Lanjutan dari Beginning And End.
Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.
Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.
Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.
Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Gadis eksperimen.
Pukul 22.58.
Moskow.
Jarum jam neon berkedip di kegelapan laboratorium yang remang-remang, setiap detik terasa seperti pukulan palu di kepala. Malam merayap masuk, membawa serta dingin yang menusuk tulang, seolah mencoba meremukkan semangat yang tersisa. Mike, dengan napas beruap yang membentuk awan kecil di udara beku, bersembunyi di balik tembok laboratorium bersama Jimmy. Dinding beton itu terasa kasar dan dingin di punggungnya, mengingatkannya pada dinginnya tanggung jawab yang mereka pikul.
"Sudah siap?" bisik Mike, suaranya rendah dan serak, matanya menelisik kegelapan, mencari tanda-tanda bahaya.
Jimmy, dengan seringai khasnya yang tak pernah luntur, mengangguk. Cahaya redup dari monitor di dekatnya memantulkan kilatan di kepalanya yang botak. "Siap lahir batin, Bos. Tinggal tunggu aba-aba dari si lebah. Semoga saja dia tidak salah lihat."
Jauh di kejauhan, di sebuah ruangan yang penuh dengan layar dan kabel, Alice memantau dengan cermat melalui mata lebah-lebah robotnya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, setiap gerakan presisi dan cepat. Layar monitor di hadapannya menampilkan Alisiya yang mengendap-endap menuju ruang pengamanan. Di wajah Alice terpancar campuran antara konsentrasi dan kekhawatiran. Setiap gerakan Alisiya adalah napasnya, setiap langkahnya adalah harapannya.
Alisiya, biasanya didampingi Reina dalam setiap misi pembobolan sistem keamanan, kini berjuang sendirian. Tanpa sahabatnya, ia merasa seperti kehilangan separuh jiwanya. Keberaniannya terasa rapuh, seperti kaca yang bisa pecah kapan saja. Di tangannya, scythe raksasa hologramnya memancarkan warna pelangi yang kontras dengan kegelapan lorong. Rambut pelanginya bergetar seiring langkahnya yang hati-hati, setiap helai seolah berbisikkan nama Reina.
Tiba-tiba, suara Alice memecah kesunyian melalui earphone. "Alisiya, beberapa meter lagi kau sampai ke ruang keamanan. Tapi, sistem pintunya dirancang khusus. Tidak bisa sembarangan dibobol. Mereka menggunakan enkripsi kuantum terbaru."
Alisiya mengerutkan kening, keraguan mencuat di benaknya. Jantungnya berdebar semakin kencang, keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. "Lalu... bagaimana, Alice?" bisiknya, nada cemas menyelinap dalam suaranya. "Apa ada celah yang bisa kita manfaatkan?"
Alice menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya dan Alisiya. Ia menatap layar, menganalisis setiap baris kode yang lewat dengan kecepatan kilat. "Kau jalan saja ke sana. Dari radar, musuh tidak ada di sekitar. Ini jam istirahat mereka. Mereka menjauh untuk minum kopi dan merokok. Tapi jangan lengah, mereka bisa kembali kapan saja."
Mendengar itu, Alisiya merasa sedikit lega, namun kewaspadaannya tetap tinggi. Ia mempercepat langkahnya, scythe hologramnya menghilang dan digantikan oleh pistol berperedam. Setiap langkahnya kini lebih mantap, namun matanya terus mengawasi sekeliling, mencari tanda-tanda bahaya.
Sambil berjalan, Alice dengan lincah mengendalikan lima lebah robotnya menuju pintu ruang keamanan. Jari-jarinya menari di atas keyboard virtual, meretas kunci dan tombol di dalam pintu baja itu. Setiap kode yang berhasil dipecahkan adalah debaran jantungnya, setiap kesalahan adalah mimpi buruknya.
Dengan upaya yang terukur dan presisi, Alice berhasil membuka pintu. Senyum tipis menghiasi wajahnya, namun matanya tetap waspada. Ia segera menghubungi Alisiya. "Alisiya, pintunya sudah kubuka. Kau aman sekarang. Tapi hati-hati, mungkin ada jebakan."
