Pagi yang cerah di suatu pulau bagian utara Jawa, desiran ombak dan suara burung-burung pagi sudah menghiasi dermaga, beberapa nelayan yang baru pulang melaut sedang memilah-milah hasil tangkapan, seorang pemuda yang tegap dan gagah terlihat sibuk dengan perahu cadiknya.
“hoooyyy... Wahai laut, hari ini aku akan mengarungimu, aku akan menjadi penjaga laut Kesultanan, kan ku berantas semua angkara murka yang ingin menjajah tanah Jawa, bersiaplah menerima kekuatan otot dan semangatku, Hahahaha..
”Rangsam berlayar penuh semangat mengarungi lautan, walau hanya berbekal perahu cadik, tidak menurunkan semangatnya menjadi bagian dari pasukan pangeran Unus. Beberapa bulan yang lalu, datang Prajurit Kesultanan ke pulau Bawean, membawa selembar kertas besar yang berisi woro-woro tentang perekrutan pasukan Angkatan laut pangeran Unus Abdurrahman, dalam pesan itu tertulis bahwasanya pangeran akan memberantas kaum kuning yang selama ini sudah meresahkan laut Malaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dimas riyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LANUN
Langit hari ini terlihat cerah di pulau Mamosa, waktu yang indah untuk memulai pelayaran, ini adalah kali ke dua Rangsam memulai pelayaran, namun kali ini berbeda, bukan sebagai prajurit Bintara, melainkan sebagai sesuatu yang lain.
Warga pulau Mamosa sudah berkumpul di tepi pantai, dengan beberapa hasil bumi yang ingin mereka berikan pada Rangsam, mengingat Rangsam sudah sangat berjasa bagi pulau Mamosa.
Seperti biasa, Rangsam menghadap Laut dan berteriak.
“hoooyyy lauuuut, kali ini aku akan mengarungimu sekali lagi, akan ku patahkan panji Portugis dari tanah Malaka, bukan sebagai prajurit Bintara, tapi aku, Rangsam, sebagai Lanun yang akan menghancurkan angkara murka, dengar itu wahai lauuuut!!!!!!”.
Setelah berteriak, suasana menjadi hening, hanya ada desiran angin dan gemuruh ombak. Rangsam menunduk, berdo’a kepada sang Pencipta laut, agar perlindungannya selalu menyertai.
“Hey pemuda sombong, kenapa kau berteriak seperti itu” Anne bertanya pelan sambil menghampiri dari belakang.
“He he, pipi merah, kau tidak akan mengerti, aku ini pelaut, bagi pelaut harus ada ikatan pribadi antara dirinya dan lautan”.
“hey, berani-beraninya kau memanggil ku pipi merah!” Anne terlihat marah pada Rangsam.
“Sudahlah, ayo kita berangkat” Jawab Rangsam santai, “teruntuk penduduk pulau Mamosa, aku ucapkan banyak Terima kasih, telah menjadi keluargaku selama aku terdampar di pulau ini, kini, saatnya aku harus pergi”.
“tuan Rangsam, izinkan aku, Boko dan Kuka ikut dalam perjalananmu, kami juga ingin melihat dunia yang luas” jawab salah satu pemuda dari pulau Mamosa.
“Musa, apakah orang tuamu mengizinkan” tanya Rangsam.
“Kami mengizinkannya nak” jawab orang tua kuka, Boko dan Musa.
“Baiklah, kalau begitu, kalian boleh ikut”.
“tunggu, tunggu, tunggu, tuan Rangsam, tolong kasihani aku, tolong bawa aku juga, aku ingin memulai hidup baru kembali di selatan, aku tidak akan bertahan di pulau ini” Tan hui memelas kepada Rangsam.
“oh, rupanya si Dewa palsu toh, aku tidak bisa janji membawamu, keputusan aku serahkan pada paman Jim dan Anne”.
“aku keberatan” jawab Anne singkat.
“Aku sudah menebak jawabanmu pipi merah” sahut Rangsam.
“jangan begitu Anne, kau tidak boleh memelihara sifat dendam” Jim menasihati Anne, “Tuhan sudah sangat baik pada kita, jika tidak, sudah lama kita mati di tengah lautan. biarkan tuan Tan hui ikut serta, siapa tau setelah ini sifat buruknya berubah”.
“kau memang orang yang bijak tuan Jim Watson, kebaikanmu akan selalu ku kenang, semoga aku dapat membalasnya”.
Rangsam, Jim, Anne dan lainnya berpamitan kepada penduduk pulau Mamosa, ada sedikit rasa berat dari penduduk pulau melepas kepergian Rangsam, ada yang sampai histeris, ia adalah Bibi zahidah malangwe, orang yang selalu perhatian kepada Rangsam.
Rangsam yang manis dan mudah mencuri hati membuat bibi zahidah menangis, bahkan lengan Rangsam selalu dipeganginya.
“jangan tinggalkan aku Rangsam, kau tega sekali” sambil menangis histeris bibi zahidah memegangi Rangsam, penduduk yang lain ikut menitikkan air mata.
