Sebuah kisah tentang cinta yang berubah menjadi jeruji. Tentang perempuan yang harus memilih: tetap dalam pelukan yang menyakitkan, atau berjuang pulang ke dirinya sendiri.
Terjebak di Pelukan Manipulasi menceritakan kisah Aira, seorang perempuan yang awalnya hanya ingin bermitra bisnis dengan Gibran, pria karismatik .
Namun, di balik kata-kata manis dan janji yang terdengar sempurna, tersembunyi perangkap manipulasi halus yang perlahan menghapus jati dirinya.
Ia kehilangan kontrol, dijauhkan dari dunia luar, bahkan diputus dari akses kesehatannya sendiri.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah bagaimana seseorang bisa dikendalikan, dikurung secara emosional, dan dibuat merasa bersalah karena ingin bebas.
Akankah Aira menemukan kekuatannya kembali sebelum segalanya terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nandra 999, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab - 9 Sunyi yang Paling Bising
Kadang yang paling menyakitkan bukan pukulan… tapi saat tidak ada satu pun yang bertanya, “Apa kamu baik-baik saja?”
Sudah seminggu berlalu sejak Gibran memukul ku lagi .
Bekasnya memang sudah hilang dari kulit,
tapi tidak dari ingatan.
Yang aneh, justru bukan rasa sakitnya—tapi sunyinya rumah ini setelah kejadian itu.
Tak ada yang menanyakan apa-apa. Termasuk anak-anaknya.
Keempat anak lelaki dari pernikahan sebelumnya, semuanya sudah dewasa.
Tinggal di rumah yang sama, tapi seperti hidup di dunia masing-masing.
Jarang bicara, ada sibuk dengan pekerjaannya, dan ada lagi yang sering keluar malam.
Saat aku lewat di ruang tengah, tak ada yang menyapa.
Bukan karena benci, tapi mungkin... karena sudah terbiasa diam.
Mereka tahu aku sedang tidak baik-baik saja. Tapi memilih tak ikut campur.
Sunyi paling bising adalah ketika orang melihatmu menderita… tapi memilih diam.
Aku mulai merasa tidak hanya sendirian… tapi benar-benar tak terlihat.
Malam itu, aku duduk di dapur lebih lama dari biasanya. Hanya menatap lampu gantung yang berkedip-kedip.
Hidupku sekarang seperti lampu itu: remang, tergantung, dan kapan saja bisa padam.
Ia—laki-laki itu—baru pulang tengah malam.
Bau rokok menyelimuti tubuhnya. Suaranya berat saat membuka pintu.
“Kamu belum tidur?” tanyanya. Bukan dengan peduli, tapi dengan nada curiga.
“Belum ngantuk,” jawabku singkat.
Dia duduk di kursi dapur, lalu berkata, “Besok kamu beresin kamar anak-anak. Katanya berantakan.”
Aku ingin protes. Itu bukan tugasku. Tapi aku tahu, membantah berarti memicu pertengkaran.
Jadi aku hanya mengangguk.
Begini rasanya menjadi ‘penghuni’ di rumah sendiri. Seperti pembantu yang tidak digaji, dan kekasih yang tidak dicintai.
Esok paginya, aku mulai membersihkan kamar anak-anaknya. Kamarnya besar-besar, tapi dingin. Tidak seperti kamar keluarga — lebih mirip tempat singgah. Semua serba fungsional, tak ada sentuhan kehangatan.
Di salah satu kamar, aku mendapati tumpukan cucian kotor, bekas makanan di sudut meja, dan abu rokok di dalam kaleng kosong. Aku menghela napas pelan. Bukan karena malas, tapi karena aku merasa… bukan ini seharusnya hidupku.
Aku pernah punya usaha kecil di kampung. Aku dulu bisa menentukan waktu sendiri, memilih pekerjaan yang kusuka. Tapi di sini, semuanya dipaksa. Aku bekerja bukan karena ingin, tapi karena harus. Karena jika tidak, aku tahu akan ada keributan. Atau bahkan tangan itu bisa kembali terangkat.
Saat sedang menyapu, salah satu anaknya masuk. Namanya Rio. Usianya sekitar 22 tahun, pendiam, selalu menunduk saat bicara.
Dia melihatku sebentar, lalu hanya berkata pelan, “Makasih, Mbak.”
Aku menoleh dan tersenyum kecil, “Iya…”
Dia pergi lagi. Itu saja.
Kadang, kata ‘makasih’ dari seseorang yang bahkan bukan keluargamu… bisa terasa seperti pelukan kecil di tengah dinginnya dunia.
Tapi di sisi lain, aku juga sadar — mereka semua tahu, mereka melihat, mereka mendengar. Tapi tidak ada yang bertanya, tidak ada yang menyela. Dan justru karena itu, luka batinku makin menganga.
