Irish kembali, membawa dua anak kembar dan luka lama yang telah berubah menjadi kekuatan. Ethan, pria yang dulu mengabaikannya tanpa rasa, kini tak bisa mengalihkan pandangan. Ada yang berbeda dari Irish, keteguhan hatinya, tatapannya, dan terutama... anak-anak itu. Nalurinya berkata mereka adalah anaknya. Tapi setelah semua yang ia lakukan, pantaskah Ethan berharap diberi kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 30
Ketika Dion dan Ethan tiba di lokasi syuting, Hanna sedang duduk di kursi rias. Air matanya masih mengalir, membuat makeup di wajahnya berantakan, dengan mata dan hidung memerah.
Irish berusaha membujuknya dengan sabar, menenangkan emosi Hanna hingga sedikit reda, lalu menuntunnya kembali ke dekat set syuting. Sambil membawa segelas air hangat dan mantelnya, Irish menasihati lagi,
“Hanna, aku bilang sekali lagi, fokuslah pada syuting iklan ini. Jangan sampai bikin masalah untuk Pak Erick . Tolong, kali ini jangan bertindak ceroboh lagi.”
“Aku tahu…” Hanna mengangguk pelan, suaranya serak, terdengar masih kesal.
Seperti seorang kakak, Irish hanya menghela napas, lalu meneliti kembali riasan wajah Hanna dengan teliti agar tidak tampak terlalu buruk di kamera.
“Hanna!” Dion yang melihat adiknya dari jauh langsung melepaskan Kirana, berjalan cepat mendekat.
Sementara itu, Kirana terdiam di tempatnya, menoleh ke atas tanpa sengaja, lalu menyadari lampu kristal besar di atasnya tampak bergoyang tidak stabil, seolah siap jatuh kapan saja! Wajahnya berubah tegang, ia buru-buru mundur beberapa langkah, lalu berbalik dan berlari menjauh dari situ.
Pada saat bersamaan, Ethan juga sudah menyusul Dion ke arah Hanna dan Irish.
“Kak…” Hanna memanggil Dion sambil terisak, lalu menoleh ke arah Ethan dengan sedikit segan. “Kak Ethan…”
Irish pun menundukkan kepala memberi salam sopan pada Dion, lalu mengangguk kecil pada Ethan seperti biasanya, setelah itu menunduk lagi tanpa berani menatap lama. Seolah hubungannya dengan Ethan benar-benar hanya sebatas anggukan formal belaka.
Karena Irish tidak menatap balik, ia tidak sadar bahwa Ethan sedang memandangnya dengan sorot mata yang dalam dan penuh arti.
Dion menatap wajah Hanna, langsung menepuk pelan kepalanya. “Hanna, kenapa matamu bengkak begini? Hidungmu juga merah?”
“Kenapa Kakak memukul aku!” Hanna merengut, menatap Dion dengan kesal, lalu mencoba menepuknya balik.
Namun Dion dengan gesit menghindar, menunjuk Hanna sambil tertawa kecil. “Sungguh tidak sopan! Aku ini kakak kandungmu, lho, masa berani memukul balik!”
“Aku juga adikmu! Kenapa kamu suka membully aku!” Hanna hampir menangis lagi, suaranya bergetar.
Dion hanya tertawa sambil menggeleng, “Mana sempat aku menyakitimu! Cepat cerita, kenapa kamu nangis?”
Hanna menghela napas panjang, suaranya pelan, nyaris berbisik, “Tidak ada apa-apa kok… aku cuma tidak sengaja menumpahkan air ke Kirana, tapi dia salah paham, kira aku sengaja. Aku minta Pak Erick bantu menenangkan, tapi malah bikin salah paham lagi. Pokoknya ini salahku, tidak ada hubungannya sama Pak Erick . Yang paling penting… kayaknya Pak Erick sekarang malah salah paham sama aku.”
Dion menatap adiknya, lalu tertawa santai. “Yo… yo… masih sempat-sempatnya manggil Pak Erick dengan nada manja begitu. Dengar saja aku sudah cemburu!”
“Kak Dion! Kalau Kakak masih bicara seenaknya, aku pulang saja dan bilang ke Ibu supaya menghukummu!” bentaknya sambil berusaha tegar.
Dion tertawa lepas. “Baiklah, baiklah, aku tidak akan mengatakannya lagi. Tapi Hanna, sengaja atau tidak, kamu tetap sudah menumpahkan air ke badan Kirana. Jadi kamu harus minta maaf dengan benar.”
Selesai bicara, Dion menoleh ke belakang, berniat menarik Kirana ke arah Hanna. Namun, tiba-tiba ia menyadari Kirana sudah tidak ada di tempat semula.
“Kirana? Ke mana kamu?” serunya, menoleh ke sekeliling dengan dahi berkerut.
Kirana sendiri sudah berlari menuju area lampu kristal yang sebelumnya nyaris jatuh. Di sana hanya ada Edward yang sedang jongkok, menatap kopi di tangannya yang sudah dingin.
