Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Pagi itu terasa sedikit sendu di rumah kontrakan Grilyanto dan Sri di Bumiarjo. Matahari baru saja naik, menyinari halaman kecil dengan cahaya keemasan. Aroma teh hangat buatan ibu Grilyanto tercium dari dapur, dan suara riang Pramesh terdengar dari ruang tengah, berceloteh dengan Joni yang sedang membantu merapikan koper.
Hari itu menandai berakhirnya kebersamaan mereka selama seminggu di Surabaya.
Meskipun lelah, keluarga dari Magelang merasa senang bisa menjenguk Sri yang masih dalam masa pemulihan, serta menikmati waktu dengan cucu mereka, Pramesh.
Suasana rumah terasa hangat dan ramai dalam kebersamaan yang sederhana.
Sri duduk bersandar di tempat tidurnya, mengenakan daster hijau muda, sementara ibu Grilyanto duduk di sampingnya, menggenggam tangannya.
Ada keheningan sejenak sebelum ibu berkata lirih,
“Ibu pulang ya, Sri. Kamu jaga kesehatan. Jangan banyak pikiran.”
“Terima kasih sudah ke sini, Bu. Sri benar-benar merasa kuat karena ada Ibu dan Mbak Nanik.”
Grilyanto sedang di depan rumah, membantu memasukkan barang-barang ke dalam mobil sewaan yang akan membawa keluarganya kembali ke Magelang.
Pramesh yang sudah berpakaian rapi dengan gaun merah muda dan bando kecil di kepalanya, berlarian kecil menuju Sri, lalu memeluk ibunya erat.
“Ma, ikut simbah yaa…” ucapnya dengan logat lucu.
Sri mengelus rambut Pramesh, lalu mencium pipinya berkali-kali.
Hatinya berat, tapi ia tahu ini demi kebaikan putrinya dan demi kesehatannya sendiri.
Grilyanto masuk ke dalam rumah dan duduk di samping Sri, menggenggam tangannya erat.
“Nanti tiap minggu kita telepon, ya. Kalau kamu sudah lebih kuat, kita jemput Pramesh lagi,” ujarnya lembut.
Sri mengangguk sambil menyeka air matanya.
Setelah semua siap, mereka pun berpamitan. Pelukan, ucapan terima kasih, dan doa mengalir di depan pintu.
Mobil perlahan melaju, meninggalkan rumah kecil itu dengan jendela yang masih terbuka, tempat Sri berdiri melambaikan tangan sambil menyeka pipinya yang basah.
Langkah-langkah kecil Pramesh kini kembali ke Magelang, ke rumah yang penuh kasih sayang dan kerinduan neneknya.
Sementara Sri dan Grilyanto menatap hari-hari ke depan dengan semangat yang baru membangun kembali kekuatan untuk masa depan yang lebih tenang, sambil menanti saat mereka bisa kembali berkumpul bersama putri kecil mereka.
Senja perlahan turun di langit Bumiarjo. Rumah kecil di pojok gang itu kembali sepi, hanya suara televisi yang menyala pelan dan deru kipas angin yang berputar perlahan menemani keheningan sore.
Setelah kepergian keluarga dari Magelang, rumah itu kembali hanya dihuni dua hatibGrilyanto dan Sri.
Di ruang tengah, Sri duduk bersandar di kursi panjang, selimut tipis menutupi kakinya. Wajahnya terlihat letih namun damai, seolah sedang memproses perasaan yang masih bergemuruh. Grilyanto berjalan pelan dari dapur, membawa segelas susu hangat dan duduk di sebelah istrinya. Diletakkannya gelas itu di meja kecil, lalu meraih tangan Sri.
“Ma…” panggilnya lembut.
Sri menoleh, matanya bertemu dengan mata suaminya yang penuh kasih.
“Kita sekarang tinggal berdua lagi. Tapi kamu nggak boleh sedih. Kamu harus semangat ya, Ma. Demi kamu, demi adik Pramesh yang masih di perut,” ucap Grilyanto sambil menggenggam tangan Sri lebih erat.
Sri mengangguk pelan, matanya kembali berkaca-kaca.
“Aku kangen Pramesh, Pa. Tapi aku tahu, ini yang terbaik. Aku akan kuat.”
Grilyanto tersenyum, lalu menyentuh pipi istrinya.
“Papa juga kangen. Tapi Papa senang lihat Mama berjuang. Kita harus sehat, supaya nanti bisa kumpul lagi. Lengkap, Papa, Mama, dan anak-anak kita.”
Sri tersenyum kecil. Tangannya membelai perutnya yang sudah mulai membesar.
“Adik, dengar ya… Mama janji akan jaga kamu. Kita akan kuat bersama Papa.”
Dalam hening yang hangat itu, Grilyanto memeluk istrinya, membiarkan semua rasa bercampur dalam dekapan yang menenangkan.
Malam itu udara Surabaya terasa gerah. Angin malam seolah enggan berhembus, menyisakan suasana yang pekat dan berat. Di dalam rumah kecil mereka di Bumiarjo, Sri baru saja selesai mengganti perban di kakinya yang sempat bengkak karena kelelahan. Grilyanto tengah menyiapkan air hangat di dapur ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu bertubi-tubi.
Tok tok tok!
“Assalamualaikum! Sri! Ini Ibu!”