Rangsam mencium kening Bibi zahidah, “Bibi, aku tidak akan lama, kau tidak usah ikut, perjalananku sangat berbahaya, aku ingin berperang melawan bangsa yang kuat. aku akan mengumpulkan teman-teman yang kuat pula sebagai awak kapalku. kau cukup doakan saja aku di setiap sholat mu, kau sudah ku anggap sebagai ibuku, jaga diri mu baik-baik, jangan lupa sirami bunga-bunga yang aku tanam di pekarangan, karena aku hampir digigit ular mencari bunga itu, dan satu lagi, aku titip ayam jago kesayanganku. aku yakin ia baik-baik saja bersamamu, aku pergi dulu, assalamu’alaikum”.
Layar sudah terbuka, lautan siap Mengombang-ambingkan mereka, jiwa-jiwa yang lemah tidak akan mampu mengarungi alam biru penuh misteri.
Riak air laut dan hembusan angin menjadi melodi pengantar kepergian mereka dari tanah Mamosa.
Mata Rangsam berbinar binar, setelah tujuh tahun menunggu, maka ini adalah hari dimana ia harus bergerak, menumpas angkara murka di hamparan biru, menemui takdirnya sebagai seorang pelaut.
Dulu ia mengira takdirnya adalah sebagai punggawa kerajaan Bintara, namun takdir itu seperti lautan, tidak tau apa yang ada di dalamnya, sangat kebetulan sekali nasib mengantarkan ia sebagai Pangeran Bintara, dan tidak disangka tidak dinyana, ia terdampar di sebuah pulau yang sangat terisolasi.
namun semua itu adalah takdir dari sang Pencipta, jika tidak Allah kirim Rangsam ke pulau Mamosa, maka tidak akan penduduk pulau itu mengenal Islam.
Pulau Mamosa hanya tinggal sebuah garis biru kehijauan di ujung horizon, Rangsam tidak bergeming, terus memandangi pulau itu, banyak cerita yang tersimpan, banyak kenangan bersama bibi zahidah, kepala suku, dan juga warga yang lainnya. Sepertinya air mulai muncul di ujung mata Rangsam, namun sekejap sirna oleh kerasnya angin, ya, tidak ada tempat bagi air mata di lautan yang keras.
Allah menciptakan alam ini pada garis edar nya, dan berlaku juga bagi setiap manusia. Mati, jodoh dan rezeki adalah suatu ketetapan, tak ada yang tau, namun sudah ter arahkan, semua berjalan sebagaimana mestinya.
Segala kenangan tentang pasukan Bintara mendadak terlintas, bagaimana ia bercanda dengan Lodra, bagaimana kebaikan dan kebijaksanaan paman Wigardakusuma, kedekatannya dengan kapitan Oerip, dan yang paling ia ingat adalah wajah si penghianat Uzglu, kalau bukan karenanya, Bintara tidak akan sehancur itu.
Syech Abdul Karim telah salah memiliki murid, ia pun merasa malu mengetahui fakta bahwa ia adik Seperguruan dari seorang penghianat besar.
Bayezir Uzglu, atau Sergei iwakov, adalah orang yang sangat Rangsam harapkan bertemu kembali, ia berharap dapat berduel hidup mati dengan si penghianat itu.
Tak sadar tangannya Mencengkeram pinggiran kapal, menjadikan kayu oak itu hampir seperti bubuk.
“Apakah kau ingin menghancurkannya setelah kau perbaiki” suara berat Jim membuyarkan lamunan Rangsam.
“maaf, aku...”
“sudahlah, kadang ada sesuatu yang perlu dikatakan dan tidak perlu dikatakan” Jim tersenyum pada Rangsam seolah mengerti apa yang ia rasakan.
“Maafkan aku paman, sepertinya aku hilang kendali atas emosiku”.
“tidak papa nak, selagi muda, kejarlah apa yang menjadi ambisimu, jangan sampai di masa tua kau menyesal”.
Rangsam tersenyum pada Jim “kau salah satu orang bijak yang aku temui selain ayah, paman, dan guruku”.
“aku sudah menjadi orang tua nak, mungkin ini adalah naluri”.
“mungkin saja paman, semoga saja” Rangsam memalingkan pandangannya lalu menatap pulau Mamosa lagi, kini perlahan pulau itu menghilang.
“aku punya sesuatu untuk mu, semoga saja kau suka”. Jim meninggalkan Rangsam, lalu masuk ke dalam ruangan kapal.
Tak lama kemudian ia keluar lagi dengan membawa tas kulit dengan segel berwarna emas.
“Apa ini paman?"
“kau buka saja”
Rangsam membuka tas kulit tersebut, dan di dalamnya ada sebuah baju ala orang Eropa.
“apakah kau menginginkan aku memakai baju ini paman?”.
“ya, seorang saudagar dari Denmark memberikan ini padaku, ia bilang siapapun yang memakainya akan terlihat besar dan bijak”.
