Tak pernah terbersit di pikiran siapapun, termasuk laki-laki rasional seperti Nagara Kertamaru jika sebuah boneka bisa jadi alasan hatinya terpaut pada seorang gadis manja seperti Senja.
Bahkan hari-hari yang dijalaninya mendadak hambar dan mendung sampai ia menyadari jika cinta memang irasional, terkadang tak masuk akal dan tak butuh penjelasan yang kompleks.
~~~
"Bisa-bisanya lo berdua ada main di belakang tanpa ketauan! Kok bisa?!"
"Gue titip anak di Senja."
"HAH?!!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28# Negosiasi
Senja benar-benar butuh teman bicara dan teman berbagi duka, namun jika harus anak kkn 21, ia pikir dulu sejuta kali. Apalagi itu tentang dirinya dan Maru. Ia hanya sedang lelah saja menanggapi candaan mereka disaat begini.
Apa sebaiknya ia jujur saja pada Maru, tapi apakah Maru akan percaya? Atau minimalnya akan terima jika uangnya tak kembali dengan utuh, terlebih ia menamparnya terakhir kali. Setidaknya mulut Maru tak sejahat yang lain, bisa dipercaya untuk menjaga rahasia...
Salahkan mulutnya yang mengatakan benci, salahkan tangannya yang menampar pipi Maru, salahkan dirinya yang so-soan jual mahal, dan salahkan takdir yang membuatnya berada di posisi sulit sekarang.
Terlalu sombong memang buruk, ternyata. Karena Tuhan justru menghempaskannya dan mengambil apa yang dititipkannya secepat itu.
Ru, ada di apartemen? Senja menghapusnya.
Assalamu'alaikum wakordes, sehat?
Namun kemudian Senja menghapus kembali kalimatnya itu, merutuki kebodohannya, dan meninggalkan kolom chat Maru yang--telah lama tak terjadi interaksi di sana. Bahkan mungkin, sudah ditempati laba-laba untuk bikin kost-kostan saking lamanya mereka tak bertegur sapa.
Sebal sekali, tipe-tipe lelaki macam Maru ini. Dasar Maruko chan, coolbear! Lebih menyebalkannya lagi ia menyukai Maru.
Senja menaruh ponselnya di dashboard begitu saja, sebab kini ia sedang menyetir mobil. Entahlah, pikirannya kacau memikirkan sisa pekerjaan kemarin-kemarin, masih tak ikhlas juga jika dirinya harus terjun bebas ke divisi pembendaharaan, jujur saja ia belum siap mengatakan kenyataan pahit ini pada orang sekitarnya termasuk mami dan papi.
Seharian ia menangis sendiri di apartemen, sampai matanya bengkak dan hidungnya mampet ditontonin Jojo dan Yaya. Tentang segala kebangaan, bagaimana rasanya impian dan cita-cita tercapai, terlebih kemewahan dan gelimang pendapatan. Ternyata tak abadi.
Senja menyeka mata yang sudah berkaca-kaca lagi, rupanya sifat cengengnya ini sedikit sulit ia hilangkan. Dan laju mobil yang ia bawa justru mengarah ke jalanan dimana apartemen Maru berada tanpa ia sadari.
Sempat ragu di awal, namun tidak ada salahnya ia coba kan? Tanggung sudah setengah jalan. Ia hanya ingin bergegas menyelesaikan masalahnya satu persatu demi ketenangan batin.
"Oke." Ia menarik nafasnya mantap, mengayunkan langkah kaki ke arah unit Maru dengan perasaan campur aduk. Ia hanya meyakini, memberikan pikiran-pikiran positifnya...bahwa Maru adalah orang baik yang memiliki hati nurani, dan tidak sombong.
Sempat mencuri pandang dimana para security berada, kini ia melangkah pasti diantara sorenya gedung apartemen mewah ini.
Siapa tau, iya kan? Ia hanya harus berjaga-jaga ketika lirikannya berkali-kali tertuju ke arah keberadaan para security gedung apartemen demi menghafalkan rute pelarian.
Stelan kantor yang sudah kusut dengan salah satu ujung kemejanya keluar dari pinggang rok berpadu wajah lelah adalah tampilan Senja saat ini, cocok! Persis gelandangan yang mesti dikasihani.
Perempuan ini mencoba membuat penghuni di dalam unit ini keluar dengan meneriakinya dari luar persis orang minta sumbangan.
"Maru..." ketuknya, lantas ia membunyikan bel yang sayup terdengar menggema di dalam sana dari balik daun pintu saat Senja menempelkan telinganya disana. Sama sekali hening, tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana.
Kembali ia merengut, salahnya...yang tak mengabari Maru terlebih dahulu, apakah lelaki itu ada di unitnya atau tidak...
Ru, aku ada di depan apartemen kamu.
