"Setelah bertahun-tahun diabaikan dan diperlakukan tidak adil oleh keluarganya sendiri, senja Aurelie Wijaya anak kandung yang terlupakan memutuskan untuk bangkit dan mengambil alih kendali atas hidupnya. Dengan tekad dan semangat yang membara, dia mulai membangun dirinya sendiri dan membuktikan nilai dirinya.
Namun, perjalanan menuju kebangkitan tidaklah mudah. Dia harus menghadapi tantangan dan rintangan yang berat, termasuk perlawanan dari keluarganya sendiri. Apakah dia mampu mengatasi semua itu dan mencapai tujuannya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ariyanteekk09, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 4
Sinar matahari pagi menerobos celah tirai, namun Senja masih tertidur pulas. Hari ini hari libur, kesempatan untuk beristirahat setelah semalaman menangis. Kepalanya sedikit pusing, bekas air mata yang berjatuhan di bantal. Kenangan percakapannya dengan Raka masih terasa begitu nyata, menimbulkan sesak di dadanya. Ia masih bisa merasakan getaran emosi yang begitu kuat saat mengungkapkan isi hatinya.
Di ruang makan, Raka hanya duduk termenung. Nasi goreng yang telah disiapkan bik surti masih tersaji utuh di piringnya. Ia tak selera makan. Ucapan Senja semalam masih terngiang-ngiang di telinganya, kata-kata yang menusuk hatinya.
Ia merasa bersalah, dan rasa bersalah itu begitu berat. Keheningan di ruang makan terasa begitu mencekam, mencerminkan suasana hati Raka yang sedang kalut. Ia menyesali kesalahannya, dan mengharapkan kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun, ia tak tahu harus memulai dari mana.
Caca, yang duduk di seberang Raka, mengerutkan dahinya. Ia memperhatikan Raka yang hanya mengaduk-aduk nasi gorengnya dengan garpu, tak sedikit pun menyentuh makanan itu. "Kakak kenapa kok makanannya nggak dimakan? Cuma diaduk aja," tanyanya, suaranya lembut namun penuh perhatian.
Ia tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran kakaknya. Keheningan di pagi hari itu terasa berbeda, lebih berat daripada biasanya. Caca berharap Raka mau bercerita, agar beban di hatinya bisa sedikit berkurang.
Caca menatap Raka dengan penuh harap, menunggu jawaban. Namun, yang ia dapatkan adalah jawaban ketus yang tak terduga. "Tidak ada apa-apa!" jawab Raka, suaranya terdengar tajam.
Ia mendorong piring nasi gorengnya menjauh, gerakannya kasar. Caca tersentak kaget. Ia belum pernah melihat Raka bersikap seperti ini sebelumnya. Biasanya, Raka selalu lembut dan penyayang padanya. Kekecewaan dan sedikit rasa sakit menusuk hati Caca.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tetap tenang. "Kalau begitu, maaf, Kak," katanya lirih, suaranya sedikit bergetar. Ia bangkit dari kursinya dan meninggalkan Raka sendirian di ruang makan, hati kecilnya terasa berat. Keheningan kembali menyelimuti ruang makan, namun kali ini terasa lebih dingin dan hampa.
Galih, yang baru saja masuk ke ruang makan, menyaksikan interaksi antara Raka dan Caca. Ia mengerutkan kening, melihat Caca yang terlihat sedih dan Raka yang tampak kesal. "Lo kenapa sih, Kak? Jawabannya ketus banget. Caca kan nanya baik-baik sama Kakak," kata Galih, suaranya sedikit meninggi. Ia tidak suka melihat Raka bersikap kasar pada Caca.
Raka mendengus, menatap Galih dengan pandangan tajam. "Siapa yang jawab ketus? Gue bicara apa adanya," jawabnya, nada suaranya masih terdengar keras. Ia tampak kesal dan frustrasi. Kehadiran Galih justru menambah kekesalannya. Ia ingin sendiri, untuk menenangkan diri dan memilah-milah perasaannya yang berantakan. Suasana di ruang makan semakin tegang. Ketiga saudara kandung itu kini diliputi oleh ketegangan dan kesalahpahaman.
Galih menghela napas. Ia tahu Raka sedang dalam keadaan yang tidak baik, tetapi sikapnya yang kasar tetap membuatnya kesal. "Ya, tapi nggak usah kasar gitu lah, Kak. Caca kan adikmu," protes Galih, suaranya lebih lembut namun tetap tegas. Ia mencoba menengahi, tidak ingin pertengkaran semakin memanas.
Raka mengusap wajahnya dengan kasar. "Gue lagi nggak enak badan, Galih! Biarkan gue sendiri!" suaranya meninggi, menunjukkan kekesalannya yang semakin menjadi. Ia berdiri dan meninggalkan ruang makan, meninggalkan Galih dan Caca yang terdiam.