"Baiklah, Alice. Terima kasih," jawab Alisiya, nada lega bercampur dengan ketegangan. Ia berjalan cepat menuju ruang keamanan, jantungnya berdebar kencang. Di benaknya, terbayang wajah Reina, senyumnya, semangatnya, kekuatannya. "Reina... semoga kau cepat siuman dan kembali bersama kami..." gumamnya lirih, air mata hampir menetes di pipinya.
Saat Alisiya memasuki ruang keamanan, ia merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Ruangan itu kosong, hanya ada beberapa rak berisi tabung-tabung berisi cairan berwarna merah.
Langkah kaki Alisiya di dalam ruang keamanan terasa berat, seolah ada beban tak kasatmata yang menariknya ke bawah. Jantungnya berdebar tak karuan, memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa tegang dan waspada. Matanya menyapu ruangan, mencari petunjuk, mencari sesuatu yang bisa membantunya membuat keputusan yang tepat. Ia melihat lima monitor yang berjajar di dinding, memancarkan cahaya biru yang dingin dan menusuk, menciptakan bayangan-bayangan aneh yang menari-nari di sekelilingnya. Alisiya berjalan ke sana, dengan langkah hati-hati, seolah takut mengganggu sesuatu yang tersembunyi di dalam kegelapan, dan melihat sebuah rekaman CCTV dan sistem keamanan yang kompleks, dengan kode-kode yang berkedip-kedip dan grafik yang rumit.
"Alice..." bisiknya melalui earphone, suaranya bergetar, nyaris tak terdengar di tengah deru adrenalin dalam dirinya. Ia menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri, namun sia-sia. "Bagaimana... aku hancurkan saja semuanya? Aku tidak tahan melihat ini... Aku merasa seperti akan meledak."
Alice, di ujung sana, dengan sigap menjawab, suaranya tenang namun tegas, mencoba menenangkan Alisiya. "Tunggu! Jangan gegabah. Tarik napas dalam-dalam, Alisiya. Kendalikan dirimu. Lihat di monitor nomor tiga... yang di depanmu... Analisis dulu situasinya. Kita tidak bisa bertindak tanpa rencana."
Alisiya mengikuti arahan Alice, dan matanya terbelalak, napasnya tercekat, seolah ada tangan tak kasatmata yang mencekik lehernya. Di monitor tersebut, ia melihat sebuah ruangan eksperimen yang dingin dan steril, seperti neraka yang dibekukan, tempat mimpi buruk menjadi kenyataan. Di dalamnya, terdapat sebuah tabung kaca besar yang berisi seorang gadis seumuran dengannya. Rambutnya sangat panjang, bahkan melebihi kakinya, berwarna biru tua emerald yang indah, namun terlihat layu dan tak terawat, seperti bunga yang kekurangan sinar matahari, seperti sayap kupu-kupu yang patah. Gadis itu tampak seperti putri tidur yang terperangkap dalam mimpi buruk, menunggu pangeran yang tak kunjung datang, atau mungkin, menunggu kematian yang akan membebaskannya dari penderitaan.
"Ya Tuhan..." gumam Alisiya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, memburamkan pandangannya. Ia merasakan simpati yang mendalam terhadap gadis itu, seolah ia bisa merasakan penderitaan yang telah dialaminya, seolah ia bisa mendengar jeritan hatinya. Ia ingin tahu siapa dia, mengapa dia ada di sana, dan apa yang telah terjadi padanya, namun ia tahu, waktu terus berjalan, dan ia harus bertindak cepat.
Alisiya mencari sesuatu di lemari, mencari informasi tentang gadis itu, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di benaknya, mencari cara untuk menyelamatkannya. Jari-jarinya gemetar saat membuka laci dan meraba-raba tumpukan dokumen, berharap menemukan secercah harapan, berharap menemukan petunjuk yang akan membawanya ke gadis itu.
