Gricelin Noah Fallon ingin merayakan ulang tahun Calon Tunangannya Harley Gunawan dihotel, tak disangka Harley yang ditunggu tidak datang dan malah tiga pria lain yang masuk ke dalam kamar hotel yang dia pesan.
Dia yang sudah diberikan obat perangsang oleh ibu kandungnya tidak bisa menolak sentuhan pada kembar dan sangat hebat diatas ranjang.
Tak disangka, semua hal yang terjadi malam itu adalah konspirasi ibu kandungannya Marina Fallon, yang ingin menghancurkan hidupnya dan membuat Harley berpaling pada anak tirinya Diandra Atmaja.
Semua itu, ibunya lakukan untuk mendapatkan cinta dari suami dan anak tirinya.
Tapi takdir berkata lain, Gricelin yang hamil anak ketiga kembar itu malah dicintai secara ugal-ugalan, bahkan ketiga kembar itu membantunya balas dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitria callista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33
Rava dan beberapa agen yang dia sewa, bisa membuka cctv area rumahnya yang sebelumnya sempat diblokade.
Sebagai sahabat Jordan, tentu saja sia tahu code coding milik Jordan.
Jadi dia bisa dengan mudah menebak, orang yang manghancurkan cctv area rumahnya adalah Jordan.
Melihat ekspresi terkejut Jordan, Rava bisa menebak.
Jika Jordan melakukannya atas perintah Angel.
Selain Rivan yang sudah tahu topeng Angel.
Rava sebenarnya sudah mengetahuinya, walaupun Angel tidak membuka topengnya didepannya.
Tapi seseorang dari keluarga Angel yang memberitahunya.
Tentang rencana jahat Angel yang ingin menguasai seluruh harta miliknya.
Awalnya Rava berusaha untuk tidak percaya, tapi dengan bebarapa bukti yang ditunjukkan oleh salah satu keluarga Angel.
Tatapannya berubah suram.
"Jordan, kamu itu sahabatku! Jangan hanya seorang wanita persahabatan kita menjadi rusak," suara Rava bergetar penuh emosi, matanya menatap Jordan dengan tatapan yang dalam.
Jordan, yang merasa terpojok, menundukkan kepala. "Aku tahu tentang perasaanmu ke Angel, bahkan aku merestui kalian. Tapi, aku sama sekali tidak pernah menyukai Angel. Jangan membuang waktumu untuk membantunya," lanjut Rava, suaranya meninggi, seakan menahan marah.
Sekarang, Rava mendekatkan wajahnya ke wajah Jordan, tatapannya semakin tajam. "Sekarang aku tanya, dimana kamu membawanya setelah menculik Gricelin?" desaknya, hampir berbisik namun terdengar mengancam.
Jordan yang sudah ketahuan, menghela napas berat, matanya masih tertunduk, suaranya serak, "Dia... aku tinggal di kota selatan."
Tak ayal lagi, Rava yang mendengar pengakuan itu langsung memukul Jordan.
Pukulan keras mendarat di pipi Jordan, membuatnya terhuyung ke belakang. Suasana menjadi tegang, udara seolah membeku di antara mereka berdua.
Jordan langsung bersujud di bawah kaki Rava.
"Rava, aku mohon tolong maafkan aku! Angel terlihat kasihan jadi aku membantunya," kata Jordan dengan suara bergetar.
Rava berjongkok, wajahnya terlihat sangat menakutkan.
Belum pernah, Jordan melihat ekspresi Rava semenakutkan sampai seperti ini.
Jordan menelan ludahnya yang kelu, semua orang di kota Alaska tahu betapa dermawannya Rava.
Tapi kekejaman Rava sudah dalam taraf psikopat jika dia marah pada seseorang.
"Sekarang aku tanya sekali lagi padamu? Apakah kamu dan Angel, orang yang sbelumnya ingin meracun Gricelin dan menghancurkan mentalnya saat di rumah sakit?"
Jordan kembali terpojok, dia ingin menolak semua tutuhan yang sudah diucapkan oleh Rava.
Tapi, dia tahu Rava bukanlah orang yang asal menuduh kalau tidak mempunyai bukti.
Jadi dia hanya bisa mengakui kejahatan yang dia perbuat.
"Iya, aku mengaku salah Rava. Hal itu aku lakukan karena Angel terus menangis sedih, aku ... Aku merasa nggak tega."
Wajah Rava semakin suram dan terlihat sangat menyeramkan.
Rava kembali meninju Jordan, lalu memanggil satpam diperusahaan miliknya.
Dia mengusirnya.
"Mulai sekarang dan sampai kapanpun. Kamu dan Angel bukan lagi sahabatku, dan kalian berdua tidak akan bisa mencari perkejaan dikota Utara dan Alaska." ucap Rava dengan suara tidak terbantahkan.
Jordan menggeleng.
Rava menambhakan, "aku juga akan mencabut semua investasiku dikeluargamu dan aku pastikan seluruh keluargamu akan dijauhi para pengusaha lain."
Jordan melepaskan tangannya dari kedua satpam.
Ingin kembali bersujud di kaki Rava, tapi Rava menempisnya.
"Rava aku mohon maafkan aku. Aku akan menebus kesalahanku dengan melakukan apapun. Tolong kamu ampuni aku!" Jordan menangis.
