Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BumbleBee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selamat Tinggal, Max
Laura tak menjawab pertanyaan Max. Ia hanya menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil—senyum yang tidak menjangkau matanya. “Permisi sebentar, aku ke toilet.”
Max mengangguk, tak berkata apa-apa, hanya melepaskan pelan tangannya dari pinggang Laura.
Begitu masuk ke dalam toilet yang sepi dan mewah, Laura menatap cermin di hadapannya. Ia menggenggam pinggiran wastafel, berusaha menenangkan napasnya yang mulai tak beraturan. Tatapan matanya mencari sesuatu di dalam refleksi itu—apa, dia sendiri pun tidak tahu.
"Apakah aku pernah meminta dia meluangkan waktu untukku?" gumamnya lirih.
Laura mengerutkan kening, mencoba mengingat. Ia tidak pernah secara khusus meminta Nicholas untuk duduk bersamanya, berbicara ringan, atau berdansa.
Tapi… bukankah semua tindakan dan sikapnya adalah bentuk permintaan itu? Ketika ia diam, ketika ia menatap lama-lama, ketika ia membatalkan acara hanya agar bisa makan malam di rumah. Tapi Nicholas tak pernah menangkapnya. Atau... mungkin Nicholas memang tidak peka?
"Atau aku yang terlalu diam? Terlalu berharap dia akan mengerti tanpa harus diberitahu?" batinnya berkecamuk. Perasaan bersalah, kecewa, dan kelelahan berkecamuk menjadi satu.
Ia memejamkan mata. "Sudah cukup," ucapnya lirih. "Sebaiknya aku akhiri ini… dan memperbaiki hubunganku dengan Nicholas. Kalau memang ada yang bisa diperbaiki."
Ia menghela napas panjang, mencoba menguatkan hati. Lalu ia merapikan rambutnya, bersiap keluar dan berbicara dengan Max. Ia harus menyelesaikan semua ini.
***
Sementara itu, Max yang merasa Laura pergi terlalu lama, memutuskan untuk menyusul. Ia menyusuri koridor hotel menuju arah lift. Dan saat pintu lift terbuka dan dia melangkah keluar, matanya menangkap dua sosok yang tak asing.
Nicholas.
Dan seorang wanita muda yang pernah dilihat Max sebelumnya, berdiri di sudut lounge bar. Mereka tertawa—tertawa lepas, penuh kenyamanan dan keakraban yang tidak mungkin disalahartikan. Tangan Nicholas menyentuh lengan wanita itu dengan santai, dan tatapan matanya… bukan milik seorang suami yang sedang sibuk memikul beban rumah tangga.
Mereka tampak puas. Bahagia.
Max berdiri mematung, napasnya menegang.
Langkah kaki di belakangnya menyadarkannya. Laura baru saja muncul.
"Max?" suara Laura terdengar lembut, terkejut melihat pria itu menyusulnya.
"Aku ingin bicara," lanjutnya, melangkah cepat untuk mendekat.
Tapi Max segera berbalik. Tanpa memberi waktu Laura mengajukan pertanyaan atau menyadari apa pun, dia menarik tubuh wanita itu ke dalam pelukannya, dan menciumnya.
Laura membelalakkan mata. “M—Max?!”
Tubuhnya menegang, kaget bukan main. Ia sempat ingin mendorong pria itu, tapi pelukannya hangat—bukan sekadar gairah, tapi perlindungan.
Jantung Laura berdegup cepat, pikirannya kacau. Lalu ketika Max perlahan menarik diri, ia menatapnya dalam-dalam—mata Max tampak berbeda. Serius, gelap… dan seperti menahan sesuatu.
"Apa yang kamu lakukan?!" Tatapannya kosong, pikirannya masih terombang-ambing antara rasa bersalah dan kemarahan. Laura melihat sosok dua orang yang sempat berdiri di belakang Max tadi sejenak menarik perhatiannya, tapi terlalu kabur, terlalu cepat. Pikirannya sudah terlalu dipenuhi oleh sentuhan bibir Max tadi.
Max tidak menjawab pertanyaannya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Laura melanjutkan langkah cepat meninggalkan hotel. Tumit sepatunya berdetak tegas di lantai. Napasnya berat, emosinya campur aduk.
“Aku ingin pulang,” ucapnya dengan nada datar, tanpa menoleh.
“Dan aku ingin pulang sendiri. Tidak usah mengantarku.”
Max tidak menjawab. Ia hanya berjalan perlahan di belakangnya, menjaga jarak.
Laura merasakan kehadirannya, lalu menghentikan langkah. Masih tidak menoleh, ia berkata pelan namun tegas,
“Jangan mengikutiku, Max.”
Ada keheningan sejenak.
Lalu suara Max terdengar—dalam, santai, tapi tetap menyiratkan ketegangan.
