Arunika terjebak di dalam dunia novel yang seharusnya berakhir tragis.
Ia harus menikahi seorang Dewa yang tinggal di antara vampir, memperbaiki alur cerita, dan mencari jalan pulang ke dunia nyata.
Tapi... ketika perasaan mulai tumbuh, mana yang harus ia pilih—dunia nyata atau kisah yang berubah menjadi nyata?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Pertemuan Kembali
Di bawah cahaya rembulan yang menggantung redup di langit malam, Arunika berdiri di tepi hutan lebat, tempat persembunyiannya selama ini. Angin malam berhembus pelan, mengibarkan helaian rambut panjangnya. Matanya memicing menembus gelap, karena ada sosok di sana.
Sosok yang begitu ia rindukan.
Tubuh itu berdiri tegap, mengenakan pakaian prajurit kerajaan yang sudah sangat dikenalnya. Sorot mata pria itu hangat, penuh kerinduan. Bahkan dari kejauhan, Arunika bisa merasakan aura yang hampir membuat jantungnya luluh.
"Mark..." bisiknya, begitu lirih, namun penuh emosi.
Langkahnya mulai mendekat, perlahan namun pasti. Seluruh logika dan kewaspadaannya seolah pudar dihempas rasa rindu yang begitu menyesakkan dada.
Satu tahun tanpa kehadiran suaminya membuat hatinya ingin segera merengkuh sosok itu memeluknya erat, tak ingin berpisah lagi.
Langkah Arunika terhenti.
Ada sesuatu yang janggal. Ia menatap lebih tajam, memeriksa setiap inci gerak tubuh pria itu. Hatinya mulai diselimuti keraguan.
Aura yang terpancar terlalu tenang. Terlalu bersih. Tidak seperti aura Mark yang kuat dan menyala, penuh cinta sekaligus ketegasan.
"Mark apakah benar itu kau?" tanyanya pelan, tapi dengan sorotan mata penuh siaga.
Sosok itu hanya menatap dan tersenyum.
Diam. Tidak menjawab.
Arunika menggenggam jemarinya—cahaya sihir mulai berdenyut dari telapak tangannya, kekuatan langit malam berkumpul di sekeliling tubuhnya.
"Kalau kau benar Mark katakan nama anak pertama kita," ujarnya lebih tegas.
Hening.
Arunika mundur satu langkah.
Ledakan cahaya putih keluar dari tubuhnya, sihir dewa langit malam mengalir deras ke sekeliling hutan. Arunika melayang beberapa inci dari tanah, matanya menyala seperti bintang yang marah.
"Karena kau telah datang ke tempat yang salah. Aku bukan Arunika yang dulu. Aku ibu dari keturunan langit malam!"
...****************...
Pria itu masih berdiri di bawah bayang-bayang malam, sosoknya nyaris tak terlihat—hanya siluet samar yang menyatu dengan gelapnya hutan. Namun, ketika ia melangkah maju, sinar bulan perlahan menyinari wajahnya.
Dan saat itu... Arunika tahu.
Itu benar-benar Mark.
Tatapan mata itu tak pernah berubah. Hangat. Dalam. Seolah seluruh langit malam tertampung dalam matanya. Senyum yang terukir di wajahnya membuat hati Arunika hancur dalam satu detik bukan karena luka, tapi karena rindu yang selama ini tertahan terlalu lama.
"Mark.." bisik Arunika, suaranya bergetar, menggantung di udara malam.
Langkahnya maju lebih cepat, tanpa ragu. Air mata mulai jatuh dari matanya, mengalir di pipi tanpa bisa dihentikan. Tak ada kekuatan sihir yang bisa melindunginya dari rasa rindu ini. Tak ada benteng yang mampu menahan luapan emosinya.
Ia memeluknya. Erat.
Bahu Mark menjadi tempat pelabuhan rasa sakit yang selama ini ia sembunyikan. Tangannya gemetar, dadanya sesak, namun kehangatan tubuh Mark membuat semuanya meleleh dalam pelukan itu.
"Mark... aku kira aku kehilanganmu. Aku kira aku takkan pernah bertemu denganmu lagi..."
Mark tak menjawab langsung. Tangannya membalas pelukan itu dengan penuh kegetiran. Ia memejamkan mata, membiarkan keheningan malam menjadi saksi pertemuan dua jiwa yang lama terpisah.
"Arunika..." suara Mark akhirnya terdengar pelan dan serak, "Aku mencarimu setiap malam. Di setiap sudut kerajaan. Di setiap lorong waktu. Aku tak pernah berhenti..."
Cahaya bulan menyinari mereka berdua, seolah langit turut menangis menyaksikan dua hati yang akhirnya kembali bertemu. Tak ada sihir. Tak ada peperangan.
Hanya cinta yang menggantung, sekuat takdir yang mempertemukan mereka kembali.
...****************...
"Anak kita ada lima kan?" tanya Pria itu lirih, masih dalam pelukan pria yang diyakininya adalah Mark. Suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca.
Sebelum pria itu sempat menjawab, "Dia bukan ayah! Cepat lindungi ibu!" teriak Reonans dari balik pepohonan, matanya bersinar tajam menembus kegelapan.
