Kejahatan paling menyakitkan bukan diciptakan dari niat jahat, tapi tumbuh dari niat baik yang dibelokkan.
Robert menciptakan formula MR-112 untuk menyembuhkan sel abnormal, berharap tak ada lagi ibu yang mati seperti ibunya karena kanker. Namun, niat mulia itu direnggut ketika MR-112 dibajak oleh organisasi gelap internasional di bawah sistem EVA (Elisabeth-Virtual-Authority). Keluarga, teman bahkan kekasihnya ikut terseret dalam pusaran konspirasi dan pengkhianatan. Saat Profesor Carlos disekap, Robert harus keluar dari bayang-bayang laboratorium dan menggandeng ayahnya, Mark, seorang pengacara, untuk melawan kekuatan yang jauh lebih besar dari dirinya. Misteri ini bukan sekadar soal formula. Ini tentang siapa yang bisa dipercaya saat kebenaran disamarkan oleh niat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmond Silalahi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan di Ujung Malam
..."Malam itu tak hanya membawa dingin, tapi juga diam yang berat. Diam yang memeluk luka, menyembunyikan rencana, dan menunggu waktu yang tepat untuk meledak."...
Suara jangkrik menghiasi malam. Lampu redup yang tergantung di langit-langit memancarkan cahaya kekuningan, memberi nuansa hangat yang berlawanan dengan dinginnya udara malam di luar. Robert duduk di kursi, menatap tubuh ayahnya yang terbaring di ranjang kantor milik Denny yang disulap jadi markas mereka.
Mark, sang ayah, tampak tertidur pulas. Nafasnya teratur, namun Robert tahu tubuh itu menyimpan luka yang dalam. Luka yang seharusnya tidak pernah ada, jika saja formula yang ia ciptakan tidak menjadi alasan orang memburu dan menyalahgunakannya.
Robert menghela napas, lalu merogoh saku jaketnya. Dari sana ia mengeluarkan sebuah dompet kulit tua. Resletingnya sudah aus, ujungnya sedikit terkelupas. Ia membukanya perlahan. Di dalamnya, terselip foto lusuh: dirinya yang masih kecil, tersenyum lebar, digendong oleh seorang wanita muda berwajah lembut, almarhumah ibunya.
Foto itu seperti membuka pintu ke masa lalu. Ia ingat aroma sabun di baju ibunya, suara tawa yang selalu terdengar di dapur sempit mereka, dan tangan hangat yang selalu mengusap kepalanya ketika ia jatuh. Dan kini, semua itu tinggal kenangan yang terlipat di antara helaian kertas tua.
Dadanya terasa sesak. Formula MR-112 yang dulu ia rancang hanya untuk membantu menyembuhkan penyakit degeneratif, kini menjadi senjata. Bukan hanya membuat dunia dalam bahaya, tapi juga menjadikan ayahnya korban yang nyaris kehilangan nyawa. Semua demi uang, kekuasaan, dan obsesi segelintir orang.
Air matanya mulai mengalir tanpa ia sadari. Butirannya jatuh di permukaan foto, memburamkan senyum sang ibu.
Suara serak memecah kesunyian.
"Robert ..."
Robert menoleh cepat. Mark membuka matanya, tatapannya tenang meski wajahnya pucat. Pria itu berusaha bangkit, menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.
“Apa yang kita buat baik, belum tentu jadi baik buat orang lain,” ucapnya pelan, seolah setiap kata harus dihela bersama napas.
Robert menunduk, menggenggam foto itu lebih erat. “Mengapa harus ada orang yang jahat dalam dunia ini?”
Mark tersenyum tipis. “Sebenarnya penjahat itu ... adalah orang yang dulunya baik. Tapi mereka pernah terluka, mengalami trauma. Mereka ingin keluar dari rasa sakit itu, namun salah langkah. Dan setiap langkah yang salah ... membawa mereka semakin jauh dari jalan yang seharusnya.”
Kata-kata itu mengendap di hati Robert. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa ada orang yang memang lahir untuk berbuat jahat. Tapi wajah Klaus Hollenberg muncul di pikirannya. Dan ia mulai bertanya-tanya ... apakah pria itu juga lahir dari luka?
Pintu ruangan terbuka pelan. Misel masuk, langkahnya ringan namun penuh kehangatan. Ia melihat Robert duduk di sisi ranjang dengan mata sembab. Tanpa bicara, ia mendekat, menepuk bahu Robert.
“Kau tidak sendirian,” ucap Misel lembut. “Semua yang ada di sini akan membantumu. Kita akan hadapi ini bersama.”
Robert mengangkat kepalanya. Tatapan Misel tegas, seolah tak ada ruang untuk ragu. Dan entah kenapa, di tengah beban yang menyesakkan dada, Robert merasa sedikit lebih ringan.
Mark menatap keduanya. “Jaga satu sama lain. Karena di luar sana, kau akan menemukan banyak orang yang ingin memecah belah kalian.”
Misel menoleh pada Mark. “Dia akan selamat. Dan kita akan pastikan pengorbanan ini tidak sia-sia.”
Robert menggenggam tangan ayahnya. Untuk pertama kalinya sejak kembali dari Engelberg, ia merasa punya alasan yang lebih besar daripada sekadar menghentikan Klaus. Ia ingin melindungi orang-orang yang ia cintai, sebelum semua ini menggerogoti mereka seperti waktu yang kejam.
