa yang terjadi di rumah ini?"
Wajah Edward memucat. "T-tunggu ... kau salah paham. Aku hanya-"
"Di mana istriku?!" teriak Elias, kali ini suaranya bergemuruh seperti petir.
Raven yang sejak tadi berdiri di pintu akhirnya melangkah masuk, menatap dengan tegang. Pelayan di ujung ruangan gemetar, tak berani bergerak.
Edward terengah, berusaha melepaskan cengkeraman Elias. "Dia ... dia baik-baik saja ... mungkin di kamar bawah.."
"Bawa aku ke sana," perintah Elias.
Edward tak berani menolak. Dengan langkah gemetar, ia berjalan di depan, memimpin Elias dan Raven menuruni lorong panjang yang remang. Bau lembap mulai terasa ketika mereka mendekati tangga menuju basement. Lorong itu gelap, hanya diterangi lampu kuning kecil di dinding batu.
"Tidak ada apa-apa di sini," gumam Edward dengan suara bergetar, mencoba berbohong.
Elias menatapnya tajam. "Kau jalan dulu."
Langkah mereka menuruni anak tangga yang menjerit di bawah tekanan. Suhu di bawah sana turun drastis, udara dingin bercampur bau besi dan jamur. Raven menyalakan senter ponselnya, dan dalam sekejap cahaya itu menembus kegelapan, menyingkap pemandangan yang membuat darah Elias mendidih.
Di sudut ruangan, tergeletak tubuh Rubiana.
Gadis itu tak sadarkan diri, terkulai di lantai semen yang dingin. Bajunya robek sebagian, kulitnya penuh lebam, darah kering menempel di sudut bibirnya. Pergelangan tangannya merah membiru, seolah sempat diikat. Rambutnya berantakan menutupi wajahnya, dan napasnya terengah lemah.
"Rubiana ..." suara Elias parau, serak karena amarah dan ngeri yang menumpuk. Untuk pertama kalinya ia menyebut nama gadis itu.
"Astaga!" Raven terkejut setengah mati ketika melihat keadaan Rubiana.
Elias berlari mendekat, lututnya menghantam lantai, segera mengangkat tubuh lemah itu ke pangkuannya.
Wajah gadis itu pucat seperti kertas, dan setiap luka yang terlihat menorehkan rasa sakit mendalam di dada Elias.
"Dia tidak bernapas!" seru Raven panik, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Rubiana. "Tapi masih ada detak lemah. Cepat, kita harus membawanya keluar!"
Elias menggenggam wajah Rubiana dengan kedua tangannya, menepuk pipinya pelan.
"Rubiana, buka matamu ... dengar aku," bisiknya, namun gadis itu tak bergerak sedikit pun.
Lalu Elias menatap ke arah Edward, yang berdiri terpaku di tangga dengan wajah tak percaya.
"KAU MELAKUKAN INI PADANYA?! KAU MENYIKSA ISTRIKU!" raung Elias murka luar biasa. Bentakan Elias menggema di ruang bawah tanah itu.
Edward mundur selangkah, berusaha bicara. "Aku hanya ingin memberinya pelajaran," kata Edward.
Tinjuan keras mendarat di wajah Edward sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya.
Elias menghantam pria itu dengan amarah yang telah menumpuk, membuatnya terhuyung dan jatuh menabrak meja tua di sudut basement.
"Pelajaran?!" Elias berteriak, matanya merah. "Dia perempuan! Dan kau ayahnya! Apa kau tahu apa yang kau lakukan, Bajingan?!"
Edward terbatuk keras, darah menetes di bibirnya. Tapi Elias tidak peduli.
Ia kembali berlutut, menatap wajah Rubiana yang masih tak sadarkan diri.
Setiap helaan napasnya seolah menahan teriakan yang nyaris keluar.
"Raven!" suaranya gemetar tapi tegas. "Kita ke rumah sakit. Sekarang!" perintah Elias.
Raven mengangguk cepat, berlari naik.
Elias memeluk tubuh Rubiana erat, berusaha menjaga agar tubuh itu tetap hangat. "Kau aman sekarang," bisiknya, nyaris seperti janji yang diucapkan pada dirinya sendiri. "Aku takkan biarkan siapa pun menyentuhmu lagi."
Ketika ia mengangkat tubuh gadis itu, terlalu ringan seolah gadis ini hanya bocah kecil.
Elias menatap Edward untuk terakhir kalinya, suaranya rendah tapi tajam. "Jika dia mati, aku pastikan hidupmu berakhir lebih cepat dari penyesalanmu," ancam Elias.
Lalu pria itu berjalan cepat menaiki tangga, membawa Rubiana dalam pelukannya.
Langkah kakinya berat, tapi pasti. Setiap langkah terasa seperti sumpah, bahwa tak ada lagi yang akan menyentuh perempuan ini tanpa melewati tubuhnya terlebih dahulu.
Raven sudah menunggu di depan dengan mobil terbuka dan jasnya basah oleh hujan. Elias masuk ke kursi belakang, meletakkan kepala Rubiana di pangkuannya. Raven menutup pintu, dan mobil segera melaju di tengah derasnya hujan malam Boston.
Elias menatap wajah pucat itu lagi, jarinya menyusuri luka di pipi gadis itu dengan lembut, seolah sentuhan kecilnya bisa menghapus semua penderitaan.
"Bertahanlah, Rubiana," bisiknya. "Aku yang akan mengurus semuanya ... mulai sekarang, kau tidak akan sendirian."
Namun murka Elias tidaklah pudar, ia akan memastikan Edward mendapatkan siksaan lebih parah dari apa yang Rubiana dapatkan.
antara kasian n seneng liat ekspresi Rubi.
kasian karena d bohongin kondisi Elias,seneng karena akhirnya Elias tau siapa Rubi sebenarnya.
😄
hemmmm....kira kira Ruby mo di kasih
" HADIAH ' apa ya sama Elias....😁🔥
tapi tak kirain tadi Elies pura² terluka ternyata enggak 😁
Elias tau Rubi adalah chiper,,hm
apa yg akan Rubi katakan setelah ini semua
Rubiiii tolong jujurlah sama Elias,apa susahnya sh.
biar xan jadi punya planning lebih untuk menghadapi si adams family itu,,hadeeeh
syusah banget sh Rubi 🥺
makin penasaran dgn lanjutannya