"hana maaf, rupanya riko hatinya belum tetap, jadi kami disini akan membatalkan pertunangan kamu.. dan kami akan memilih Sinta adik kamu sebagai pengganti kamu" ucap heri dengan nada yang berat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27 hana dalam bahaya
“Kemana Hana, Jefri?” tanya Viona.
“Hana pergi, Bu,” jawab Jefri dengan penuh keraguan.
“Kamu ini keterlaluan. Ibu dengar dari dokter, Hana mendonorkan darahnya untuk Felix, dan kamu membiarkan dia pergi begitu saja?” Nada suara Viona penuh kekecewaan.
“Dia sendiri yang ingin pergi, Bu. Aku tidak bisa melarangnya,” Jefri berusaha memberi alasan.
“Harusnya Melisa yang mendonorkan darah. Tapi dia pasti punya seribu alasan untuk menolak!” suara Viona semakin meninggi, menunjukkan kekecewaannya.
“Melisa ada di Jepang, Bu. Bukannya dia tidak mau mendonorkan darah,” Jefri mencoba menjelaskan.
“Masih saja kamu membelanya. Cinta sudah membuat kamu hilang akal!” Viona benar-benar kecewa mendengar jawaban anaknya.
“Melisa suatu saat akan berubah, Bu,” Jefri masih keras kepala dengan pendapatnya.
“Kamu harus mencari Hana, Jefri. Kalau kamu tidak bisa menemukannya, maka kamu akan menghadapi amarah Felix,” Viona memerintah dengan nada tegas, tak mau dibantah.
“Felix akan baik-baik saja kalau Melisa kembali, Bu. Aku yakin Melisa akan pulang,” ucap Jefri dengan penuh keyakinan.
“Sudahlah, tinggalkan Ibu. Ibu mau sendiri. Ingat, saat Felix bangun dan Hana tidak ada, maka kamu harus siap menerima kemarahannya.” Viona membalikkan badan, enggan lagi menatap putranya.
…
…
Sementara itu, Riko semakin pusing. Hari pernikahannya kian dekat, tetapi setelah dihitung kembali, ia harus menambah dana sekitar seratus juta karena jumlah undangan membengkak dari target semula.
Riko menatap ponselnya dengan gelisah, berharap Hana menelpon. Beberapa kali ia mencoba menghubunginya, namun sia-sia—nomornya tampaknya sudah diblokir.
Ingatannya melayang pada masa saat mereka masih bertunangan. Setiap hari, Hana bisa menelpon tiga kali hanya untuk menanyakan kabar, kondisi toko, atau sekadar berbagi cerita dan strategi. Dari semua itu, hanya satu hal yang tak pernah Hana berikan: keintiman fisik. Selama pacaran hingga bertunangan, Hana hanya mengizinkannya menggenggam tangan. Bahkan sekadar ciuman pun selalu ditolak.
Telepon Riko berdering. Hatinya berdebar, berharap nama Hana yang muncul. Namun, di layar justru tercantum nama Sinta.
“Bang, aku sudah sewa mobil, dua puluh mobil. Satu mobilnya lima ratus ribu sehari. Aku butuh uang untuk DP, Bang,” suara Sinta terdengar dari seberang.
“Astaga, Sinta! Kamu ada-ada saja. Kalau yang mau datang, suruh saja mereka pakai kendaraan masing-masing. Kenapa harus sewa mobil juga sih?” Riko merespons dengan nada kesal. Sewa mobil sama sekali tidak masuk dalam anggarannya.
“Ibu yang sudah pesan. Warga kampung kebingungan mau pergi ke hotel naik apa. Masa jalan kaki?” Sinta berusaha menjelaskan.
“Kalau tidak datang ya biarkan saja, Sinta. Syukur-syukur kalau nggak datang, bisa ngurangi budget. Kepala aku sudah pusing mikirin kekurangan uang ini.” Riko menutup wajah dengan tangannya. Rasanya ia ingin membenturkan kepala ke tembok.
“Sudahlah, Bang. Habis menikah kan Abang bisa dapat warisan. Aku yakin warisan itu nggak sedikit. Kalau Abang bisa bikin acara megah, usaha Abang pasti makin maju. Bayangkan, Abang dikenal sebagai anak muda sukses, punya banyak toko, bisa mengadakan pernikahan mewah. Bank pasti lebih mudah kasih bantuan dana ke Abang,” jelas Sinta penuh keyakinan.
Riko terdiam. Hal itu sama sekali tak pernah ia pikirkan. Selama ini, pikirannya hanya berputar pada bagaimana menghemat pengeluaran, bukan mencari celah keuntungan dari pesta pernikahan mewah.
“Bang, kok diam?” Sinta heran, menunggu jawaban.
“Aku bingung, Sinta. Darimana lagi aku bisa dapat uang? Pinjamanku sudah hampir habis, tapi biaya tak terduga selalu saja muncul,” keluh Riko dengan suara berat, seolah beban dunia menekan pundaknya.