Di luar jendela, malam masih pekat. Tapi di dalam ruangan itu, kehangatan kecil mulai tumbuh seperti bara yang siap menjadi api.
Dan Robert tahu, api itu akan ia bawa saat waktunya tiba untuk kembali ke bayangan.
Beberapa jam kemudian, di ruang taktis bawah tanah kantor Denny, peta digital pegunungan Engelberg kembali terpampang di layar besar. Semua anggota inti tim berkumpul: Robert, Misel, Denny, Jesika, Amanda, Carlos, dan Samuel.
Udara di ruangan itu berat, seakan semua tahu bahwa setiap rencana yang akan mereka buat malam ini bisa menjadi yang terakhir.
Samuel membuka pertemuan. “Kita berhasil menanamkan Omega-R dan memicu reaksi autoimun pada batch terakhir mereka. Tapi kita semua tahu Klaus bukan orang yang akan berhenti di situ.”
Carlos menggeser grafik ke layar. “Analisis dari biosinyal menunjukkan mereka mencoba menstabilkan kembali formula dengan menambah komponen baru. Bukan MR-112_A murni lagi. Mereka bereksperimen ke arah MR-112_X, versi yang … bahkan kita belum uji sepenuhnya.”
Robert menatap layar, rahangnya mengeras. “Itu berarti mereka mencoba melewati semua penguncian biologis yang kita sisipkan sejak awal. Kalau berhasil, Omega-R tidak akan berguna.”
Jesika menghela napas. “Berapa lama sampai mereka sampai di titik itu?”
Carlos menjawab cepat, “Dua minggu. Paling lambat.”
Denny bersandar di kursinya, menatap peta. “Kalau begitu kita harus memutus rantai penelitian mereka dari sumbernya. Tidak hanya menghancurkan batch yang ada … tapi juga data mentah, catatan percobaan, bahkan blueprint molekulnya.”
Amanda menyipitkan mata. “Berarti kita harus masuk lebih dalam dari infiltrasi terakhir. Zona inti laboratorium. Tempat mereka menyimpan server pusat dan reaktor biogenik.”
Samuel mengangguk. “Tepat. Tapi zona itu dilindungi lapisan keamanan yang tidak kita temui kemarin akses biometrik ganda, pengawasan drone internal, dan jalur masuk yang dikendalikan AI.”
Robert menatap semua orang. “Kalau kita hanya mengandalkan serangan siber, mereka bisa memulihkan data dari backup offline. Kita harus berada di ruangan itu. Menghapus data langsung dari server induk, dan—”
“—dan menghancurkan reaktor biogenik,” potong Denny. “Tanpa itu, mereka tak bisa memproduksi batch baru.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Semua tahu apa artinya: misi itu bukan hanya berbahaya, tapi hampir bunuh diri.
Misel yang sejak tadi diam, akhirnya bicara. “Kalau kita lakukan itu, Klaus akan tahu siapa yang menghancurkan segalanya. Dia akan mengejar kita tanpa henti.”
Robert menatapnya. “Dia sudah melakukannya, Misel. Bedanya, kali ini … kita yang akan memilih medan pertempuran.”
Samuel mengaktifkan layar tambahan, memperlihatkan denah 3D fasilitas EVA Initiative. “Ada satu celah. Dua belas tahun lalu, sebelum zona inti dibangun penuh, ada lorong teknis untuk saluran pendingin primer. Lorong itu terhubung ke ruang reaktor. Menurut catatan rekayasa lama, pintunya ditutup, tapi struktur fisiknya masih ada.”
Amanda menyeringai tipis. “Jadi kita bisa masuk lewat saluran yang tidak tercatat di sistem keamanan terbaru.”
Jesika menatap Robert. “Tapi kita butuh lebih dari sekadar akses. Kita butuh pengalih perhatian.”
Denny menatap peta, lalu berkata, “Aku punya orang di Swiss. Mantan jurnalis investigasi yang dibungkam oleh EVA Initiative. Dia bisa memicu keributan kecil di pintu masuk utama, cukup untuk membuat mereka mengalihkan sebagian besar pasukan keamanan.”
Samuel menambahkan, “Dan begitu kau di dalam, waktu kita maksimal tiga puluh menit sebelum sistem AI mereka mendeteksi anomali struktural.”
Robert mengangguk pelan. “Tiga puluh menit untuk mengakhiri semua ini.”
Carlos menatap Robert tajam. “Kalau gagal?”
Robert menghela napas. “Kalau gagal, dunia akan melihat versi stabil MR-112_X dalam waktu kurang dari sebulan. Dan tidak ada yang bisa menghentikan perang genetik itu.”
Hening lagi. Tapi kali ini, bukan hening yang ragu. Hening yang penuh keputusan.
Denny berdiri. “Kita berangkat dalam empat puluh delapan jam. Semua persiapan harus selesai besok malam.”
Misel menatap Robert, matanya tajam tapi hangat. “Kau siap?”
Robert menatap kembali, tak ada lagi keraguan di matanya. “Aku tidak punya pilihan lain.”
Di luar, malam Jakarta masih pekat. Tapi bagi mereka, pekatnya malam bukanlah akhir. Itu hanyalah pintu lain menuju bayangan tempat di mana nasib dunia akan ditentukan dalam tiga puluh menit terakhir.
,, biasany org2 yg menciptakan formula/ obat itu untuk menyembuhkan seseorg yg dia sayang