Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA12
“Ini sudah psikiater yang keenam!”
Jacob menutup wajahnya, menghela napas panjang, bukan karena beban pekerjaan, melainkan karena menghadapi bosnya yang nyaris gila karena cinta. Ia menyandarkan tubuh lelahnya di sofa.
“Dreet!”
Ponselnya bergetar. Nama Keyla Andrew muncul di layar.
“Jacob!” seru Keyla dengan nada tinggi.
“Saya, Nona!”
“Kenapa akhir-akhir ini Alan sering membatalkan pertemuan? Saya tidak mungkin bisa terus menutupi jadwal-jadwal pentingnya!”
“Dia… hampir gila, Nona. Gila karena cinta.”
“Apa?” Keyla terbelalak dari layar ponsel.
“Maksudmu Maya?” tanya Keyla memastikan.
“Benar!” jawab Jacob tegas, tanpa ragu.
“Hari ini saja saya sudah memanggil enam psikiater berbeda, hanya untuk membujuknya agar bisa berpikir jernih lagi. Saya… hampir menyerah.”
“Aneh!" gumamnya sang kakak, lagi-lagi Keyla tidak yakin itu Alan "Baiklah." Saya akan atur jadwal ke Jakarta!”
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Psikiater terakhir keluar dengan langkah tergesa.
Jacob langsung menghampirinya.
“Dok, bagaimana...”
“Saya menyerah,” potong dokter itu sambil mengangkat tangannya. “Tidak perlu membayar saya hari ini.”
“Tapi...?”
“Selamat tinggal.”
Ia langsung meninggalkan kantor, tidak ingin menoleh.
Tidak lama kemudian, Alan keluar dengan santai seperti tidak ada masalah. Jacob menunduk hormat.
“Maaf Pak,… saya sudah berusaha memanggil para psikiater terbaik di negeri ini.”
Alan duduk di kursinya, menyalakan rokok sambil tersenyum miris.
“Keenam psikiater itu bilang aku terserang... Jatuh cinta akut.”
“Terus?” Jacob bingung.
“Memangnya ada penyakit begitu?” tanya Alan dengan wajah bertanya-tanya.
“Ehm… saya kurang tahu, Pak.” Jacob menggeleng.
“Yang lebih gilanya, mereka semua menyuruhku menikah dengan Maya. Katanya itu satu-satunya solusi.”
“Mungkin... memang itu solusinya?” jawab Jacob pelan.
“Kalau begitu, kamu sama bodohnya dengan mereka! Gimana nanti kalau aku benar-benar gila setelah menikahi Maya? Banyak masalah, pekerjaan tidak terkendali, lagi-lagi memanggil pengacara buat urus perceraian, sangat ribet jacob?” curhat Alan.
“Tapi sekarang pun, tanpa menikahi Maya... Tuan sudah seperti orang gila, waktu habis hanya untuk memikirkan Maya,” Jacob terpaksa berkata jujur. “Bahkan, RVC kehilangan puluhan tender karena kita terus menolak pertemuan bisnis!”
Alan berdiri penuh semangat.
“Oke, hari ini aku akan melupakan Maya. Dia hanya perempuan biasa, Atur jadwal meeting berikutnya.”
“Siap, Pak!” Jacob lega, tersenyum kecil.
“Akhirnya sembuh juga…” gumam Jacob
dalam hati.
“Saya janji, akan mencarikan wanita yang lebih hot, lebih cerdas, dan tentunya bisa memenuhi semua hasrat Tuan Alan Andrew!”
“That’s right. Hahaha…”
Alan tertawa, tapi tawanya palsu. Hatinya belum lepas dari siksaan itu.
“Laporan hari ini?”
Jacob membuka tabletnya.
“Dari tim Intelijen Cyber RVC.”
Alan mulai fokus ke layar laptopnya. Sambil mendengar asistennya berkata:
“Pemilik email women23@gmail.co.id terkonfirmasi sebagai Maya Puspita. Dia sedang mengirim lamaran kerja ke berbagai perusahaan di Jakarta.”
Alan terdiam. Otaknya berpikir tajam.
“Diam-diam dia ingin kembali ke Jakarta?” gumamnya.
“Next,”
“Tunggu.” Alan mengangkat tangannya.
Jacob menyesal.
“Aduh, seharusnya aku skip soal ini. Agar ia tidak mengingat Maya kembali.”
“Lacak. Perusahaan mana yang menerima lamarannya,” pinta Alan.
