Wira Pramana, seorang murid senior di Perguruan Rantai Emas, memulai petualangannya di dunia persilatan. Petualangan yang justru mengantarnya menyingkap sebuah rahasia di balik jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ilham Persyada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pil Darah Monster
Makhluk besar kecokelatan itu menatap Wira. Sulit untuk mempercayai bahwa itu adalah Barda, tetapi ciri dan perawakan Barda memang masih dapat dikenali, terutama oleh Mahendra dan Sularsa.
Wira mengamati makhluk yang ada di hadapannya. Seharusnya makhluk inilah sumber energi negatif yang mereka rasakan sebab energi yang serupa pun meluap-luap dari sekujur tubuhnya bagai asap.
Berdasarkan pengamatannya, Barda pasti telah mengonsumsi sebuah pil yang bernama pil darah monster, sejenis pil yang dapat meningkatkan kekuatan penggunanya.
Sesuai namanya, pil tersebut memang dibuat dengan cara mengekstrak darah monster. Orang biasa yang meminumnya akan mendapat kekuatan fisik yang jauh melewati batas manusia.
Apabila yang meminumnya adalah seorang pendekar, selain kekuatan fisik, kemampuan tubuh, dan tenaga dalamnya pun akan meningkat berkali-kali lipat dalam jangka waktu tertentu. Khasiat itu memang sangat menggiurkan bagi siapa saja yang menginginkan kekuatan.
Namun, risiko yang ditimbulkan oleh pil ini tak sebanding dengan keuntungan yang didapatkan darinya. Hal itu terjadi karena pada dasarnya komposisi tubuh manusia dan monster sangatlah berbeda.
Saat efek pil darah monster menghilang, organ dalam tubuh penggunanya, khususnya paru-paru, hati, dan jantung, akan mengalami kegagalan fungsi. Dengan tenaga dalam, seorang pendekar seharusnya memang dapat mengatasi efek samping tersebut, tetapi harga yang harus dibayarnya adalah kehilangan sejumlah masa hidupnya sendiri.
Wira tak menyangka Barda akan begitu nekat hingga memakai pil darah monster itu. Kemampuan Barda sebagai murid senior memang biasa saja, tetapi fondasi bela dirinya jauh lebih baik dibandingkan mereka yang berlatih secara sembarangan atau tanpa pembimbing.
Saat Wira mulai mengasihani nasib Barda, makhluk di hadapannya meledakkan aura negatif yang sangat kuat dan mengejutkan mereka bertiga. Kemudian, makhluk itu meraung dan menerjang Wira dengan beringas.
Wira yang tak pernah kehilangan kewaspadaannya pun menyambut serangan itu. Tangan kekar Barda membentur pedang Wira yang telah terlapisi tenaga dalam. Di bawah pengaruh pil darah monster, baik dari segi kekuatan maupun kecepatan, Barda dapat mengimbangi Wira.
Beberapa kali, pedang Wira berhasil melukai Barda, tetapi Barda bahkan tak terlihat kesakitan sebab luka yang didapatnya segera sembuh dengan kecepatan yang mengerikan. Wira mengubah taktiknya dengan lebih banyak melakukan tusukan. Ia dengan sengaja memberi tusukan pada tempat yang sama beberapa kali untuk mengetahui sejauh mana kemampuan regenerasi Barda saat ini.
Setelah beberapa waktu, taktik itu menunjukkan hasilnya. Wira dapat melihat luka di bagian atas pusar Barda membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh dibanding luka pada bagian tubuh lainnya.
‘Bara Selatan!’ Wira menggunakan bentuk ketiga dari teknik Pedang Delapan Mata Angin. Tusukan-tusukan dengan kecepatan tinggi mengincar bagian bawah tubuh Barda. Wira menjadikan bagian atas pusar Barda sebagai sasaran dari sebagian besar serangan itu.
Barda yang kewalahan pun mengerang kesakitan, tetapi tiba-tiba ia meraung sambil meledakkan aura negatif ke segala arah hingga Wira tak punya pilihan lain selain mundur dan mengambil jarak yang cukup jauh. Namun, saat Wira baru saja mendarat, sebuah energi pukulan yang dilepaskan Barda telah melesat ke arahnya.
Merasa terlambat untuk menghindar, Wira hendak menahan energi pukulan itu, tetapi sebuah tebasan pedang datang dari samping dan membuyarkan serangan energi pukulan tersebut.
Mahendra mendarat di depan Wira, “Terus ke utara, seperempat jam dari sini, di balik pepohonan bambu, ada sebuah tebing. Di bawah tebing itu ada gua yang kusebutkan tadi. Pergilah Wira, cari Ratnasari! Biar kami yang menghadapinya.”
Wira tertegun. Untuk sesaat, karena terlalu fokus pada lawannya, Wira melupakan kehadiran Mahendra dan Sularsa. Sekarang, selain Mahendra yang telah memasang badan untuknya, Wira pun melihat Sularsa sedang bertukar serangan dengan Barda.
Wira mengangguk, “Incar bagian atas pusarnya!” katanya kepada Mahendra sebelum bergegas menuju ke lokasi sesuai petunjuk temannya itu.
...***...
Bersama satu tim pencari yang terdiri dari 10 pendekar perguruan dan 10 Prajurit Suranaga, Nala tak dapat lagi menahan kegelisahannya. Ia menghampiri Harya Tama yang menjadi salah pimpinan tim itu dan menyampaikan apa yang seluruh informasi yang tadi diterimanya dari Mahendra.