"Alisiya, apa yang sedang kau cari?" tanya Alice, nada penasaran bercampur dengan kekhawatiran. "Kita tidak punya banyak waktu. Alarm bisa berbunyi kapan saja. Mereka akan datang, dan kita akan tertangkap."
"Aku akan mencari informasi gadis itu..." jawab Alisiya, suaranya bertekad, namun bergetar karena emosi. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan air matanya, namun sia-sia. "Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Aku harus tahu siapa dia. Aku harus membantunya."
Namun, Alice berkata dengan tegas, sambil menguap karena kantuk, namun nada suaranya tetap serius, mencoba mengingatkan Alisiya tentang misi mereka. "Ya ampun... Alisiya... sebentar lagi mereka akan ke sana... Huaaah... Kita punya misi yang harus diselesaikan. Ingat Reina! Kita harus mendapatkan sampel Evil Blood Virus. Itu prioritas utama."
Alisiya hanya diam, matanya terpaku pada monitor, menatap gadis di dalam tabung. Ia merasakan konflik yang hebat dalam dirinya, seperti perang yang berkecamuk di dalam hatinya. Ia harus menyelesaikan misi yang diberikan Craig, mencuri sampel Evil Blood Virus, untuk menyelamatkan dunia dari ancaman Alexander Volkov, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan gadis yang membutuhkan pertolongannya, yang telah dicuri kebebasannya dan dijadikan bahan eksperimen, yang telah diubah menjadi monster.
Akhirnya, ia menemukan sebuah dokumen yang tersembunyi di balik tumpukan berkas, sebuah file rahasia dengan label "Subjek 07". Jantungnya berdebar kencang saat membacanya, setiap kata terasa seperti pukulan di dadanya, setiap kalimat terasa seperti pisau yang menusuk hatinya. Gadis itu ternyata ditahan tidak jauh dari ruang keamanan, di sebuah laboratorium tersembunyi yang terletak di bawah tanah.
"Alice, aku akan menghancurkan ini..." kata Alisiya, suaranya bergetar karena emosi, air mata mengalir semakin deras di pipinya, membasahi dokumen di tangannya. Ia mengepalkan tangannya, mencoba menahan amarah dan kesedihan yang meluap-luap dalam dirinya. "Suruh Mike, Jimmy, dan Helena pergi mencuri sampel Evil Blood Virus. Aku akan menyelamatkan gadis itu. Di dalam laporan, dia adalah anak yang dicuri selama 10 tahun... Mereka melakukan eksperimen mengerikan padanya... Mereka mengubahnya menjadi monster... Tapi aku yakin, di dalam diri monster itu, masih ada seorang gadis yang menunggu untuk diselamatkan."
Alice terkejut dan berkata, "B... baiklah... Aku akan mengizinkan... Mengingat kemampuanmu yang sangat luar biasa... dan... dan karena aku tahu kau tidak akan bisa tenang jika tidak melakukan apa-apa... Tapi hati-hati, Alisiya. Jangan gegabah. Jangan biarkan emosimu mengendalikanmu. Nyawamu lebih berharga dari apapun... Sekarang... Hancurkan sistemnya... Alisiya! Aku akan mengalihkan perhatian mereka. Aku akan menciptakan kekacauan."
Alisiya mengangguk, air mata mengalir semakin deras di pipinya, namun matanya memancarkan tekad yang membara. Ia menggenggam pistolnya erat-erat, dan bersiap untuk menghadapi bahaya. Ia tahu, ia harus bertindak cepat dan tepat, karena nyawa seorang gadis tergantung padanya, dan ia tidak akan mengecewakannya.
"Demi Reina... demi gadis itu... dan demi semua orang yang telah menjadi korban kejahatan ini..." gumamnya, lalu menghancurkan sistem keamanan dengan sekali tembak, memicu alarm dan kekacauan di seluruh kompleks, dan memulai perjalanan yang berbahaya menuju laboratorium tersembunyi, tempat seorang gadis menunggu untuk diselamatkan.