“Kamu marah hanya perkara ciuman, Lau?”
Laura hanya berdiri diam di pinggir trotoar. Matanya menatap ke jalan, mencari taksi. Ia tidak memberi jawaban. Tak ada kata, hanya ekspresi dingin di wajahnya yang biasanya hangat.
Sebuah taksi melambat di hadapannya. Tapi sebelum ia bisa membuka pintu, suara Max kembali terdengar di belakangnya. Lebih rendah. Lebih tajam. Lebih tak bisa dibantah.
“Aku akan mengantarmu.”
Laura tidak membalas. Tangannya sudah di pegangan pintu taksi. Tapi sebelum ia bisa menariknya, Max mendekat beberapa langkah dan berkata, “Ingat, Laura… aku juga pernah bilang—aku adalah satu-satunya aturan dalam permainan ini.”
Ia menunduk sedikit ke arahnya, suaranya nyaris seperti bisikan,
“Dan aku akan menyentuhmu jika aku ingin menyentuhmu. Dan demi apa pun, Laura… malam ini, aku memang menginginkannya.”
Suasana di sekeliling mereka terasa hening. Dunia seperti menyisakan hanya mereka berdua dalam ruang penuh ketegangan.
Laura menarik napas panjang, lalu membuka pintu taksi dan masuk tanpa menatap Max sedikit pun. Ia duduk di pojok, menatap keluar jendela, berharap hawa dingin malam bisa menenangkan bara dalam dadanya.
Tapi sebelum ia sempat memberi alamat pada sopir, pintu di sebelahnya terbuka—dan Max masuk begitu saja. Duduk di sampingnya dengan tenang, seperti itu memang tempatnya sejak awal.
Sopir taksi menoleh ke belakang, menunggu arahan. Laura hanya mengucap alamat rumahnya, masih tanpa menoleh ke Max. Rahangnya mengeras. Bahunya tegang.
Keheningan membungkus mereka berdua.
Max menyenderkan tubuhnya santai ke sandaran, menoleh sedikit ke arah Laura yang terus menatap ke luar jendela.
“Kamu tidak akan menegurku?” tanyanya pelan.
Laura tetap diam.
“Atau kamu terlalu sibuk berpikir bagaimana caranya membenciku?”
Nada bicaranya masih lembut, tapi ada kesan bermain dalam ucapannya.
Laura menoleh cepat, sorot matanya tajam.
“Aku tidak perlu membencimu, Max. Aku hanya sedang membenci diriku sendiri.”
Max menatapnya, ekspresinya mulai berubah. Lebih serius.
“Kenapa?”
“Karena aku membiarkan semuanya sejauh ini. Karena aku membiarkan diriku merasa nyaman denganmu. Dan aku—” Laura memalingkan wajah lagi, suaranya tercekat. “Aku sudah punya suami.”
Max tidak menimpali. Ia hanya memandang Laura lama, menelusuri gurat lelah dan luka di wajah wanita itu.
Lalu ia berkata pelan,“Kalau dia benar-benar jadi suamimu… kenapa kamu masih merasa sendiri?”
Kata-katanya menggantung di udara.
Laura menggigit bibir bawahnya. Hatinya mencelos. Ia tahu Max benar. Tapi kebenaran itu seperti belati yang tajam—tak sanggup ia genggam, tak bisa pula ia abaikan.
Mobil terus melaju dalam diam.
Hanya ada keheningan di sepanjang perjalanan.
Taksi berhenti di depan rumah Laura. Dia menatap bangunan itu. Tidak ada yang berubah di sana. Hanya kesunyian dan kesepian. Mobil Nicholas juga belum parkir di sana, artinya suaminya belum pulang.
Menyembunyikan kegundahan hatinya, Laura menoleh pada Max. "Aku ingin berhenti. Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan suamiku. Selamat tinggal, Max."
Max mencondongkan tubuhnya ke depan. Laura reflek menutup mulutnya dengan kedua tangannya, mengira Max akan menciumnya lagi. Namun yang dilakukan pria itu hanya membuka pintu. Max tidak mengomentari tindakannya, sebaliknya dia berkata, "Selamat malam, Lau. Berendamlah sebelum tidur."
Thor boleh aku kirim rudal Israel buat mereka,kelamaan nunggu mereka hancur,menangis,menyesal dan tak berani menampakkan giginya depan umum.viralkan Thor🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻
geram aku sama kalian sejak dipaijo,digantung lagi hingga menghilang.untung kutemukan kalian disini,tempat neraka kalian
aku harap🙏🏻🙏🏻Niko menyesal dan sangat menyesal atas dosanya dan membawa kehancurannya,Badas Thor disini jangan nanggung
berat amat hidup Laura Thor sejak di Paijo sampai pindah sini masih begini😭😭😭😭kamu tega Thor,apakah kamu sekongkol sama Shella dan Niko juga max???