Meskipun masih menyimpan rasa curiga terhadap Mahendra dan Sularsa, Nala yang sudah begitu mencemaskan keadaan Ratnasari tak dapat membayangkan jika sesuatu yang buruk juga harus menimpa Wira. Nala tak ingin kehilangan dua orang yang berarti baginya.
Harya Tama sempat terkejut, tetapi lelaki yang berada pada ranah pendekar daksa itu langsung mengambil tindakan. Ia meminta seorang pendekar dan seorang prajurit untuk mengabarkan informasi dari Nala kepada tim pencari lain yang berada paling dekat dengan mereka, lalu segera bergerak dengan Nala sebagai petunjuk jalan.
...***...
Wira tiba di mulut gua yang dimaksud oleh Mahendra. Samar-samar ia kembali merasakan hawa negatif dari dalam gua tersebut. Dengan pedang terangkat dan kewaspadaan penuh, Wira memasuki gua itu.
Sepuluh menit dari mulut gua, Wira akhirnya menemukan Ratnasari yang tak sadarkan diri tengah tergeletak di atas sebuah batu besar dengan permukaan datar.
“Ratna!”
Wira berlari mendekati Ratnasari, tetapi gemuruh disertai suara mendesis dan tekanan energi negatif membuat langkahnya terhenti. Dari balik batu besar itu, sesuatu tampak merayap mengitari area sekitarnya.
Wira mundur selangkah saat sesosok ular kobra raksasa bangkit dan menjulang di atasnya. Tubuh ular itu seukuran satu lengan bawah orang dewasa dengan panjang belasan meter. Sepasang taring mencuat, mengapit lidah bercabang yang menjulur keluar dari mulutnya.
Menggertakkan giginya, Wira menyadari Bardalah yang menyiapkan jebakan ini meskipun entah bagaimana caranya memanggil sesosok siluman ular yang kini harus ia hadapi. Saat Wira kembali menatap Ratnasari, siluman ular itu menelengkan kepala dan sepasang matanya yang berwarna merah menyipit.
Siluman ular itu mendesis kencang dan langsung menyerang Wira. Memanfaatkan Alas Angin untuk menghindari ular raksasa itu, Wira melesat, menggunakan dinding gua sebagai pijakan untuk melompat dan menebas siluman ular, ‘Cahaya Timur!’
Bentuk pertama Pedang Delapan Mata Angin itu membuat siluman ular terhenyak. Tubuhnya bergeser ke samping, tetapi kibasan ekornya menghantam Wira dari arah lain dan membuatnya jatuh berguling di lantai gua.
Wira baru saja bangkit, tetapi gerakan siluman ular tak kalah cepat darinya. Berhasil menghindar lagi, Wira memberi tebasan beruntun pada tubuh siluman ular, tetapi sisiknya terlampau keras dan membuat setiap serangannya terpental.
Bergerak secepat yang ia bisa, Wira berlari di atas tubuh siluman ular itu, mendakinya hingga berada di bagian belakang kepalanya dan melompat setinggi mungkin. Wira menggunakan langit-langit gua itu untuk menjejakkan kakinya dan melancarkan satu serangan, ‘Bayangan Senja!’
Wira mengalirkan sebagian besar tenaga dalam kepada pedangnya dalam serangan vertikal itu. Tusukannya menembus kulit siluman ular, tetapi tak cukup dalam untuk membuatnya tumbang. Siluman ular menggeliat dan memekik kesakitan, membuat Wira yang ada di atasnya terombang-ambing.
Tak ingin melepaskan peluang yang didapatnya. Wira bertahan sekuat tenaga. Sambil berteriak, ia melepaskan tenaga dalamnya dan menjejakkan sepasang kakinya pada kepala siluman ular, lalu membenamkan bilah pedangnya sedalam mungkin.
Energi negatif siluman ular itu meledak dan bertabrakan dengan luapan tenaga dalam Wira. Pekikan kesakitan siluman ular itu menggema di dalam gua seiring dengan gerakan tubuhnya yang semakin liar. Benturan energi dari keduanya membuat bilah pedang Wira hancur berkeping-keping, mengakibatkan dirinya terpelanting ke udara karena kehilangan tumpuan.
Dalam keadaan melayang di udara, Wira kembali melihat sosok Ratnasari yang tergolek lemah tanpa daya, dan tekatnya untuk menghabisi siluman ular itu pun semakin kuat. Wira kembali menjejakkan kakinya pada langit-langit gua dan menyongsong siluman ular itu kembali.
Pada saat bersamaan, siluman ular pun telah menghadap Wira dan membuka mulutnya untuk menembakkan sebuah cairan lendir beracun. Wira tahu ia tak dapat menghindari serangan cairan beracun itu. Maka, ia memutar tubuhnya dan menggunakan tenaga dalam untuk melapisinya.
Seperti pusaran angin yang kencang dan tajam, Wira melesat dan menghantam kepala siluman ular dengan kedua tinjunya. Sebuah gelombang energi menyebar ke segala arah akibat benturan tersebut, disusul gemuruh yang mengiringi ambruknya siluman ular ke dasar gua.
Di atas kepala siluman ular yang kini tak lagi bergerak itu, Wira duduk dan menopang tubuh dengan kedua tangannya. Baru saja ia hendak menarik napas lega, seisi gua bergetar dan bergemuruh. Serpihan tanah dan bebatuan yang jatuh pun menandakan bahwa tak lama lagi gua itu akan runtuh.