Sabrina rela meninggalkan status dan kekayaannya demi menikah dengan Zidan. Dia ikut suaminya tinggal di desa setelah keduanya berhenti bekerja di kantor perusahaan milik keluarga Sabrina.
Sabrina mengira hidup di desa akan menyenangkan, ternyata mertuanya sangat benci wanita yang berasal dari kota karena dahulu suaminya selingkuh dengan wanita kota. Belum lagi punya tetangga yang julid dan suka pamer, membuat Sabrina sering berseteru dengan mereka.
Tanpa Sabrina dan Zidan sadari ada rahasia dibalik pernikahan mereka. Rahasia apakah itu? Cus, kepoin ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Setiap malam Sabrina menangis diam-diam sampai kedua matanya bengkak. Rasa sakit kehilangan calon bayinya meninggalkan luka yang dalam. Dia tidak menceritakan rasa kesedihannya itu kepada Zidan atau Bu Maryam. Walau begitu, mereka semua tahu apa yang dirasakan wanita itu.
Bayang-bayang kejadian tabrakan itu selalu membayangi mimpi Sabrina sehingga membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Selama seminggu masa perawatan di rumah sakit, dia menjadi pendiam tidak banyak bicara.
Tentu saja hal itu membuat Zidan dan Bu Maryam sedih dan bingung harus berbuat apa lagi. Mereka selalu memberikan support dan memberi nasehat kalau yang terjadi bukan salahnya.
Selama menjalani perawatan Zidan tidak pernah meninggalkan Sabrina. Dia memercayakan toko kepada para pegawainya. Bu Maryam datang setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah dan membawa makanan dan baju ganti untuk Zidan.
"Hari ini Bu Sabrina sudah boleh pulang," ucap dokter setelah selesai melakukan pemeriksaan terhadap Sabrina.
"Alhamdulillah." Zidan Bu Maryam merasa senang Sabrina sudah diizinkan pulang.
Sabrina juga sudah kangen sama kamar sederhana yang banyak meninggalkan kenangan indah dan manis bersama Zidan. Dia juga rindu sama wangi pohon-pohon ketika pagi hari dan suara kokokan ayam milik sang ibu mertua.
Begitu pulang ke rumah para tetangga datang menjenguk. Kemarin mereka belum bisa datang ke rumah sakit karena punya kendala masing-masing.
"Apa pelaku yang nabrak sudah ketangkap?" tanya Ceu Romlah.
"Belum, Ceu. Masih dalam pengejaran polisi," jawab Zidan.
"Polisi selalu lelet kalau tidak dikasih pelicin," ujar Ceu Edoh menyindir dan dibenarkan oleh Ceu Romlah dan Ceu Entin.
"Pelicin? Pelicin pakaian? Emangnya bisa buat nangkap penjahat, ya?" tanya Sabrina dengan wajah polos sekaligus bingung.
Semua orang melongo mendengar ucapan Sabrina, kecuali Zidan. Dia sudah terbiasa dengan kejutan di luar BMKG jika berbicara dengan istrinya.
"Pelicin ini maksudnya uang. Biar cepat di proses. Begitu, Neng," jawab Zidan sambil mengusap kepala Sabrina dengan lembut.
"Aku kira otaknya akan bener setelah ketabrak, ternyata masih sama," bisik Ceu Romlah kepada Ceu Entin.
"Ini sudah bawaan orok," balas Ceu Entin pelan, sok tahu.
***
Waktu terus berlalu, sudah sebulan berlalu dari kejadian kecelakaan. Belum ada kabar tentang pelaku penabrakan. Kondisi kesehatan Sabrina sudah pulih dan tidak menangis lagi kalau malam hari.
"Mamah, biji cabai yang dulu aku tabur di kebun belakang sudah tumbuh!" teriak Sabrina senang ketika sedang menyiram tanaman.
"Nanti kita pisah-pisahkan tempatnya, biar bisa tumbuh dengan baik," balas Bu Maryam yang sedang memberi pakan ikan di kolam samping kebun.
"Aku cari pot dulu." Sabrina sangat senang.
"Jangan di tanam di pot. Di polibag saja. Ada disimpan di laci lemari yang ada di dapur," ucap Bu Maryam mengikuti sang menantu, takut tidak tahu.
Sabrina mengambil skop untuk mengisi tanah dan memindahkan tunas-tunas cabai ke polibag. Dengan bernyanyi riang seakan sedang bermain-main tanah, wanita itu dengan sabar memindahkan satu persatu.
Sementara itu, Bu Maryam yang hendak mandi mendengar suara pintu depan di ketuk. Begitu dia buka terlihat ada Pak Yadi dan Niken.
"Mau apa kalian ke sini?" tanya Bu Maryam ketus.
"Maryam, boleh aku minta beberapa ekor ikan? Anak-anak mau datang ke sini, aku tidak punya uang untuk beli makanan," jawab Pak Yadi dengan malu-malu.
"Apa?" Bu Maryam melotot. "Enak saja minta. Beli!"