“Belum ada panggilan, Pak.”
Alan menyender ke kursi, tersenyum sinis.
“Sudah kuduga. Dia pikir cari kerja itu mudah? Mana mungkin Ardi mengembalikan semua harta pemberianku. Butuh, tapi sok jual mahal!”
“Abaikan saja, Pak. Next?” ucap Jacob.
“Tunggu.”
Alan terdiam sejenak, namun senyumnya perlahan tumbuh. Hatinya menari-nari. Ada kegembiraan yang sulit diungkapkan.
“Panggil Maya kembali. Gunakan atas nama anak perusahaan RVC. Interview terakhir harus bersamaku,” pesan Alan.
Jacob terdiam.
“Muter lagi,“Tadi, baru juga bilang melupakan…” gumamnya merasa kesal.
“Sebaiknya jangan, Pak. Bapak bisa CLBK.” pesan Jacob mengingat Alan.
“Bukan, kita masih butuh staf sekretaris umum sekaligus, aku hanya ingin tahu seberapa kuat dia menolak tawaran kembali bekerja di RVC. Dia pasti butuh uang," gengsi Alan masih setinggi angkasa.
“Tapi...” Jacob ingin kembali memberikan saran.
Dengan cepat Alan memotongnya.
“Siapa bos di sini, hah? Aku atau kamu?”
Mata Alan menatap tajam. Jacob tak bisa membalas.
“Baik, dilaksanakan," angguk Jacob tidak berani membantah.
“Laporan berikutnya?” Jacob membacakan.
“Laporan datang dari keuangan. Tim Finance melaporkan Ardi Ibrahim. Orang tua Maya, mengembalikan dana 3,5 miliar rupiah.
Ada catatan:
"Saya mengembalikan aset milik Alan Andrew berupa kebun, rumah, kendaraan, perhiasan. Kami berhasil menjual semuanya dalam waktu dua bulan."
Alan terdiam. Rahangnya mengeras.
“Mereka… mengembalikan semuanya?”
Suara Alan pelan, penuh rasa tidak percaya.
“Kalau begitu, mereka tinggal di mana?” tanya Alan penasaran.
“Di rumah kontrakan kecil, di sudut desa, Pak!"
Alan terdiam lagi. Hatinya bergolak. Ia tiba-tiba teringat pesan almarhum ayahnya:
“Jika suatu hari nanti kau bertemu seseorang dia terlahir dari keluarga yang tidak memandangmu karena harta, perjuangkan dia. Jika boleh, jadilah bagian darinya. Karena mereka adalah manusia pilihan, berharga, dan berprinsip.”
Alan bangkit, gelisah. Ia kembali menyalakan rokok, menatap jendela dengan pandangan kosong.
“Laporan selanjutnya, Pak?” kata Jacob kembali membuka berkas online berikutnya.
“Aku ingin sendiri."
“Baik, Pak.”
Jacob berbalik, hendak keluar.
“Jacob.”
“Iya?”
“Aku tunggu kehadiran Maya. Secepatnya.”
“Siap, dilaksanakan!”
Jacob keluar dengan gelengan kepala.
“Cinta memang error.” gumamnya, pelan.
--
Akhirnya, CV Maya mendapat respons dari beberapa perusahaan yang ia lamar. Setelah melalui ujian kecil dan wawancara daring, satu per satu memberikan kabar baik.
Beberapa jam kemudian, Maya bersorak kegirangan saat seorang HRD menelepon dan menyatakan dirinya lulus dengan satu syarat: ia harus mengikuti wawancara terakhir bersama pejabat tinggi perusahaan.
"Baik, Pak. Dalam dua hari ke depan saya akan hadir untuk interview terakhir," jawab Maya mantap.
"Baik, kami menunggu kehadiran Ibu Puspita," ucap HRD itu sebelum menutup telepon.
"Terima kasih!" seru Maya penuh semangat. Ia langsung melompat ke atas kasur, menari-nari kegirangan seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan impian.
"Tantangan berikutnya… harus bisa membujuk Bapak!" gumamnya sambil mengeluarkan koper mini dan mulai menyiapkan pakaian secukupnya untuk beberapa hari di Jakarta.
--
kalau Maya nanti benar2 pergi dari Alan,bisa jadi gila Alan.
begitu pengorbanan seorang kakak selesai maka selesai juga pernikahannya dengan alan
emang uang segalanya tapi bukan begitu juga