"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"
**
Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.
bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..
jangan lupa Follow ig Author
@nona_written
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Jalanan desa yang membelah hamparan sawah hijau terbentang di depan mobil hitam yang dikemudikan Makes, jika pergi bersama Zhavira, Makes memang jarang sekali menggunakan supir kecuali acara kantor. Angin sore menerobos jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma khas tanah basah dan rumput liar. Di kejauhan, anak-anak kecil berlarian sambil tertawa, beberapa melambaikan tangan ketika mobil itu melintas.
Zhavira duduk di kursi penumpang, tangannya sibuk merapikan kerudung tipis yang ia kenakan.
“Aneh ya rasanya,” gumamnya sambil tersenyum tipis.
“Aneh kenapa?” tanya Makes, melirik sekilas.
“Dulu… terakhir kita lewat jalan ini, kita baru saja saling mengakui perasaan satu sama lain,” jawabnya sambil tertawa kecil, mencoba menyamarkan rasa bersalah di matanya.
Makes tersenyum tipis. “Dan sekarang, kita kembali kesini untuk menuju sesuatu yang halal dan lebih indah dari yang kemarin.”
Mobil berhenti di depan rumah joglo sederhana bercat putih yang dikelilingi tanaman bunga kertas. Pintu kayu terbuka, menampakkan sosok Pak Ramadhan yang berdiri tegap dengan senyum hangat. Di belakangnya, Bu Nuraeni melambaikan tangan.
“Assalamualaikum!” seru Zhavira sambil turun,
langsung menghampiri ibunya dan memeluk erat.
“Waalaikumsalam… Ya Allah, anak ibu akhirnya pulang lagi,” suara Bu Nuraeni bergetar, matanya berkaca-kaca.
Pak Ramadhan menepuk bahu Makes dengan akrab. “Nak Makes… kamu ini udah kayak anak sendiri. Ayo masuk, masuk. Rumah ini nggak pernah berubah, cuma tamunya aja yang suka kabur,” ujarnya sambil melirik Zhavira penuh candaan.
Zhavira cemberut kecil. “Bapak…”
Mereka semua tertawa.
**
Di ruang tamu, teh panas dan pisang goreng terhidang di meja. Makes duduk berdampingan dengan Zhavira, sementara Bu Nuraeni sibuk mengatur piring kecil.
“Gimana kerjaan kamu sekarang, Nak Makes?” tanya Bu Nuraeni sambil menuangkan teh.
“Alhamdulillah lancar, Bu. Saya juga udah mulai atur waktu biar nggak terlalu sibuk. Soalnya ada yang mau saya urus lebih penting,” jawabnya sambil melirik Zhavira sekilas.
Zhavira menyikut pelan lengannya. “Gombal.”
Pak Ramadhan terkekeh. “Bagus itu, jangan cuma kerja. Hidup itu butuh keseimbangan.”
Hening sebentar, lalu Makes menegakkan duduknya. “Pak, Bu… saya datang ke sini bukan cuma mau silaturahmi. Saya dan Zhavira… insya Allah mau melanjutkan rencana pernikahan kita yang sempat tertunda. Kami ingin minta restu dari Bapak dan Ibu.”
Bu Nuraeni menatap Zhavira dengan mata berbinar. “Kamu yakin, Nak? Setelah semua yang terjadi?”
Zhavira mengangguk mantap. “Yakin, Bu. Aku udah belajar dari kesalahan. Dan aku… siap memberikan kesempatan kedua ini.”
Pak Ramadhan menarik napas panjang, lalu tersenyum. “Kalau kalian sudah siap lahir batin bapak sama Ibu nggak akan menghalangi. Justru Ayah senang akhirnya kalian berani melangkah lagi.”
Makes menghela napas lega. “Terima kasih, Pak, Bu. Saya janji akan jaga Zhavira seumur hidup saya.”
Bu Nuraeni menggenggam tangan keduanya. “Kalau begitu… kita harus mulai persiapan dari sekarang. Jangan sampai kabur lagi ya, Zhavira,” ujarnya sambil tersenyum menggoda.
Semua tertawa, dan suasana kembali cair.
**
Sore menjelang malam, mereka duduk di teras, memandangi langit jingga yang perlahan berubah gelap.
“Aku suka suasana di sini,” kata Makes sambil menyesap teh hangat. “Tenang, adem, nggak kayak Jakarta.”
Zhavira menyandarkan kepalanya di bahu Makes. “Nanti kalau udah nikah, kita sering-sering ke sini ya.”