"Dasar pelit!" ucap Niken dengan mata mendelik.
"Lah, suka-suka akulah! Yang nernak ikan aku, masa yang panen hasilnya kalian." Bu Maryam bertolak pinggang.
"E, a-ku sudah bilang sama Zidan. Katanya boleh ambil di kolam belakang," ucap Pak Yadi, berbohong.
"Zidan beneran bilang begitu?" Bu Maryam tidak percaya, walau tahu putranya itu masih bisa berlaku baik kepada bapaknya. Namun, biasanya akan memberi tahu atau berdiskusi dahulu.
"Tentu saja! Zidan itu anak yang pengertian dan baik, tidak kayak kamu yang pelitnya luaaaaar biaza!" sahut Niken biar lebih meyakinkan.
Bu Maryam sebenarnya tidak ridho. Namun, jika Zidan sudah memberikan izin, mau gimana lagi.
"Ambil empat ekor, tidak boleh lebih!" ujar Bu Maryam dengan dagu terangkat.
"Aduuuh mana cukup, delapan ekor, ya? Takut anak-anak masih lapar dan minta tambah," kata Pak Yadi sambil mengacungkan kedelapan jari tangannya.
"Dasar gi'la! Dikasih hati minta jantung." Bu Maryam semakin tersulut emosi.
"Enam ekor kalau begitu. Jangan suka pelit jadi orang, nanti hidup kamu akan sulit," kata Niken, malah jadi kebalik, siapa yang pelit dan siapa yang hidup sulit.
"Dasar edan! Orang tidak tahu diri! Enyah saja dari hadapanku." Bu Maryam yang sudah tidak bisa menahan emosi langsung membanting pintu dan menguncinya.
"Eh, Maryam! Buka pintunya," teriak Pak Yadi.
"Sudahlah, Bang. Kita langsung ambil saja ikannya ke kolam di belakang. Aku sudah bawa kresek untuk jaga-jaga jika hal ini terjadi," ujar Niken.
Diam-diam Pak Yadi dan Niken berjalan lewat samping rumah menuju halaman belakang. Laki-laki itu mengambil jala yang biasa disimpan di gudang belakang rumah. Kebetulan jala tergantung di dinding luar gudang—kebiasan Bu Maryam, biar mudah ambil ikan yang terlihat sakit atau mati.
Niken dan Pak Yadi terkejut ketika melihat ada Sabrina sedang berjongkok memainkan tanah. Pasangan suami-istri itu memberi kode untuk diam. Keduanya tahu kalau Sabrina suka teledor dan sulit fokus jika melakukan dua hal di waktu bersamaan.
"Dia sedang fokus sama mainannya," bisik Pak Yadi dan Niken paham.
Begitu Niken dan Pak Yadi lewat di belakang Sabrina, di waktu bersamaan wanita itu hendak berdiri. Maka terjadilah pan'tat istrinya Zidan mendorong tubuh Niken.
GUJUBAR!
Niken jatuh ke kolam ikan. Sabrina yang merasa sudah menyentuh sesuatu pun menoleh. Dia terkejut sekaligus tertawa ngakak ketika melihat Niken jatuh ke kolam ikan.
"Si ibu tiri ingin berenang. Jangan di kolam ikan, dong! Kasihan sama ikan-ikannya," ucap Sabrina sambil tertawa karena melihat ada daun talas di atas kepala Niken.
"Tolong, Bang!" Niken berteriak kepada suaminya.
Pak Yadi kebingungan. Dia tidak tahu bagaimana caranya untuk menolong sang istri.
"Sayang, kamu ke tepi. Nanti aku tarik," kata Pak Yadi sambil mengulurkan tangan.
"Loh, kenapa Bapak tidak ikut turun berenang juga? Kayaknya seru," tanya Sabrina.
"Dasar menantu sableng! Sama saja dengan mertuanya yang dendeng!" teriak Niken. "Orang jatuh malah dikira berenang."
"E, jatuh?" Sabrina memasang wajah polos. Dia tidak sadar kalau Niken jatuh karena kena sundulan maut pan'tatnya.
Pak Yadi berusaha menarik tangan Niken yang sudah berada di tepi kolam ikan. Karena tanahnya licin, laki-laki itu ikut terjatuh ke kolam, kini ada dua orang yang berenang di kolam ikan.
Karena mendengar ribut-ribut di halaman belakang, Bu Maryam yang hendak mandi harus menunda. Dia melongo ketika melihat mantan suami dan pelakor di kolam ikan miliknya.
"Apa yang sedang kalian lakukan, hah!" Bu Maryam mengambil sapu lidi yang biasa digunakan untuk menyapu halaman.
Pak Yadi dan Niken terlihat ketakutan. "Mati kita!"
***
Sambil menunggu update bab berikutnya, baca karya aku yang lainnya. Pastinya tidak kalah lucu dan seru, bab-nya juga sedikit.
bukan musuh keluarga Sabrina
jangan suudhon dl mamiiii