Rangsam tersenyum, tidak disangka ia akan mengenakan baju orang-orang Eropa, padahal di Malaka banyak orang yang memakai baju seperti ini, dan ia menghabisinya.
“Baiklah paman, akan ku pakai, tapi untuk topi ini, aku lebih suka ikat kepalaku”
“tidak masalah, kau terlihat tampan dengan apapun”.
“Kurasa begitu, trimakasih paman”
“kau tampak seperti kapten kapal dari Kerajaan Inggris” puji Jim.
Anne tersenyum dari kejauhan, lalu ia mendekati Jim dan Rangsam.
“Kau terlihat hebat dengan seragam pelaut hitam mu”. Anne ikut memuji Rangsam.
“ya, kalian memujiku atau memuji pakaian bangsa kalian” Rangsam sedikit meledek.
“pakaian kami memang terlihat gagah” kata Anne “tapi aku belum pernah melihat orang Asia memakainya, dan ternyata cocok sekali padamu”.
“ku anggap itu perkataan yang tulus” jawab Rangsam.
“hey, jarang-jarang aku memuji seseorang” Anne sedikit kesal pada Rangsam. Rangsam hanya mengerlingkan mata, laut pergi ke arah popor kapal.
“Hai teman-teman, aku minta kalian berkumpul sebentar” Rangsam memanggil orang-orang yang ada di kapal.
“Baiklah, kalian sudah berkumpul, aku ingin menanyai kalian satu persatu, pertama paman Jim dan si pipi merah, paman, aku ingin bertanya, apalah kau memiliki peta?”.
“ya, aku punya”.
“bagus, dan tujuanmu adalah salah satu Kerajaan di Nusantara, betulkah?”
“ Em sebenarnya, aku ingin pergi ke Jepara, atau Sunda Kelapa, kami ingin memulai kehidupan baru di sana”.
“pilihan yang bagus paman, aku akan mengunjungimu jika kau sudah membuka kedai, pastikan makanannya halal”.
Dan kau Dewa Hui, ke mana tujuanmu?”.
“aku sama dengan tuan Jim dan putrinya, memulai hidup baru di Nusantara”.
“baiklah, sekarang tinggal kalian” Rangsam menoleh pada Boko, Kuka dan Musa.
“a.. a.. aku, i.. i... ingin, me... me...”
“berhenti Kuka” potong Rangsam, “biar Musa saja yang mewakili”.
“betul, biar aku saja Kuka, gagap mu akan memperlama”, Boko menertawakan Kuka, nampaknya kuka tidak senang dengan tertawaan Boko, akhirnya mereka berkelahi.
Rangsam mengambil dua butir biji salak dari kantung celananya, lalu disentil dan mengenai titik saraf Boko dan kuka, mereka berdua diam tak bergerak seperti patung.
“tenang saja, mereka akan pulih dalam beberapa jam, itu waktu yang cukup untuk mereka merenung dan menyesali sifat kekanak-kanakan mereka” Rangsam langsung menyelah sebelum yang lain panik dengan keadaan Boko dan kuka, Anne yang ingin protes harus kembali mengatupkan mulut.
“Musa, lanjutkan bicara mu”.
“baik tuan Rangsam, aku pertegas lagi, kami bertiga, tidak ingin ke mana-mana, kami hanya ingin mendampingimu saja, kami ingin berpetualang dengan mu, kami ingin berperang bersamamu, banyak hal di lautan ini yang belum kami ketahui. aku, Boko dan kuka sangat berterimakasih karena kau mau mengajak kami”.
Rangsam tersenyum, lalu ia mengeluarkan salak dari kantungnya, melemparnya ke Musa, “ini untukmu, tadi paman Abase yang memberi”.
Rangsam menarik nafas, ia menatap langit sebentar, lalu kembali berbicara. “baiklah, status kita sekarang sudah jelas, ada empat awak kapal tetap dan tiga awak kapal tidak tetap. aku Boko, kuka dan Musa adalah awak kapal tetap, sedangkan Hui, paman Jim dan pipi merah adalah awak kapal tidak tetap, sekarang kita bagi tugas”.
Rangsam mondar-mandir sambil melipat tangannya ke belakang. “aku dan Musa bertugas memancing ikan dan memantau sekeliling, mewaspadai ada serangan dari musuh. Hui bertugas menjadi juru kemudi kapal, Boko dan kuka menjaga keamanan dan kebersihan, sedangkan si pipi merah, bertugas di dapur, untuk paman Jim, lakukan Se-mau mu, aku tidak berani menyuruh orang tua”.
“aku bisa membantu Anne di dapur” Sahut Jim.
“baiklah, tugas sudah terbagi, kita harus mencari pelabuhan terdekat, karena kita semua sama-sama tidak tahu posisi kita berada, walaupun punya peta, rasanya hampir percuma”.
Rangsam menghampiri Jim, “tenang paman, kau akan hidup damai di tempat lain, aku mendoakanmu”.
“Terimakasih nak”.
***