Begitu melihat Kirana datang, Edward berdiri cepat dan menyapanya, “Nona Kirana, ke mana saja? Saya sudah mencarimu, lihat ini, kopinya sampai dingin.”
Kirana tak memedulikannya. Matanya menatap langit-langit.
Ia mencoba menenangkan Kirana dengan menyodorkan kopi sambil tersenyum. “Coba diminum dulu, enak, kok.”
Kirana makin frustrasi. “Apa kalian sempat mengecek lampu kristalnya?” suaranya bergetar.
Edward hanya menggeleng. Kirana menarik napas, menepis kopi itu, lalu berbalik berlari kembali ke lokasi syuting. Edward hanya terpaku sesaat sebelum akhirnya ikut mengejarnya.
Sesampainya di lokasi, Kirana mendongak dan mendapati lampu kristal itu tergantung kembali, bersinar menyilaukan sampai membuat matanya perih.
“Kirana, kamu ke mana saja?” Dion langsung meraih pundaknya. “Soal Hanna menumpahkan air, sudah jelas dia tidak sengaja. Tapi kamu merasa dirugikan, jadi dia tetap harus minta maaf.”
Dion lalu melambaikan tangan ke Hanna. “Hanna, ke sini!”
Hanna yang berdiri di samping Irish menghela napas kesal, lalu berjalan maju ke hadapan Kirana.
“Kirana, tidak peduli kamu percaya atau tidak, aku benar-benar tidak sengaja melakukannya. Dan... maaf,” katanya pelan.
Kirana hanya menampakkan senyum tipis. “Tidak apa-apa.”
“Bagus, kalian sudah saling mengerti,” ujar Dion lega. “Ayo cepat syuting lagi, sudah hampir malam, kita harus pulang makan malam.”
Kirana berdiri terpaku di samping Dion, tidak mampu mengungkapkan apa yang sebenarnya ingin ia katakan.
Sutradara kemudian memberi aba-aba agar semua kru bersiap. Ethan, Dion, Jackson, dan Lucy ikut berdiri di dekat sutradara, mengamati Hanna dan Kirana.
Irish yang bertugas membantu Hanna berdiri di dekatnya agar mudah merapikan detail penampilan.
Wakil sutradara berteriak, “Aksi!”, dan Hanna serta Kirana saling menatap memulai adegan.
Setelah Dion dan Erick saling bertegur sapa, suasana perlahan mencair. Hanna pun merasa lebih tenang karena melihat Erick tampak tidak marah, sehingga ia bisa fokus berakting.
Namun Kirana masih gelisah. Pandangannya terus terarah pada lampu kristal di atas kepala Hanna, membuat wajahnya semakin panik.
Irish yang berdiri tak jauh dari Hanna menyadari kejanggalan itu. Kenapa Kirana terus menatap ke atas kepala Hanna? batinnya curiga.
Irish ikut mendongak ke arah yang sama.
Hanna juga akhirnya sadar Kirana tidak fokus, menghela napas tanpa daya. “Kirana, kamu....”
“Hati-hati!” Kirana tiba-tiba berteriak, melihat bayangan besar menimpa kepala Hanna!
Irish refleks langsung berlari dan mendorong Hanna sekuat tenaga menjauh.
“Irish, cepat menyingkir!” Erick berseru, namun teredam oleh dentuman keras “BRAK!”
Semua orang terdiam, menatap asap yang mengepul dengan syok.
Beberapa detik kemudian, mereka baru tersadar dan berhamburan ke arah puing lampu kristal yang pecah.
Di balik debu yang mulai menipis, Ethan terlihat memeluk Irish erat, tubuhnya menjadi tameng untuk menahan pecahan kaca.
Irish hanya mengalami luka ringan, sedangkan Ethan tampak berdarah hebat di bahu dan lehernya yang tergores, dengan beberapa pecahan kaca menancap di kakinya.
“Kamu tidak apa-apa?” Ethan berbisik pelan, menahan rasa sakit, menatap Irish di dalam pelukannya.
Irish memandang Ethan dengan tatapan kosong, tubuhnya terpaku oleh kejut.
Untuk pertama kalinya setelah lima tahun mengenal Ethan, Irish melihat wajahnya dari jarak sedekat ini, sorot matanya yang tegas, wajahnya yang menenangkan, membuat Irish tidak mampu berpikir.
Dalam satu detik yang terasa seperti satu abad, Irish hanya terpaku menatap matanya, seolah semua ini mimpi.
Setetes darah menetes dari kepala Ethan, jatuh di pipi Irish, membuatnya tersentak sadar.
“Aku baik-baik saja! Bagaimana denganmu, Ethan? Ethan? Aku akan membawamu ke rumah sakit sekarang!” jerit Irish panik sambil memeluknya erat.
Ethan berusaha mengangguk, tersenyum tipis, namun detik berikutnya kehilangan kesadaran dan roboh di bahu Irish.
gemessaa lihatnya