Arunika membeku. Detik itu juga tubuhnya terasa dingin. Pelukan itu terasa berbeda. Hatinya yang semula lega kini diserbu keraguan dan ketakutan.
"Reonans?" bisik Arunika, memutar tubuhnya perlahan.
"Ibu, tolong mundur!" seru Marcus lantang, si kembar pemberani itu melesat maju tanpa ragu.
"Musuh tetap musuh! Cepat lindungi Ibu!!" teriaknya.
Luciano tak membuang waktu. Ia menarik busurnya, anak panah perak yang disiapkannya khusus untuk situasi ini, dan melesatkannya dengan akurasi sempurna.
Thwack!
Anak panah itu menancap tepat di punggung sosok yang menyamar sebagai Mark.
"AARGHH!!" teriak pria itu, terhuyung ke depan. Suara teriakan itu bukan suara Mark.
"MARK!!" jerit Arunika, masih tidak percaya apa yang dilihatnya. Marcus menarik Arunika menjauhi pria itu,
"Ibu! dia bukan Ayah!"
Darah hitam mengalir dari tubuh makhluk itu. Wajahnya berubah. Ilusi sihir mulai retak. Bayangan semu runtuh satu per satu. Sosok itu... bukan Mark.
"Ibu! Cepat ke sini! Raja Sakha!" Reonans berteriak keras.
"Arunika, mereka... mereka mulai menyadari..." gumam makhluk itu suara terakhirnya sebelum ambruk ke tanah dan menghilang menjadi debu sihir.
Arunika terpaku. Tubuhnya gemetar. Luka emosional yang baru saja sembuh, kini kembali terkoyak. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menyatukan kembali kenyataan dan rasa sakit yang datang bersamaan.
"Ibu kami di sini kita melindungimu sekarang." kata Marcus sambil menggenggam tangan Arunika erat.
"Maafkan kami, Ibu, tapi Reonans benar. Itu bukan Ayah," ucap Luciano dengan lirih.
Arunika menatap anak-anaknya satu per satu lima ksatria kecilnya, darah dagingnya, warisan Mark yang kini berdiri di hadapannya sebagai pelindung.
...****************...
"Bagaimana bisa? Dia Raja Sakha?" suara Arunika nyaris tercekat. Tubuhnya mundur setengah langkah, pelan tapi pasti, menahan guncangan batin yang tiba-tiba menyerangnya.
"Dia tau tempat persembunyian kita?"
Pria yang menyamar sebagai Mark itu perlahan berubah. Wajahnya memudar menjadi sosok agung, namun mengerikan Raja Sakha, dengan jubah panjangnya yang menyapu tanah, mata merah membara, dan senyuman licik mengembang.
"Tentu saja. Siapa lagi yang bisa mempermainkan perasaanmu sehalus ini?" ucapnya dingin.
Aura gelap meledak dari tubuhnya. Dalam sekejap, langit di atas hutan menghitam. Bulan yang semula bersinar terang tertutup oleh bayangan hitam yang merambat seperti akar kematian. Hutan menjadi pekat. Suara burung malam pun lenyap. Hening. Mencekam.
"Di...mana Elianos?!" bisik Arunika dengan gemetar. Suaranya dipenuhi ketakutan dan kemarahan sebagai seorang ibu.
"Apa kau mencarinya?" tanya Raja Sakha, lalu tertawa keras—tawa yang bergema seperti guntur dari neraka.
"Dengar baik-baik, Putri Arunika..."
"IBUUU!! TOLONG!!" Teriakan kecil nan memilukan terdengar dari balik bayang-bayang hitam.
Suara Elianos. Anaknya.
Arunika menoleh panik ke segala arah. Namun kegelapan di sekitarnya terlalu padat. Ia tak bisa melihat apapun.
"Kekuatan Elianos di-segel..." bisiknya lirih. Ia merasakan getaran aneh dalam jiwanya, dan benar, salah satu kekuatan sihir yang terhubung dengannya kini terkunci.
"Apa yang telah kau lakukan pada anakku!?" teriaknya marah, matanya menyala ungu menyala, kekuatan sihir dalam dirinya mulai membara.
Raja Sakha membuka telapak tangannya, memperlihatkan sebuah kristal hitam kecil yang memancarkan aura dingin. Di dalamnya, tampak seperti bayangan Elianos yang berteriak diam.
"Lepaskan dia!" teriak Reonans dan Marcus serempak, kini maju bersama Luciano dan Lucius. Mereka berdiri di depan ibunya, siap bertempur.
"Kalian pikir bisa melindunginya? Tidak ada tempat untuk kalian di masa depan yang akan ku bangun. Aku akan menyatukan darah Dewa Langit Malam dan kekuatan para vampire, dan mewariskannya untuk diriku sendiri."
Arunika mengangkat tangannya. Sihir terang menyembur dari telapaknya, menghantam kabut gelap, membuka sedikit jalan namun Raja Sakha tak bergerak. Ia tertawa. Lagi.
"Lawanlah aku! Satu langkah yang salah... dan anakmu akan lenyap dalam kristal ini untuk selamanya."
Ceritanya juga keren, semangat terus ya. 😉