Malam itu, hawa sejuk khas pedesaan mulai menyelimuti teras rumah sederhana milik keluarga Zhavira. Lampu temaram menggantung di atas meja kayu panjang, menyoroti cangkir-cangkir kopi panas yang mengepulkan aroma harum. Di tengah meja, sebuah piring besar berisi pisang goreng hangat buatan Ibu Nuraeni tampak menggoda.
“Silakan, Makes. Cobain pisang goreng buatan Mama. Ini favorit Zhavira dari kecil,” ucap Bu Nuraeni sambil tersenyum, menyodorkan piring ke arah Makes.
Makes menerima dengan sopan, lalu menggigit satu potong. “Hmm… ini enak banget, Bu. Renyah di luar, lembut di dalam. Pantesan Zhavira betah di rumah,” pujinya sambil melirik Zhavira yang hanya tersenyum malu.
Pak Ramadhan terkekeh, menyesap kopinya pelan. “Kalau betah di rumah, dulu nggak mungkin kabur ke Bali,” celetuknya dengan nada bercanda, namun sarat makna.
Zhavira memelototkan mata kecil ke arah ayahnya. “Bapak… itu dulu,” jawabnya, separuh manja.
Suasana teras terasa hangat meski udara luar cukup dingin. Obrolan mengalir ringan — mulai dari cerita perjalanan pulang dari Bali, kondisi kampung yang makin ramai, hingga kisah-kisah lucu masa kecil Zhavira.
“Dulu waktu SD, dia pernah manjat pohon pisang di belakang rumah, terus jatuh kena lumpur. Pulangnya nangis-nangis sambil minta dibuatin pisang goreng sama Mama,” cerita Bu Nuraeni sambil tertawa.
Makes ikut tertawa, memandang Zhavira penuh rasa sayang. “Oh, jadi kebiasaan makan pisang goreng ini memang sudah dari kecil, ya?”
Zhavira menghela napas malu-malu. “Jangan dibahas, ah. Malu…”
Setelah hampir satu jam mengobrol sambil menyeruput kopi dan menghabiskan pisang goreng, Pak Ramadhan berdiri dan menepuk bahu Makes. “Istirahatlah. Besok kita ngobrol lagi soal rencana pernikahan kalian.”
Mereka pun pamit ke kamar tamu yang disiapkan khusus oleh keluarga Zhavira. Namun setelah beberapa saat, Zhavira menarik tangan Makes. “Ayo keluar sebentar. Aku mau tunjukkin sesuatu.”
Mereka berjalan melewati pekarangan rumah menuju pinggir sawah yang terhampar di belakang. Bulan purnama menggantung rendah, memantulkan cahaya perak di permukaan padi yang bergoyang pelan diterpa angin malam.
“Indah banget, ya…” bisik Zhavira, memeluk dirinya sendiri karena udara mulai dingin.
Makes tanpa ragu melepas jaketnya dan menyampirkannya ke bahu Zhavira. “Aku suka banget suasana kampung kamu. Tenang, adem… dan yang paling penting, kamu ada di sini.”
Zhavira menoleh, menatapnya dalam. “Aku senang kamu mau datang lagi ke sini. Setelah semua yang terjadi…”
Makes mengusap pipinya lembut. “Zhavira, aku datang bukan cuma untuk minta restu. Aku datang karena aku nggak mau kehilangan suasana ini… dan kamu.”
Mereka duduk di bangku kayu kecil yang menghadap ke hamparan sawah. Angin malam membawa aroma tanah basah dan suara jangkrik yang bersahut-sahutan. Tidak ada suara kendaraan, hanya ketenangan yang membuat hati terasa damai.
“Kalau nanti kita menikah, aku mau sekali-kali pulang ke sini lagi,” kata Makes. “Biar kita nggak lupa sama ketenangan seperti ini.”
Zhavira tersenyum, menatap bintang-bintang yang bertebaran di langit. “Kamu tahu nggak, di sini dulu aku sering duduk sendirian, nyari tenang. Aku nggak nyangka… malam ini aku duduk di sini sama kamu.”
Makes meraih tangannya, menggenggam erat. “Dan aku janji, kali ini aku nggak akan membiarkan kamu pergi sendirian lagi.”
Mereka terdiam, menikmati momen tanpa banyak kata. Di kejauhan, suara anjing menggonggong samar, diiringi desiran padi yang bergesekan. Malam itu terasa seperti sebuah janji baru — sederhana, tapi tulus.