Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Tante Ida berdiri terpaku di ruang tengah rumah Rangga.
Pandangannya menyapu ke seluruh penjuru, dan wajahnya perlahan berubah kaku. Tidak ada lagi jejak Anita. Tidak ada satu pun foto putri kesayangannya di dinding, di meja, bahkan di rak yang dulu penuh dengan kenangan Anita.
Yang ada sekarang hanyalah foto-foto pernikahan Nayla dan Rangga, senyum bahagia mereka terpajang jelas di mana-mana.
“Berani sekali kamu, Nayla… berani sekali kamu menghapus jejak putriku dari rumah ini!” teriak Tante Ida dengan mata berkaca-kaca, tangannya gemetar menahan emosi.
Ia berjalan mendekati salah satu foto besar Nayla dan Rangga yang tergantung di dinding ruang tamu.
Tanpa pikir panjang, dengan amarah yang meluap-luap, ia meraih bingkai foto itu dan melemparkannya ke lantai.
Prang!
Kaca pecah berhamburan, suaranya menggema hingga ke kamar Nayla.
Nayla yang mendengar kegaduhan langsung berlari keluar kamar.
Ia melihat pecahan kaca berserakan di lantai dan Tante Ida berdiri dengan napas memburu di tengah kekacauan. Foto dirinya dan Rangga tergeletak hancur.
Dengan tangan gemetar menahan marah, Nayla merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel.
Ia menekan nomor darurat dan berkata dengan suara tegas namun dingin, “Halo, saya ingin melaporkan tindakan perusakan properti. Alamat saya di…”
Sementara itu, Bi Ina yang sejak tadi berusaha menenangkan keadaan, segera menyusul ke dapur dan menghubungi Rangga dengan cemas.
“Den Rangga, tolong cepat pulang. Di rumah ada keributan besar. Ibu Ida memecahkan foto-foto dan Non Nayla sudah menghubungi polisi…”
Di rumah sakit, Rangga yang sedang berbicara dengan rekannya langsung terdiam mendengar suara panik Bi Ina. Wajahnya menegang, tangannya mengepal.
“Saya segera pulang,” katanya singkat, lalu berlari keluar tanpa mempedulikan tatapan orang-orang di sekitarnya.
Sementara itu di rumah, Nayla berdiri tegak menatap Tante Ida yang masih marah.
“Sudah cukup, Tante. Ini bukan rumah Anita. Ini rumah saya dan suami saya. Kalau Tante tidak bisa menghargai itu, silakan keluar sebelum polisi datang.”
Untuk pertama kalinya, suara Nayla terdengar begitu kuat, penuh wibawa dan ketegasan.
Bukan lagi perempuan yang hanya diam dan menerima. Kini Nayla berdiri untuk dirinya sendiri.
Dan sore itu, rumah mereka menjadi saksi bahwa keberanian bisa muncul dari hati yang paling terluka dan bahwa Nayla Pramesti tidak akan tinggal diam ketika cintanya dihancurkan oleh masa lalu.
Tubuh Nayla terhuyung saat Tante Ida dengan kasar mendorongnya.
Ia tak sempat menahan diri, bahunya mengenai ujung meja dan ia terjatuh tepat di atas pecahan kaca foto yang sebelumnya dipecahkan Tante Ida.
“Aaakh!” jerit Nayla tertahan, wajahnya meringis kesakitan.
Kaki kirinya menginjak serpihan kaca besar, membuat darah langsung mengalir, membasahi lantai keramik putih.
Tante Ida hanya menatapnya sejenak, lalu malah tertawa terbahak-bahak, seolah yang terjadi adalah lelucon menggelikan.
“Lihat kamu sekarang, Nayla! Pantas, memang kamu nggak pernah pantas jadi istri Rangga! Kamu hanya pengganti bayangan anakku!”
Nayla menahan napas, matanya berair menahan sakit.
Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena nyeri yang menusuk, tapi juga karena tak percaya seseorang yang seharusnya menjadi bagian dari keluarga bisa sebegitu bencinya.
Bi Ina yang baru kembali dari dapur langsung menjerit panik saat melihat darah di lantai dan Nayla yang terjatuh.
“Ya Allah, Nona! Ibu Ida, apa yang Anda lakukan?!”
Tanpa pikir panjang, Bi Ina segera berlari ke arah Nayla, berlutut di sampingnya, dan mencoba menghentikan pendarahan dengan handuk bersih.
Di saat yang sama, suara mobil Rangga terdengar dari luar, pintu depan terbuka cepat, dan langkah kaki tergesa masuk ke dalam rumah.
“Nayla!” Rangga berseru histeris saat melihat istrinya tergeletak di lantai dengan darah mengalir dari kakinya, dikelilingi pecahan kaca. Wajahnya langsung pucat, napasnya tercekat.