Ketiknya terkirim.
Satu menit...
Dua menit...
Senja tak berharap jika Maru membalasnya cepat-cepat, namun ketika menit ketiga dan kaki-kakinya mulai merasa jika keberadaannya disini sia-sia belaka. Ada getaran hebat yang mengguncang tangan.
Panggilan masuk
Nagara Kertamaru
Nja?
"Sorry ngga kabarin dulu, tadi aku sekalian lewat---" Senja memberikan jeda singkat mengingat ucapan bohongnya itu meniru Maru sekali. Ada nada bergetar saat ia bicara, entahlah...bukan inginnya, namun seolah refleksnya saja, jika mendengar dan berhadapan dengan lelaki ini, perasaannya jadi lebih lunak---jiwa mengadunya itu cukup kuat--jika bersama Maru.
"Aku ketok-ketok tapi ngga ada nyaut, kamu masih di luar ya?"
(..)
Setelah mematikan panggilannya, Senja hanya bisa menyandarkan punggungnya di dinding samping pintu unit apartemen Maru yang lama-lama merosot terduduk sambil bersila disana meski berulang kali ia harus menarik-narik rok span di atas lututnya agar tak semakin menyingkap naik, sebab Maru memintanya menunggu.
Senja menatap sudut-sudut antara dinding dan lantai dimana tak ada satupun semut yang melintas untuk menemaninya menunggu si penghuni unit pulang, hingga kini pikiran berisik itu kembali menjadi setan yang berbisik membuat hati goyah dan saraf-saraf mata memanas.
Hufft! Senja mengipasi wajahnya agar tak menangis.
Di ujung koridor sana, langkah cepat terayun mendekat, dengan nafas yang sedikit memburu.
Senja melihat seorang pria berjalan menghampiri dengan postur tubuh tinggi dan tegapnya, wajah tenang yang menyamarkan raut khawatir masih menyisakan bukti kesibukannya hari ini.
Lihatlah rambut rapinya, yang meskipun sudah mencuat di beberapa bagian, namun sisa-sisanya masih terbentuk sempurna sejajar ke belakang, bersama dasi warna senada dengan baju gelapnya. Always, navy....adalah warna favorit Maru, selama Senja mengenalnya.
"Sorry ganggu kamu kerja, ya? Aku dateng kesini mau negosiasi sebenernya..." ucapnya ragu penuh kegetiran.
"Masuk dulu." Ia berdiri di depan pintu, menempelkan access card unitnya di sensor handle hingga bunyi klik membuat pintu itu dapat terbuka lebar.
"Padahal ngga apa-apa sih kalo kamu masih kerja, aku bisa nunggu..." ocehnya lagi justru terlihat bodoh sebenarnya, mau nunggu sampe subuh? Lalu ia mengatupkan mulutnya sesaat Maru mendaratkan tatapan padanya, ya ampun kenapa harus grogi begini?! Begini nih kalo punya utang, berasa kerdil.
Lampu sensor otomatis menyala saat ada pergerakan di gawang pintu selagi Maru membuka sepatunya termasuk Senja yang mengekor.
Sejauh mata memandang tak ada perintilan manis seperti di apartemennya. Yang benar saja! Bukankah sudah terlihat dari kepribadian si pemiliknya? Lantas Senja mengharapkan apa? Dream catcher berwarna rainbow? Boneka? Pernak-pernik yang membuat apartemennya persis pasar malam?
Sepertinya memang tak perlu lagi dipersilahkan, Senja sudah duduk di sofa tanpa harus permisi. Begitupun dengan Maru yang melengos ke arah dapur, mengambil sesuatu dari kulkas sekaligus melepaskan dasi yang sedari tadi masih mengikat di leher.
Gerakan dan langkah Maru begitu jelas mengisi setiap sudut ruangan begitupun saat ia memilih duduk di sofa samping Senja yang membuat perempuan ini menoleh, memundurkan posisinya memberi jarak bicara.
Langsung menaruh di meja depan Senja tanpa basa basi menawari, karena memang sudah jelas jika minuman itu ia bawakan untuknya, sementara Maru sendiri sudah meneguk air mineral dingin miliknya.
Semua gelagat itu membuat Senja menelan salivanya susah dan memilih melakukan hal yang sama dengan Maru.
"Jadi?" suaranya memecah kebuntuan.
"Ru, aku mau minta maaf sebelumnya." jelas Senja, awalnya ia sudah mantap bersama dengan semua pikiran positifnya, namun mendadak semua aura positif itu buyar saat harus dihadapkan dengan wajah datar Maru. Di matanya kini, Maru seolah ingin menghakimi dan menerkamnya.
"Untuk?"
"Jadi gini," Senja sudah tak enak duduk, bahkan berkali-kali ia bergerak gelisah demi menemukan posisi nyamannya, padahal sejak tadi Maru hanya menatapnya tanpa sorot mata berlebihan, terkesan tenang.
