NovelToon NovelToon
Peluang Pulih

Peluang Pulih

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Misteri / Romansa Fantasi / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:674
Nilai: 5
Nama Author: jvvasawa

"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."

Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.

Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.

Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.

Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.


Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!

Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!


Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6 | BUNTUT DADAKAN

Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛

Selamat menikmati, para jiwa!

...

Awalnya aku memang berpikir begitu.

Berpikir ulang soal dia.

Tapi, mana mungkin bisa?! Semenjak hari itu, tampangnya justru semakin mempesona. Gila. Bagaimana Tuhan menciptakan makhluk sebegitu indahnya?

Sampai rasanya menyesakkan dada, ingin sekali menangis penuh syukur, dan berulang kali memanjatkan terima kasih pada Tuhan karena sudah diizinkan menikmati rupa hamba-Nya yang begitu memikat hati, hingga mengikat segenap jiwa ragaku.

Sora sudah memangkas rambutnya lebih rapi, sesuai anjuran sekolah yang sepertinya memiliki aturan berbeda dari sekolahnya yang dulu, melihat bagaimana dulu rambut Sora sedikit lebih panjang dari yang sekarang.

Lalu, tubuh tegapnya kini sudah berbalut seragam yang sama dengan milikku, menyadarkanku kalau ini bukan mimpi.

Tak lupa dengan wajah berseri-serinya yang lebih terpampang jelas, tak lagi tertutupi poni yang kemarin sempat menyamarkan auranya.

Kalau begini, sih, dia bisa-bisa jadi sorotan baru di sekolah ini, menyaingi tiga bintang lama sekolah.

Selain itu, aku juga bersyukur, ternyata Sora tidak sesering itu berkumpul dengan si tiga serangkai, tidak seperti yang aku pikirkan. Berarti, beberapa hari yang lalu, perkiraanku tentang mereka itu salah; tentang Sora dan Zofan yang sudah saling mengenal dari sebelum Sora menginjakkan kaki di sekolah ini.

Sora justru terlihat akrab dengan semua orang, menyapa setiap insan yang berpapasan dengannya, menyulam senyum manisnya dengan murah hati.

Ya Tuhan, ramah sekali pemikat hatiku ini. Dia juga tak pernah segan menolong ketika dibutuhkan, bahkan Sora mulai sering berjaga di ruang UKS. Sungguh berhati mulianya, dambaan hatiku.

Berlarut-larut memikirkannya membuat padang tandus kering di hatiku berubah jadi kebun bunga yang ratusan bunganya bermekaran semerbak, merekah lebai.

Aku cekikikan tanpa suara, hanya bahuku yang sedikit terangkat, dan dadaku yang agak menyempit – efek samping dari menahan gejolak di hati.

Siang ini kelasku ketinggalan jam istirahat. Salahkan guru kimia kami yang terlambat masuk hingga berakhir menyerobot waktu istirahat, dan itu membuatku tak bernafsu lagi untuk ikut ajang rebut-rebutan di kantin, apalagi sendirian.

Kinat dan beberapa teman seangkatan dari kelas lain yang melewatiku sempat mengajak, sih, tapi tak usah lah, sudah malas, lagipula pasti sudah tinggal sisa-sisa penjajahan saja yang masih dijual, mengingat pasukan kantin selalu beringas tiap masuk jam istirahat.

Oleh karena itu lah, aku memilih menghabiskan waktu termenung di depan kelasku saja, suntuk jika terus berdiam di dalam kelas.

Awalnya memang kesal, tapi saat sedetik kemudian paras memukau yang akhir-akhir ini mencuri perhatianku muncul dari balik pintu kelasnya.

Penyesalanku menguap begitu saja, berganti menenggelamkanku dalam lamunan di siang hari; berandai-andai begini dan begitu tentang Sora, pangeran mimpiku.

“Dih, kaya orang sinting, ketawa sendiri.”

Tersentak dengan suara yang muncul entah darimana, tubuhku seketika menegang kaku. Aku menelan ludah kering dengan mata yang hampir melompat keluar dari dudukannya.

Tiba-tiba perasaan sesak menghampiri.

“Napas, Nat. Napas.”

Oh iya, ternyata aku sampai menahan napasku. Tidak sadar.

Tapi tetap, masih saja susah bernapas walau sudah kupaksa. Gara-gara orang ini, aku merasa dipergok.