Sri tersentak. Ia mengenali suara itu. Ibu Mariyati, ibunya sendiri.
Grilyanto segera menghampiri pintu dan membukanya. Di depan sana, berdiri ibu Mariyati dengan wajah tegang dan nada bicara yang langsung meninggi.
“Sri! Bagaimana bisa kamu diam saja? Heri hilang lagi! Kamu ini ibunya, kenapa kamu malah membiarkan begitu saja?”
Sri tertegun sejenak, lalu berdiri dengan tertatih dan menahan emosinya.
“Ibu aku sudah terlalu lelah. Aku malu, Bu. Malu sama suamiku. Sudah berapa kali Heri mencuri? Bukan hanya uang, tapi juga kepercayaan. Gril selalu sabar, tapi sampai kapan?”
Ibu Mariyati melangkah masuk, emosinya tak bisa ditahan.
“Lho, kamu ini ibu! Masa kamu menyerah? Heri itu anakmu, bukan orang lain! Kamu pikir nanti Grilyanto akan terus sabar kalau kamu terus mengabaikan anakmu?”
Grilyanto yang mendengar pertengkaran itu dari dapur berjalan pelan ke ruang tamu. Wajahnya tenang, tapi ada gurat lelah di matanya.
“Ibu… maaf. Ini bukan salah Sri sepenuhnya. Saya yang bilang ke dia untuk fokus ke kesehatannya dan ke bayi kami. Heri sudah dewasa. Kami sudah mencoba. Saya sendiri pun sudah memperlakukannya seperti anak saya. Tapi... dia memilih jalannya sendiri.”
Sri menunduk. Air matanya jatuh satu-satu.
“Ibu, aku sudah kehilangan banyak. Aku hanya ingin menjaga apa yang tersisa. Suamiku, anakku yang di kandungan. Aku bukan tidak peduli sama Heri, tapi aku tak tahu lagi harus bagaimana. Setiap kali dia datang, selalu membawa luka baru.”
Ibu Mariyati perlahan terdiam dan amarahnya mulai mencair melihat anaknya menangis seperti itu. Ia duduk di sofa, napasnya terengah karena emosi.
Grilyanto berjalan ke arah Sri, memeluk bahu istrinya.
“Sudah, Ma… jangan dipikirkan terlalu berat. Heri masih ada kemungkinan berubah, tapi sekarang kita harus jaga kamu dulu. Nanti kalau waktunya tepat, kita cari dia lagi.”
Sri mengangguk pelan, menyeka air matanya.
“Aku cuma ingin jadi istri yang baik, Pa. Aku sudah berusaha.”
“Maafkan Ibu, ib cuma khawatir. Tapi sekarang Ibu tahu… kamu sudah cukup menderita. Ibu akan coba cari Heri, ya. Tapi kamu… jaga kandunganmu dulu.”
Malam itu, setelah semua reda, mereka duduk bertiga di ruang tamu.
Tak banyak bicara, hanya kehangatan yang perlahan menenangkan.
Di dalam dada Sri masih ada luka, tapi setidaknya malam itu dia tahu: dia tidak sendirian.
Setelah suasana sedikit lebih tenang, Sri perlahan berdiri dengan dibantu Grilyanto.
Tubuhnya masih lemah, tapi pelan-pelan ia berjalan menuju kamar.
Grilyanto menyusul, menyalakan lampu redup, dan membantu istrinya berbaring.
“Ma, tidurlah dulu. Sudah cukup untuk hari ini,” bisiknya lembut sambil menyelimuti tubuh Sri.
Sri hanya mengangguk pelan, matanya mulai terpejam.
Namun sebelum benar-benar tertidur, ia sempat meraih tangan suaminya dan menggenggamnya erat.
“Terima kasih, Pa,” gumamnya lirih.
“Terima kasih sudah tetap bersamaku.”
Grilyanto hanya tersenyum tipis, lalu mencium kening istrinya.
Dalam diam, ia tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai, tetapi malam ini—setidaknya mereka bisa beristirahat dari luka-luka sementara.
Sementara itu, di luar kamar, Ibu Mariyati mengambil tas kecilnya.
Ia tahu waktunya pulang. Ia menatap ke arah kamar anaknya, lalu menatap langit-langit rumah.
Wajahnya mulai melunak, tak sekeras tadi. Kini hanya tersisa kerut-kerut khawatir dari seorang ibu yang rindu anak dan cucunya.
“Assalamualaikum,” ucapnya pelan pada Grilyanto sebelum keluar dari rumah.
“Ibu pulang dulu ke Ngagel. Jaga Sri baik-baik, ya.”
“Waalaikumsalam, Bu. Hati-hati di jalan,” jawab Grilyanto sambil mengantar mertuanya hingga ke teras.
Udara malam sudah tak setegang tadi. Langit Surabaya mulai berangsur tenang, suara kendaraan berkurang, dan Grilyanto berdiri sejenak di depan rumah menatap langit yang penuh bintang.
Ia menarik napas dalam-dalam. Masih banyak yang harus dihadapi, tetapi malam ini, hanya satu hal yang penting baginya keluarganya masih bersamanya.
Ia menutup pintu perlahan, kembali masuk ke kamar, dan berbaring di sisi istrinya.
Dalam pelukannya, Sri tidur tenang—dan untuk malam itu, dunia terasa sedikit lebih damai.