Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17 : Raja Zhou adalah Suamimu
Ya Ting kembali ke ruang pemandian, membawa beberapa gulungan kain yang sudah direbus dan dikeringkan. Saat membuka pintu, matanya menangkap sosok Lian Hua yang berdiri diam di tengah kolam, separuh tubuhnya tenggelam dalam air hangat. Rambut panjang yang tergerai menutupi pinggangnya, berkilau samar di bawah cahaya obor.
“Permaisuri,” panggilnya pelan, seolah takut mengganggu ketenangan itu. “Kain yang kau minta, sudah kubawa.”
Lian Hua menoleh singkat, lalu mengangguk. “Letakkan saja di dekat pakaianku.”
“Baik,” jawab Ya Ting. Ia menaruh kain itu di atas tumpukan pakaian lama Lian Hua, lalu menambahkan, “Aku juga membawakan pakaian baru. Perlu kubantu memakainya?”
Lian Hua menggeleng, suaranya datar namun lembut. “Tak perlu. Jika aku kesulitan, aku akan memanggilmu.”
Ya Ting tersenyum tipis, menerima jawabannya tanpa protes. “Kalau begitu, aku menunggu di luar. Panggil aku jika kau butuh apa pun.”
Lian Hua mengikuti gerak Ya Ting dengan pandangan hingga pintu kembali tertutup. Sunyi kembali mengisi ruangan, hanya suara gemericik air yang terdengar. Ia mengembuskan napas perlahan, matanya menatap permukaan air yang memantulkan kilau cahaya obor.
“…Manusia memang aneh,” gumamnya lirih. “Satu kebaikan saja… iblis di dalam hati mereka bisa lenyap sekejap.”
Lian Hua melangkah keluar dari air, tubuhnya berkilau oleh sisa tetes yang mengalir di kulit pucatnya. Ia duduk di tepi kolam, meraih kain yang dibawa Ya Ting. Permukaannya kasar, menyerupai kain kasa. Setelah mengangguk singkat, ia melemparkannya ke punggung.
Begitu serat kain menyentuh luka, otot-ototnya menegang. Ia terdiam, membiarkan rasa perih itu mereda perlahan, hingga tubuhnya mulai terbiasa. Dengan hati-hati, ia menarik ujung kain, melilitnya mengitari bahu, punggung, hingga pinggang. Ikatannya dibuat kuat—terlalu kuat—seolah satu-satunya hal yang bisa menahan dirinya tetap berdiri adalah balutan itu.
Ia mengganti perban di lengan dan kakinya, mengoleskan cairan putih kekuningan yang sama sebelum menutupnya kembali. Setiap sentuhan membuatnya menarik napas dalam, tapi tangannya tak pernah berhenti.
Selesai membalut, ia meraih pakaian baru. Jubah panjang berwarna putih dengan lengan lebar, rok menjuntai hingga mata kaki, diikat oleh tali halus di sisi pinggang. Saat memakainya, gerakannya anggun, nyaris tak menunjukkan penderitaan di balik balutan kain.
Kotak kecil di sudut menarik perhatiannya. Di dalamnya tersusun rapi gelang giok, cincin perak, kalung emas, mahkota tipis, hiasan Buyao berpermata, dan sebuah tusuk konde sederhana berhias bunga melati. Lian Hua mengerutkan kening. “Terlalu rumit… aku benci yang ribet,” gumamnya.
Ia menyisir cepat rambut panjangnya, lalu menggulung sebagian di belakang kepala dan menancapkan tusuk konde itu. Tanpa cermin, ia sudah tahu hasilnya cukup rapi. Sepasang sepatu putih dipakai, langkahnya mulai mantap. Namun saat pintu terbuka dan tatapan dinginnya bertemu dengan wajah Ya Ting yang menunggu di luar, gerak kakinya kembali berat.
Ya Ting segera menghampiri, wajahnya khawatir. “Permaisuri, kenapa kau tidak memanggilku?”
Lian Hua hanya menggeleng. “Aku bisa sendiri.”
Ya Ting tetap berdiri di sisinya, suaranya tegas namun lembut. “Sekalipun bisa, kau tetap harus memanggilku. Aku pelayanmu.”
Ucapan itu membuat langkah Lian Hua terhenti. Sekilas ada keraguan di matanya, lalu ia mengangguk pelan, seolah menyetujui sesuatu yang sebenarnya tak ia pedulikan.
Ya Ting kemudian mengulurkan tangan, membantunya menyeimbangkan diri. “Tandu kediaman sudah disiapkan di depan. Raja Zhou juga sudah menunggu di dalamnya.”
Lian Hua meliriknya. “Raja… Zhou?” tanyanya datar, seolah nama itu asing.
Kening Ya Ting berkerut, raut wajahnya berubah menjadi keterkejutan penuh. Ia menatap Lian Hua seakan wanita itu baru saja mengucapkan hal yang mustahil. “Permaisuri… Raja Zhou adalah suamimu.”
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