Sebelum aku benar-benar tertangkap basah, dua netraku berkelana gagu ke berbagai sudut mengikuti perintahku, ke mana saja asal tak singgah di tempat Sora berdiri, dan jangan juga sampai kontak mata dengan sosok di sampingku yang masih menyelisik penuh selidik.

“Ck, kelihatan sekali menghindarnya.” Nada itu penuh ledek, buatku menggeram.

“Kau ini – apa, sih?! Lebih baik kau pergi jauh-jauh dariku. Masa-masa sekolahku yang tenang ini jadi terganggu karena kau, tahu tidak?” Pada akhirnya tercurahkan juga isi hatiku.

Aku berkeluh sebal dan terpaksa bertemu pandang dengan benalu yang beberapa hari ini menggerogoti waktu tenangku.

Bahunya digedikkan acuh tak acuh, tapi matanya tak kunjung membalas tatapanku. Ingin sekali kucakar wajah angkuhnya itu. Dasar pecundang, beraninya saja main mulut, tapi memandang lawan bicara pun tak ada nyali.

Kurasa harus kutarik kembali ucapan baikku sebulan lalu, mengenai dia dan teman-temannya yang kubilang tidak sombong.

“Aku tahu kau suka dengan Sora.”

APA?

“Aku, tahu, kau, suka, dengan, Sora.”

Padahal aku mendengar dengan sangat jelas, tapi dia malah mengulangi setiap katanya, penuh penekanan.

Sepertinya ini bukan sekadar pernyataan, ada ancaman tersirat di balik kalimat yang manusia narsis ini lontarkan. Ada sesuatu yang dia incar dariku.

“Omong kosong!” Dua kata itu spontan keluar dari mulutku.

“Omong kosong apa itu?” ulangku sekali lagi. Ujung bibirku sedikit terangkat bersamaan dengan kernyitan di dahi. Dia menantangku, ya?

Dengan cepat kubangkitkan diriku dari duduk, sedari tadi aku memang duduk di pembatas depan lorong kelasku. Tanganku berkacak pinggang menentang, tidak ada yang boleh mengancamku.

“Apa maksudnya itu, hah?” tanyaku defensif. “Sok tahu sekali, kau?”

Posisi si pecundang yang semula berdiri biasa, sekarang mendadak bergerak kaku membentuk perlindungan diri dengan ancang-ancang kudanya. Sampai tak sanggup lagi kutahan ekspresi tercengangku.

“Ayo lah, Natarin. Semua orang yang memperhatikanmu pasti tahu, Nata. Bahkan teman-temanmu juga pasti tahu, tanya saja pada mereka kalau tak percaya.”

Langsung kubalas lontaran kalimatnya tanpa jeda, “jadi, kau memperhatikanku?”

“…”

Lihat, kan? Aku membuatnya diam. Ada sampai semenit, dari yang kuhitung.

“Tidak—”

“Oh, atau kau tak sengaja baca pikiranku? Apa selain bisa berbahasa asing, kau juga bisa berbahasa kalbu?”

Lagi, dia diam.

Dari sindiranku barusan, kalian pasti sudah tahu, siapa yang jadi lawan bicaraku saat ini. Aku tersenyum miring melihat reaksinya, memang harusnya seperti itu.

Tak akan kubiarkan siapa pun berhasil menang melawanku. Jika kau ingin jadi lawanku, maka bersiap lah untuk kalah. Kecuali – bertanding menerjemahkan bahasa lain … aku angkat tangan, sih, kalau itu.

“Apa yang kau inginkan? Aku tahu kau pasti mau sesuatu dariku, makanya kau terus-terusan menggangguku, kan? Jangan bertingkah seolah kita dekat, Zofan. Kita bahkan hampir tak pernah bicara sebelumnya. Saling menyapa saja pun tidak.”

Sekarang kedua lenganku, kubawa menyilang di depan dada. Setajam mungkin kutusuk matanya dengan penghilatanku, menuntut penjelasan dari aksinya ini. Salah satu alis kubawa naik, menunggu mulut serampangannya itu mengeluarkan suara.

“Aku—”

“Aku …”

Aku mendengus remeh melihatnya yang tergagap tak bisa menyelesaikan satu kalimat pun.

“Kau apa? Lama sekali bicaranya. Butuh berapa episode lagi?”

Ke mana suara penuh percaya dirinya tadi? Dia telan sampai terbenam di lambungnya, kah?