Senja menghela nafasnya, "aku harap kamu ngga mikir kalo aku ngga serius mau bayar hutang, atau aku cuma mau ngalesan. Ini serius..." sempat menunduk tapi kemudian Senja memberanikan diri menatap Maru.
"Tentang kerjaan, aku dimutasi ke bagian pembendaharaan sama atasanku karena satu dan lain hal..."
Kini raut datar itu sedikit mencair, "kenapa? Kamu bikin salah?"
Senja meraup nafasnya lagi, "mungkin untuk mereka iya. Tapi menurutku aku udah lakuin hal yang bener. Karena benar tidak selalu berujung pembenaran..2 minggu lalu, aku harus cek dan analisa profil sebuah perusahaan, aku kasih data base, keuangan dan semuanya apa adanya...." jeda Senja berpikir apakah sudah benar ia banyak cingcong begini?
"Dimana perusahaan start up itu cacat hukum, di ambang pailit, dengan segudang laporan fakenya, dan atasanku nyuruh aku memalsukan datanya. Tapi rupanya itu yang jadi masalahnya. Aku dimutasi atas kejujuran dan kepolosanku, karena nyatanya perusahaan ini yang begitu diusahakan untuk goal di perusahaan tempatku bernaung, oleh sebagian petinggi."
"Dan kamu bisa tebak setelahnya. Aku dimutasi oleh oknum atasanku, yang otomatis...gajiku tidak sebesar saat aku jadi analis keuangan kemarin. Bulan ini aku mesti bayar cicilan kartu kredit. Mungkin bisa bayar kamu setengahnya dulu, dengan catatan aku mesti puasa setengah bulan." Pungkasnya. Hanya gerakan bola mata yang mondar-mandiri saja yang Maru berikan.
Bilang oh kek, atau oh ya, kasian amat...
Namun sebelum itu terjadi, Senja sudah kembali bersuara, "tapi kamu tenang aja, aku pasti bayar. Walaupun dicicil."
Maru justru terkekeh garing, apakah ada yang salah dengan ucapannya? Atau ia tak terima? Karena lelaki itu kini malah membuka satu kancingnya dan meregangkan otot-ototnya disana, "aku kira apa.." jawabnya.
Senja masih menatap Maru, menunggunya memberikan tanggapan.
"Atau kamu mau aku tetep cicil dengan cara lain?"
"Misalnya beresin apartemen kamu tiap weekend, tinggal kamu itung aja biasanya kamu bayar house keeping berapa." Senja memberikan option, "atau bikinin kamu bekal mungkin? Sarapan? Jadi setiap bekal aku hargain sama dengan harga makan siang kamu perharinya? Atau sarapan, aku hargain sama dengan harga sarapan kamu perharinya..."
Wajahnya terlihat terpancing untuk merasa tertarik dengan usulan Senja, ia menyunggingkan senyuman tengilnya, "penawaran menarik. Aku ambil semua." Maru berdiri dari duduknya menyisakan ujung kemeja kusut di bagian bawah sebab ia duduk.
"Oke. Tapi aku ngga sanggup kalo mesti kesini tiap hari, Ru...cuma buat anter bekal sama sarapan, jadi pake jasa ojol aja gimana? Kamu yang bayar tapi..." ia nyengir.
"Gampang."
Ada senyuman lebar yang terulas di wajah Senja, satu masalah terpecahkan, "oke. Deal ya?"
"Deal."
Meski setelahnya Senja menelan salivanya berat, harus berapa lama ia begitu mengingat hutangnya melampaui nominal 6 juta. Namun ia bisa tersenyum lega sekarang, setidaknya keuangannya diringankan.
"Ru,"
"Thanks ya."
Maru mengangguk namun kini wajah itu justru berbalik menatap Senja dengan tatapan sinisnya, "udah?"
"Udah." Senja beranjak dari duduknya, "kalo gitu aku balik ya..."
"Nja,"
"Hm?"
"Kamu udah makan?"
Senja menggeleng, "bisa temani aku makan?" perutnya ini, keroncongan sekali...sejak tadi belum sempat makan siang sesore ini, baru ia akan melahap makan diantara klien dan tim kuasa hukum yang berhasil memenangkan kasus sebelumnya, ia harus mendatangi Senja yang sedang menunggunya disini.
.
.
.
ya ampun Nja...... kayaknya maru gak niat deh kamu hrs ngembaliin uangnya.... dia cuma pengen dekat ma kamu aja,, ngerasa dibutuhin sm kamu, makanya dia kasih uang itu ke kamu.. eh kamu malah anggep utang...
😂😂😂😂
seenggak enakan gitu kamu nja
bar bar tapi hari kamu baiiiik njaaa