“Bang, anggap saja acara ini investasi untuk menaikkan pamor Abang sebagai pengusaha sukses. Setelah Abang terlihat sukses, kan bisa cari investor. Untuk mendapatkan investor itu, Abang harus tampak meyakinkan,” kembali Sinta memberi masukan, seolah yang ia ucapkan selalu masuk akal dan menguntungkan.
“Ya, ya… baiklah. Nanti aku transfer untuk DP,” ucap Riko akhirnya menyerah.
Sambungan telepon terputus.
Sinta tersenyum menyeringai. “Sewa mobilnya cuma 300 ribu sehari. Jadi aku dapat untung 200 ribu dikali 20 mobil. Berarti aku dapat empat juta. Ah, betapa cerdasnya aku,” gumamnya puas.
Sementara itu, Riko memijat kepalanya. Apa yang Sinta katakan memang terdengar masuk akal. Sinta selalu bicara tentang keuntungan lebih dulu, tapi lupa akan risiko. Sedangkan Hana… Hana selalu mengutamakan cara menghadapi risiko. Setelah risiko bisa diatasi, barulah keuntungan tak terduga datang. Dengan gaji pas-pasan saja, Hana bisa berinvestasi di toko Riko dan mencicil rumah bersama.
Hanya ada satu hal yang tak bisa Hana berikan: ia menolak memenuhi hawa nafsu Riko. Hana tak pernah mau melakukan hubungan intim sebelum menikah.
“Pak, ini ada tagihan dari supplier, 20 juta,” ucap petugas toko, membuyarkan lamunan Riko.
“Memangnya uang di toko nggak ada?” tanya Riko.
“Kan kemarin uang toko Bapak ambil semua,” jawab petugas itu sambil menyerahkan bukti.
“Masya Allah… masa sih?” Riko tertegun.
Ia kembali memijat pelipis. Kepalanya benar-benar pusing. Sejak Hana tak lagi membantunya, pengelolaan toko semakin berantakan.
“Bagaimana, Pak? Orangnya masih menunggu. Barang ini paling laris di toko kita,” ucap petugas toko.
“Minta nomor rekeningnya,” jawab Riko singkat.
Petugas toko segera memberikan nomor rekening. Dengan berat hati, Riko akhirnya mentransfer sejumlah uang itu.
Petugas toko pun meninggalkannya, sementara Riko masih diliputi rasa pusing yang tak kunjung reda.
Beberapa kali ia melirik ponselnya, berharap nama Hana muncul di layar.
“Kalau tidak jadi istri, setidaknya jadilah teman aku, Hana. Kenapa sikapmu seperti anak kecil? Kenapa kamu tidak bisa dewasa juga?” gumam Riko dalam hati, perasaan kesepian makin menyesakkan.
Semakin lama, kepala Riko terasa makin berat. Tumpukan nota di meja hanya membuatnya pusing. Padahal, dulu ia selalu membahas setiap nota bersama Hana, lembar demi lembar terasa menyenangkan saat dilalui berdua. Kini, sekadar melihatnya saja membuat semangatnya hilang.
Riko bangkit berdiri. Ia melangkah keluar, berniat pulang untuk beristirahat. Pernikahan yang semakin dekat dan kondisi toko yang berantakan membuat tubuh dan pikirannya benar-benar lelah.
Malam mulai menelan kota. Gerimis turun, membasahi jalan yang berkilau diterpa lampu. Riko berjalan menuju mobilnya. Dulu, ia bisa pulang larut malam dari toko karena Hana selalu setia menemaninya—kadang hadir langsung, kadang cukup lewat telepon.
Begitu tangannya menggenggam setir, sebuah perasaan kosong merambat ke dadanya.
“Ternyata aku benar-benar merindukan Hana,” gumamnya lirih, matanya tetap fokus ke jalan di depan
Hujan turun semakin deras, membasahi jalan yang sepi. Lampu mobil Riko menembus tirai air, hingga matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal. Seorang perempuan berjalan sempoyongan di tengah hujan, tubuhnya kuyup dan rapuh.
“Bukankah itu… Hana?” gumam Riko dengan mata membelalak.
Tanpa pikir panjang, ia menginjak rem dan memalangkan mobilnya, tepat di depan langkah Hana. Ia turun dengan tergesa, membiarkan bajunya ikut diguyur hujan.
“Hana!” serunya.
Hana menoleh sekilas. Tatapannya kosong, wajahnya pucat. Namun, begitu menyadari Riko, ia berbalik arah dan berlari dengan langkah gontai, berusaha menjauh.
“Tidak, Hana!” teriak Riko, napasnya mulai memburu. Hatinya dipenuhi obsesi. “Aku harus mendapatkanmu. Malam ini, suasana sepi, hujan lebat… kalau aku tak bisa meraihmu dengan cara baik-baik, maka aku akan memilikimu dengan cara paksa!”
Dengan tekad membara, Riko berlari menerjang hujan, mengejar Hana yang semakin jauh dalam kegelapan malam.
secepatnya pasti terkuak dan Andri gak jadi sama Hana deh 😅😅