Ia menoleh tajam ke arah Tante Ida yang masih berdiri dengan senyum sinis di wajahnya.
“Apa yang sudah Tante lakukan?!” suara Rangga menggema, penuh amarah dan luka.
Tante Ida hanya mendengus dan melipat tangannya,
“Aku hanya menyadarkan kamu dari delusi. Nayla bukan Anita. Dia cuma bayangan.”
Tak lama kemudian, suara sirine polisi terdengar mendekat.
Begitu polisi masuk ke rumah dan melihat kondisi ruangan yang kacau serta Nayla yang terluka, mereka segera bergerak cepat.
“Sesuai laporan, Anda telah melakukan kekerasan terhadap Nyonya Nayla Pramesti,” ucap salah satu petugas sambil memborgol tangan Tante Ida yang masih berteriak-teriak tidak karuan.
“Saya ibunya Anita! Saya berhak! Rangga itu milik anak saya, bukan perempuan rendahan ini!” teriaknya sambil memberontak. Namun para polisi tetap membawa Tante Ida keluar dari rumah, masuk ke mobil patroli yang sudah menunggu di luar.
Rangga tidak memedulikan teriakan itu. Fokusnya hanya satu: Nayla.
Dengan penuh hati-hati, ia membopong tubuh istrinya yang masih lemas dan kesakitan, membawanya kembali ke kamar utama.
“Nay, kamu kuat, ya. Ini semua akan segera selesai,” ucapnya lembut, mencoba menenangkan istrinya yang menangis dalam diam.
Sesampainya di kamar, Rangga menidurkan Nayla di ranjang, lalu mengambil tas medisnya yang biasa ia gunakan saat praktik.
Ia duduk di ujung tempat tidur dan membuka perban sementara yang tadi dipasang oleh Bi Ina. Darah masih mengalir, meski tidak sederas sebelumnya. Ia membersihkan luka itu dengan cairan antiseptik, lalu menyayatkan salep antibiotik dengan gerakan lembut.
“Aaah…” desahan kesakitan keluar dari mulut Nayla saat alkohol menyentuh luka terbuka di kakinya.
“Maaf, sayang. Sedikit lagi, tahan sebentar,” bisik Rangga sambil menatap mata istrinya, mencoba mentransfer kekuatan lewat sorot matanya.
Setelah memastikan tidak ada serpihan kaca yang tertinggal, Rangga dengan cekatan membalut luka itu menggunakan perban steril, lalu mengangkat kaki Nayla ke atas bantal agar lebih nyaman.
Ia mengusap rambut istrinya yang basah oleh keringat dan air mata. “Kamu aman sekarang. Tante Ida sudah ditangani. Mulai hari ini, nggak akan ada yang menyakitimu lagi. Aku janji.”
Nayla menatap Rangga dengan mata sembab. “Kenapa semua ini harus terjadi, mas?”
Rangga menarik napas panjang, lalu mengecup kening istrinya dengan lembut. “Karena terkadang, kita harus melewati badai dulu… supaya tahu siapa yang akan tetap tinggal saat langit kembali cerah.”
Di luar, hujan turun perlahan. Dan di dalam kamar itu, meski luka masih segar, kedamaian mulai kembali menghampiri.
Rangga duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan Nayla yang masih lemah.
Melihat istrinya mencoba tersenyum di tengah rasa sakit membuat hatinya terasa sesak, tapi juga hangat. Ia ingin melakukan apapun untuk Nayla.
“Lapar?” tanya Rangga lembut, mengusap punggung tangannya di pipi Nayla.
Nayla mengangguk pelan. “Mau makan mie kuah, yang banyak sayur dan… sedikit pedas,” katanya dengan suara serak tapi penuh harap.
Rangga terdiam sejenak. Ia menarik napas panjang, lalu menggeleng kecil sambil tersenyum tak percaya.
“Mie instan ya? Waduh, kamu ini tahu nggak kalau suamimu ini dokter spesialis jantung?”
Nayla meringis kecil. “Tapi cuma kali ini, mas. Habisnya pengin banget…”
Ia menatap Rangga dengan ekspresi memelas yang membuatnya luluh dalam sekejap.
“Baiklah,” ujar Rangga sambil menghela napas dan berdiri.
“Khusus malam ini, aku izinkan. Tapi dengan syarat, mie-nya harus banyak sayur dan hanya sedikit bumbunya, apalagi pedasnya. Gak boleh terlalu kuat.”
Ia melangkah keluar kamar dan memanggil Bi Ina yang sedang membersihkan meja makan di dapur.
“Bi,” panggil Rangga.
Bi Ina langsung menoleh. “Iya Den Rangga?”