Siangnya, aku duduk di belakang rumah. Ada pohon pisang dan bangku panjang dari semen. Tempat itu sering kupakai untuk sekadar bernapas.
Aku menatap langit.
“Kalau hari ini aku pergi… akankah ada yang mencariku?”
Lalu aku langsung menjawabnya sendiri dalam hati: “Mungkin tidak.”
Aku mengeluarkan ponsel dan mulai menulis pesan ke teman lama.
“Halo… kamu sehat?” “Kalau suatu hari aku cerita hal gak enak, kamu masih mau dengar, kan?”
Tapi kuketuk tombol kembali. Tak jadi kukirim.
Aku terlalu takut membuka aib. Takut disebut bodoh karena bertahan. Padahal aku hanya ingin seseorang tahu, aku tidak baik-baik saja.
Malamnya, saat semua sudah tidur, aku terbangun karena mimpi buruk. Dalam mimpiku, aku berada di kamar kosong, dikunci dari luar. Aku berteriak, tapi suaraku tak keluar.
Aku terbangun dengan peluh dingin. Napasku memburu.
Itulah bentuk trauma. Saat tubuhmu mengingat rasa takut, bahkan saat kamu tidur.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu bangkit mengambil buku kecilku lagi. Di sana, kutulis:
“Aku bukan lagi Aira yang ceria. Tapi aku juga belum jadi Aira yang hilang.”
“Aku masih di sini. Bertahan, meski tiap hari rasanya seperti tenggelam.”
Keesokan harinya, aku sengaja berdiri lebih lama di halaman rumah. Sekadar merasakan sinar matahari di kulitku. Sudah lama aku tak berani keluar pagar. Tiap kali bilang ingin keluar sebentar, jawabannya selalu sama:
“Mau ngapain sih keluar-keluar? Cari masalah ya?”
Hari itu, dia keluar dari rumah, memicingkan mata ke arahku.
“Masih pagi kok udah keluyuran depan rumah? Jangan bikin tetangga ngomong!”
Padahal tak ada yang kulakukan kecuali berdiri.
Bahkan berdiri pun dianggap kesalahan.
Aku masuk lagi, seperti anak kecil yang dimarahi.
Dan di dalam kamar, aku kembali menyendiri.
Tapi hari itu, dalam hati kecilku… Aku mulai menyiapkan sesuatu. Bukan lari, tapi perlindungan.
Karena aku tahu… semua ini tak akan berhenti.
Hari mulai gelap, tapi aku tetap duduk di lantai kamar tanpa menyalakan lampu.
Aku tak ingin melihat diriku di cermin. Tak ingin melihat dunia luar. Aku hanya ingin tenggelam dalam sunyi.
Tapi anehnya, di dalam kesunyian itu, aku mulai bisa mendengar sesuatu yang selama ini terpendam — suara hatiku sendiri.
“Aira, kamu berhak bahagia.”
“Ini bukan salahmu.”
“Kamu tidak harus terus bertahan hanya karena takut ditinggal.”
Aku mulai menulis kalimat-kalimat itu dalam buku kecil.
Bukan sebagai mantra, tapi sebagai pernyataan. Aku ingin mengingatnya saat aku lupa siapa diriku.
Di luar kamar, aku mendengar suara ketukan pintu utama. Salah satu anaknya datang bersama temannya. Terdengar tawa dari ruang tamu.
Mereka tertawa, bercanda, seolah rumah ini adalah tempat yang nyaman.
Lucu, ya. Dalam rumah yang sama, ada yang bisa tertawa lepas…
dan ada yang hanya bisa menangis diam-diam di balik pintu.
Tapi hari ini berbeda.
Bukan karena keadaannya berubah,
tapi karena aku… mulai berani berharap.
Esoknya, aku mulai menyimpan uang receh dari sisa belanja dapur.
Sedikit demi sedikit, kuletakkan dalam kotak kecil di bawah lemari pakaian.
Aku tak tahu akan cukup atau tidak. Tapi aku tahu — aku butuh cadangan harapan.
Sebab ketika rasa sakit datang lagi… aku ingin punya pilihan.
Pilihan untuk pergi. Pilihan untuk bebas.
Pilihan untuk menjadi diriku sendiri lagi.
Malam itu, sebelum tidur, aku menyalakan suara hujan dari aplikasi ponselku.
Bukan karena aku ingin tidur nyenyak — tapi karena aku tak ingin terdengar kalau aku menangis.
Tangisku hari itu nyaris tanpa suara.
Air mata jatuh begitu saja, membasahi bantal.
Aku tidak tahu untuk siapa aku menangis — untuk diriku yang dulu?
Atau untuk diriku yang sekarang masih terus bertahan di tempat yang salah?
Yang pasti, aku tahu... ini bukan mimpi buruk.
Ini kenyataan.
Tapi aku belum kalah.
Karena esok hari masih akan datang. Dan aku masih ada di sini — bernapas, berharap, dan perlahan menguat.