Rava tidak peduli. "Usir dia!"
Semua orang diperusahaan Rava nampak bingung, mengingat Rava dan Jordan adalah sahabat.
Biasanya Jordan selalu mendapatkan perlakuan istimewa dari Rava.
Lalu Rava langsung pergi ke parkiran, dia ingin langsung pergi ke bandara.
Tak lupa ia menelpon asisten pribadinya untuk membawakan semua perlengkapannya identitasnya.
Rava langsung pergi ke kota Selatan tanpa membuang banyak waktu.
Di bandara yang ramai, Dylan terengah-engah berlari sambil memegang tas yang berisi seluruh dokumen penting Rava.
Wajahnya memucat, matanya melirik ke arloji tangan setiap beberapa detik, takut terlambat untuk rapat yang mendesak.
"Tuan, ada banyak sekali rapat penting hari ini!" suaranya terdengar khawatir.
Rava, dengan mata yang berbinar, menghentikan langkahnya sejenak, menoleh ke Dylan dengan senyuman yang merekah.
"Tunda saja! Aku sudah menemukan dimana Gricelin." ucap Rava, semangatnya membara saat menyebut nama Gricelin, seolah-olah semua kegelisahan yang ada menguap saat itu juga.
"Kamu ikut denganku ke kota Selatan!" lanjut Rava, nada suaranya tak terbendung oleh kegembiraan.
Dylan, yang sudah lelah dengan pencarian yang melelahkan beberapa hari ini serta tekanan pekerjaan, hanya bisa mengangguk pasrah.
Sudah beberapa hari ini, kantor pusat menjadi kacau balau; rapat terpaksa ditunda, proyek tertunda, hanya karena calon istri Rava, Gricelin, menghilang secara misterius.
Kini, dengan harapan baru terpatri di wajah Rava, Dylan tahu bahwa tidak ada yang lebih penting bagi bosnya itu selain menemukan Gricelin.
Meski berat, Dylan siap mendampingi Rava, mengarungi ribuan mil ke selatan, demi sebuah reuni yang mungkin akan mengubah segalanya.
*****
Gricelin pagi ini menyiapkan sarapan untuk Deris dengan menggunakan pakaian pelayan yang sexy.
Deris sebenarnya hanya ingin mengerjai Gricelin untuk masak makanan untuknya, karena kata Jordan dan Angel, gadis itu memiliki kepribadian yang sangat buruk.
Dan pakaian sexy itu, sebenarnya saran dari Angel.
Dia juga terkenal sebagai gadis frontal dan attitude buruk yang terkenal dikota Utara.
Walaupun Deris belum memastikan dan belum mencari tahunya sendiri, tapi tidak mungkin juga bukan? Kalau Angel dan Jordan yang sudah dia anggap sebagai keluarga sendiri membohonginya.
Gricelin menyajikan nasi goreng seafood diatas meja makan, tepatnya didepan Deris.
Deris menaikkan satu alisnya penuh minat saat menatap Gricelin.
Ditambah masakan Gricelin memiliki aroma yang menggoda.
"Tuan maaf, hanya makanan ini yang bisa saya sajikan. Karena bahan-bahan dikulkas sangat terbatas," jelas Gricelin.
Jordan mengangguk dan mulai memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya.
Rasanya sangat enak, Jordan langsung menghabiskannya sampai tandas.
Gricelin pamit ingin pergi ke kamar, karena sekarang ini dia merasa mual.
"Kamu segera bersihkan kamarku!" Ucap Jordan..
Gricelin mengangguk.
Ponsel Deris terus berdering, nama penelponnya adalah Jordan. Tapi dia mengabaikannya.
Dari belakang Dia yang melihat pakaian sexy Gricelin benar- benar tidak tahan.
Mengingat bebarapa hari ini dia sampai tidak bisa tidur pulas.
Gricelin yang sudah selesai muntah menghela napas pelan, tangannya gemetar saat mengusap permukaan meja yang penuh debu.
Baju pelayan yang dikenakannya terasa begitu ketat dan memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan tak nyaman—jahitan tipis yang disodorkan Jordan semalam benar-benar membuatnya merasa seperti objek.
Ia sering mengoreksi posisi pakaian itu, berusaha menutupi diri tapi sia-sia.
Bayangan tangan Jordan yang kemarin meremas pinggangnya tiba-tiba muncul kembali, membuat dadanya sesak dan jantungnya berdetak tak beraturan.
“Sudahlah, kamu cuma pelayan sekarang,” gumamnya lirih, mencoba menenangkan diri meski takut itu terus menggerogoti hati.
Saat Gricelin hendak naik ke kasur, langkahnya terhenti.
Tiba-tiba tubuh berat Jordan menindihnya tanpa aba-aba.
Matanya membelalak, tubuhnya kaku seperti beku, ketakutan membanjiri seluruh pikirannya.
Ia menahan napas, tak berani bergerak, berharap momen itu segera berlalu.
Namun, dalam diamnya, ia merasakan rasa malu dan kehampaan yang mengakar, seolah kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Gricelin menundukkan kepala, menekan tangan ke dada, berusaha mengusir perasaan terperangkap yang semakin dalam.
Ia tahu, sekarang ia tak punya pilihan selain pasrah pada kenyataan yang menyesakkan itu.
"Tolong lepaskan!" Rintihnya.