“Nayla minta mie kuah. Tolong masak mie instan satu bungkus aja, tapi tambahkan sayur banyak. Jangan terlalu asin, dan pedasnya… sedikit saja, cukup untuk rasa.”
Bi Ina tersenyum mengangguk. “Iya Den, saya siapkan yang terbaik buat Nyonya.”
Rangga kembali ke kamar, dan duduk di samping Nayla lagi.
“Sebentar lagi mie kamu siap. Tapi nanti setelah makan kamu minum vitamin dan istirahat, ya.”
Nayla mengangguk. “Makasih, mas… Kamu selalu baik.”
Rangga mencium punggung tangan Nayla. “Karena kamu istriku. Dan aku nggak akan pernah capek merawat kamu.”
Tak lama kemudian, aroma harum mie kuah dengan tumisan sayur segar memenuhi ruangan. Bi Ina datang dengan nampan berisi mangkuk besar berisi mie kuah hangat yang menggoda.
“Nah, ini dia permintaan Nyonya,” kata Bi Ina sembari meletakkannya di meja kecil dekat ranjang.
Rangga membantu Nayla duduk bersandar, menyelimutinya, lalu meletakkan bantal di pangkuannya agar ia bisa makan dengan nyaman. Ia bahkan meniupkan uap panas dari mie sebelum menyuapkannya.
Nayla tersenyum bahagia, air matanya hampir jatuh, bukan karena sakit, tapi karena perasaan dicintai yang begitu nyata.
Dalam kehangatan ruangan itu, dalam kesederhanaan semangkuk mie instan dan cinta yang ditunjukkan lewat perhatian, Rangga dan Nayla kembali menemukan arti kebersamaan mereka.
Rangga duduk di samping tempat tidur sambil memandangi wajah Nayla yang mulai kembali bersinar, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih.
Mangkuk mie kuah hangat dengan sayuran segar dan sedikit cabai terletak di atas pangkuan Nayla.
Uapnya mengepul, aromanya begitu menggoda. Kehangatan mie itu seolah menambah kehangatan hubungan mereka malam itu.
Dengan lembut, Rangga menyuapi Nayla suapan demi suapan, memastikan suhu mie tak terlalu panas dan setiap sendoknya nyaman untuk istrinya yang masih dalam masa pemulihan.
Nayla tersenyum kecil setelah beberapa suapan.
“Mas tergoda ya?” godanya sambil melirik suaminya yang dari tadi tampak menelan ludah diam-diam.
Rangga tertawa pelan, tertangkap basah. “Jujur aja ya, aroma mie ini luar biasa. Dulu waktu koas, aku sempat beberapa kali makan mie, tapi setelah jadi dokter, rasanya mulai aku hindari. Sekarang, baunya kok menggoda banget ya…”
Nayla terkikik, matanya berbinar-binar. “Kalau gitu…” Ia mengambil sumpit dari tangan Rangga, menyuapkan satu gulungan mie yang masih hangat ke depan bibir suaminya.
“Mas mau coba?”
Rangga agak terkejut. “Eh, aku disuapin balik nih?”
“Sekali-kali gantian. Ini bagian romantisnya,” ujar Nayla, senyumnya mengembang.
Rangga membuka mulutnya dan menerima suapan itu.
Ia mengunyah perlahan, mencoba menahan senyum.
“Wah, ini enak banget. Apalagi sayurnya pas dimasak, nggak terlalu lembek.”
“Lihat kan, mie instan juga bisa jadi makanan cinta,” candanya.
Rangga tertawa, lalu menggenggam tangan Nayla.
“Apa pun yang kamu makan, asal bareng kamu, pasti rasanya jadi luar biasa.”
Mereka saling berpandangan dalam diam yang nyaman.
Seketika suasana kamar itu terasa begitu hangat, bukan hanya karena uap dari mie kuah yang mengepul, tapi karena kehadiran cinta yang perlahan-lahan membasuh luka dan kesalahpahaman mereka.
Setelah selesai makan, Rangga membersihkan sisa makanan dan menaruh mangkuk ke nampan.
Ia menyelimutkan Nayla dan duduk lagi di sampingnya. Nayla menyandarkan kepala di bahu suaminya, menghela napas pelan.
“Makasih ya, Mas…”
“Untuk apa?”
“Untuk tetap tinggal. Untuk tidak menyerah padaku,” bisik Nayla.
Rangga mencium ubun-ubun nya. “Aku pernah salah, Nay. Tapi aku belajar. Dan sekarang aku ingin membahagiakanmu setiap hari. Bahkan kalau harus makan mie instan setiap malam pun, aku rela.”
Nayla tertawa pelan, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, matanya memancarkan rasa tenang. Dalam dekapan Rangga malam itu, ia tahu kalau ia tak lagi sendirian.