“Oh, Zofan, Nata! Kalian sedang ap—”

Secepat kilat jari telunjukku terangkat, mengacung ke arah pendatang yang hendak menyelip di antara aku dan Zofan, memberi orang itu isyarat untuk diam dan tak mengusik tanpa aku perlu berepot-repot mengalihkan pandangan.

Urusanku dengan laki-laki ini belum selesai, jadi jangan harap dia bisa lepas begitu saja setelah berani mengancamku. Tentu saja sebaliknya, Zofan melirik pada lelaki jangkung yang hampir menginterupsi kami dengan sudut matanya, memberi kode SOS melalui tatapannya.

“Lihat aku!” perintahku. Entah kenapa juga, si Zofan menurut. Bagus lah.

“Cepat bilang, apa yang kau cari dariku?” desisku, masih dengan tatapanku yang sama. Tapak sepatuku, kuketuk-ketuk lantang ke lantai lorong, terang-terangan menghitung waktu yang dibuang begitu saja olehnya.

Bagai putus asa, Zofan mengambil keputusan akhir dengan berdecak dan menghembuskan napas seperti orang yang sedang frustrasi.

Dia memutar tubuhnya memunggungiku sambil mengusak rambutnya itu. Tak bertahan lama, karena kemudian tubuhnya berputar lagi agak ekstrim, kembali menghadapku. Hampir saja dia hilang keseimbangan.

“Jangan membunuhku seperti itu, Nata. Kau benar-benar menyeramkan!” erangnya terus terang.

Seperti aku bisa melakukannya saja.

“Jangan juga menatapku seperti itu!” ia kembali berseru. Jarinya menunjuk ke arahku, tapi wajahnya melihat ke arah laki-laki yang masih berdiri tak jauh dari tempat kami duel.

“Sora, lihat lah kecintaanmu ini! Dia mengerikan!”

Seorang Zofan, mengadu? Kekanakan sekali! Apa para penggemar yang terus menyanjung-nyanjung dia sebagai ‘lelaki yang gagah’ tahu soal ini? Buat merinding saja.

Tahan dulu – apa katanya tadi? Kecintaanmu? A – aku kecintaannya Sora?

Satu kata singkat yang sempat tertangkap telingaku itu berhasil menaklukkan naluri bertarungku, membuat pandanganku terlempar secara otomatis pada Sora dengan eloknya.

Mulutku terkatup entah kenapa, seperti gugup menunggu sesuatu yang tak tahu apa itu. Apa yang kutunggu?

Larut dalam detik-detik waktu yang terus bergulir, yang kutunggu tak kunjung datang. Sora hanya tersenyum geli menanggapi aduan Zofan.

Kan? Bukan aku saja yang berpikir tingkah Zofan barusan menggelikan. Aku tebak, siswi-siswi yang mengaguminya itu habis diguna-guna olehnya, sampai tak bisa melihat betapa anehnya manusia ini.

“Berhenti kekanakan, Zofan.”

Ha! 1-0, Sora ada di pihakku.

“Aku juga heran, kenapa kau akhir-akhir ini terus membuntuti Nata? Kau menyukainya?”

2-0! Eh – apa? Iyuh!

Selaras dengan reaksi dalam kepalaku, secepat kilat Zofan memasang tampang jijiknya, bahkan sebelum Sora meyelesaikan kalimatnya. Apa-apaan maksudnya itu?

Dih, aku pun tak sudi disukai oleh orang aneh macam kau, Zofan. Jangan bermimpi!

“Jangan salah paham, Sora! Tak ada sedikit pun dalam pikiranku untuk merebut kecintaanmu itu, jadi jangan khawatir. Aku hanya – hanya …”

Lagi? Dia menggantungkan kalimatnya lagi?

Bola mataku berputar heboh, sengaja. Muak sekali mendengar kata-katanya yang terus dijeda! Masih mending kalau diselesaikan, lah ini? Digantung tak jelas!

...

Bersambung

1
Avocado Juice🥑🥑
Luar biasa kisahnya
Jwasawa | jvvasawa: Huhu terima kasih banyaak sudah luangin waktu membaca Peluang Pulih! 🥺💛
total 1 replies
Aishi OwO
Mantap, gak bisa berhenti baca
Jwasawa | jvvasawa: Waaaa terima kasih banyak! Semoga betah terus bacanyaa. /Whimper//Heart/
total 1 replies
Tsuyuri
Thor, tolong update secepatnya ya! Gak sabar nunggu!
Jwasawa | jvvasawa: Aaaa terima kasih banyak dukungannya! 🥺 akan aku usahakan! ♡♡
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!