Caca menunduk, menahan air matanya. Galih menatap punggung Raka yang menjauh, merasa iba namun juga sedikit kesal. Ia tahu Raka sedang menyembunyikan sesuatu, dan ia bertekad untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Keheningan kembali menyelimuti ruang makan, namun kali ini terasa lebih berat daripada sebelumnya, dipenuhi oleh ketegangan dan pertanyaan yang belum terjawab. Galih menoleh ke Caca, menawarkan sebuah senyuman simpatik. "Sabar ya, Ca," katanya pelan, mencoba memberikan sedikit ketenangan di tengah suasana yang mencekam.
" sial kak raka kenapa bersikap cuek sama gua Hari ini. ini tidak boleh terjadi, pokoknya semua keluarga ini harus terus berpihak dengan gue untuk selamanya. " batin caca.
*****
Alisha baru terbangun pukul sembilan pagi. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia turun ke lantai bawah. Suasana ruang tamu tampak ramai. Orang tuanya, Raka, dan Caca sedang asyik berbincang. Namun, tatapan sinis Galih langsung menarik perhatiannya. Galih menatapnya dengan tajam, seolah-olah sedang menunggu kesempatan untuk menyerang.
"Lihatlah, Tuan Putri baru bangun tidur jam segini," teriak Galih, suaranya terdengar sinis dan penuh ejekan. Ia sengaja meninggikan suaranya agar Alisha mendengarnya.
Alisha mendengus, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatinya sedikit terusik. "Terserah gue dong, kok lo yang sewot?" jawabnya datar, suaranya terdengar tenang namun tegas.
Ia tidak mau terpancing emosinya oleh Galih. Ia berjalan menuju meja makan, mengabaikan Galih yang masih menatapnya dengan pandangan tajam. Ketegangan di ruang tamu terasa semakin kental, menciptakan suasana yang tidak nyaman bagi semua orang yang berada di sana.
Alisha duduk tenang di meja makan, menunggu sarapannya siap. Bibi Surti, pembantu di rumah itu, sedang memasak makanan kesukaan Alisha. Anehnya, Alisha memilih makan di meja makan utama, bukan di paviliun milik Bibi Surti seperti biasanya. Paviliun itu lengkap dengan bahan makanan yang Alisha beli sendiri, khusus untuknya.
Setelah selesai makan, saat Alisha hendak kembali ke kamarnya, ayahnya menghentikannya. "Alisha, sini kamu. Papi mau bicara sama kamu," panggil ayahnya.
"Langsung ke intinya saja," jawab Alisha, suaranya terdengar datar.
"Kata Caca, sekarang kamu sudah berani menunjukkan kepintaranmu di sekolah. Papi kan sudah bilang, kamu pura-pura bodoh saja!" ayahnya marah.
Alisha tersenyum sinis ke arah Caca. Ia sudah menduga ini akan terjadi, terlebih setelah mendengar komentar-komentar Galih sebelumnya. "Terserah saya dong, kok Bapak yang ngatur? Kalau mau pintar, belajar makanya," jawab Alisha, suaranya terdengar sedikit menantang.
Alisha kembali ke kamarnya. Ia merasa lelah dan malas berurusan dengan keluarganya hari ini. Ia ingin menghabiskan waktu sendirian setelah balapan liar tadi malam yang menguras tenaganya. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, mencoba melupakan semua kejadian yang telah terjadi. Hari ini, ia hanya ingin beristirahat dan menenangkan pikirannya.
Caca mengepalkan tangannya, menahan gejolak emosi yang membuncah di dalam dadanya. Ucapan Alisha barusan menusuk hatinya. Ia merasa diremehkan, dianggap tidak berhak mengatur Alisha. Rasa kesal itu berubah menjadi amarah yang membara. Ia tidak terima dengan perlakuan Alisha yang seolah-olah menganggapnya sebelah mata. Di dalam hatinya, benih-benih dendam mulai tumbuh. Caca membenci Alisha, dan ia bertekad untuk membalas perlakuan Alisha. Di kepalanya, rencana-rencana jahat mulai bermunculan, seperti laba-laba yang menenun jaring-jaring licik. Ia akan mencari cara untuk melawan Alisha, untuk membuat Alisha menyesal telah memperlakukannya dengan buruk. Pandangannya yang tadinya lembut kini digantikan oleh tatapan tajam yang penuh dengan kebencian. Ia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan membuat Alisha menderita. Perasaan membenci Alisha begitu kuat, menguasai seluruh pikiran dan perasaannya. Ia harus melakukan sesuatu, segera. Ia harus merencanakan sesuatu yang akan membuat Alisha jatuh.