Tang Qiyue adalah seorang pembunuh bayaran nomer satu, dijuluki "Bayangan Merah" di dunia gelap. Di puncak kariernya, dia dikhianati oleh orang yang paling dia percayai dan tewas dalam sebuah misi. Saat membuka mata, dia terbangun dalam tubuh seorang gadis desa lemah bernama Lin Yue di Tiongkok tahun 1980.
Lin Yue dikenal sebagai gadis bodoh dan lemah yang sering menjadi bulan-bulanan penduduk desa. Namun setelah arwah Tang Qiyue masuk ke tubuhnya, semuanya berubah. Dengan kecerdasannya,kemampuan bertarungnya, dan insting tajamnya, dia mulai membalikkan hidup Lin Yue.
Namun, desa tempat Lin Yue tinggal tidak sesederhana yang dia bayangkan. Di balik kehidupan sederhana dan era yang tertinggal, ada rahasia besar yang melibatkan keluarga militer, penyelundundupan barang, hingga identitas Lin Yue yang ternyata bukan gadis biasa.
Saat Tang Qiyue mulai membuka tabir masalalu Lin Yue, dia tanpa sadar menarik perhatian seorang pria dingin seorang komandan militer muda, Shen Liuhan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayucanel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Bunga yang Tumbuh di Tanah Berbeda
Waktu berlalu pelan, seperti angin musim semi yang menyapu sawah dan pepohonan. Hari-hari di desa Qinghe dipenuhi canda anak-anak, hiruk pikuk pasar, dan aroma makanan yang mengepul dari dapur tanah liat. Namun bagi Lin Yue, setiap detik yang berlalu adalah mukjizat yang tak pernah ia duga akan dimilikinya.
Dulu, hidupnya hanya tentang misi. Tentang membunuh atau dibunuh. Tentang menjalani hidup di balik bayang-bayang organisasi masa depan yang dingin dan tak berperasaan. Tapi kini, ia adalah seseorang yang berbeda.
Ia sekarang adalah istri Shen Liuhan.
Ia adalah wanita biasa di mata warga desa.
Ia adalah bunga dari masa depan yang tumbuh di tanah asing.
Pagi itu,seperti biasa, Lin Yue berjalan menuju pasar bersama Shen Liuhan. Di tangan kirinya tergantung keranjang anyaman berisi beberapa kain lap dan uang kertas lusuh. Ia mengenakan baju katun sederhana warna cokelat muda, rambut di kuncir longgar, dan wajah yang dihiasi senyum tenang.
Sepanjang jalan, mereka menyapa tetangga, menanggapi candaan para pedagang, dan sesekali berhenti di lapak sayur milik Ibu Sun.
"Pagi, komandan Shen! Lin Yue, bawalah cucur manis itu ke rumah nanti ya!" seru Ibu Sun sambil tersenyum lebar.
Lin Yue tertawa kecil. "Tentu, Bu. Kalau tidak habis duluan."
Shen Liuhan hanya mengangguk tenang seperti biasa, tapi mata dinginnya menghangat setiap kali memandang Lin Yue.
Saat mereka berjalan pulang, Lin Yue berkata dengan pelan, "Aku menanam bunga di halaman belakang."
Shen Liuhan menoleh. "Bunga apa?"
"Melati," jawabnya. "Simbol kesetiaan dan cinta abadi."
Mendengar itu, Shen Liuhan terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Kau tidak takut kalau bunga itu tidak bisa tumbuh di tanah asing ini?"
Lin Yue memandang ke depan, pada jalur tanah yang mereka lewati, lalu menggenggam tangannya.
"Bunga itu akan tumbuh," katanya pelan. "Karena aku yang menanamnya. Dan aku tak akan membiarkannya mati."
Bagi Lin Yue, bunga itu seperti dirinya.
Bunga dari waktu yang salah, dari dunia yang tak seharusnya ia tempati. Tapi justru di dunia inilah, di tahun 1980, ia menemukan alasan untuk hidup.
Masyarakat desa kini melihat Lin Yue dengan pandangan yang berbeda.
Bukan lagi sebagai gadis aneh yang menikah secara tiba-tiba dengan komandan militer mereka.
Bukan lagi sebagai pendatang asing yang penuh misteri. Melainkan sebagai sosok yang tulus, kuat, dan penuh dedikasi.
Anak-anak menyukainya. Mereka akan berlarian ke arah rumahnya setiap sore untuk mendengarkan cerita. Lin Yue tahu ia tak boleh sembarangan bercerita tentang masa depan, tapi ia pandai menyamarkan menjadi dongeng dan kisah rakyat tentang keberanian, keteguhan hati, dan cinta yang melintas waktu.
Kadang ia berkata, "Pahlawan sejati bukan yang paling kuat, tapi yang paling setia."
Dan anak-anak akan bersorak, menirukan kisah yang baru mereka dengar, seolah Lin Yue adalah tokoh dongeng yang hidup.
Hubungannya dengan Shen Liuhan pun semakin dalam.
Mereka tidak banyak bicara tentang cinta, tapi sikap mereka sudah cukup menggambarkan perasaan itu. Di pagi hari, Shen Liuhan akan menggenggam tangan Lin Yue saat berjalan. Saat makan malam, ia akan mengisi mangkuk Lin Yue lebih dulu. Dan ketika malam turun, mereka akan duduk bersama di bawah pohon tua di belakang rumah, berbagi keheningan yang nyaman.
Suatu sore, saat angin musim gugur mulai berhembus, mereka duduk berdua sambil meminum teh hangat.
"Kau bahagia di sini?" tanya Shen Liuhan, menatap wajah Lin Yue dari samping.
Lin Yue mengangguk pelan."Aku bahagia. Lebih dari yang pernah aku bayangkan."
Shen Liuhan mengeratkan genggamannya. "Kalau begitu, mari kita lindungi kebahagiaan ini. Apa pun yang terjadi."
Lin Yue tersenyum. "Ya. Mari kita lindungi."
Namun di balik senyum itu, Lin Yue tetap waspada.
Instingnya sebagai mantan pembunuh tidak pernah benar-benar mati. Ia masih bangun di tengah malam jika mendengar suara asing. Ia masih menyimpan pisau kecil di bawah tempat tidur. Dan ia masih melatih tubuhnya secara diam-diam di pagi buta, saat orang lain belum bangun.
Ia tahu, laporan masa depan menyatakan dirinya telah "Hilang" dari jalur waktu. Tapi ia juga tahu, sistem seperti itu tidak pernah benar-benar tidur. Akan selalu ada ancaman baru. Akan selalu ada risiko bagi mereka yang melanggar garis waktu.
Namun kini, ia tidak lagi takut.
Dulu, ia bertarung untuk bertahan hidup. Sekarang, ia akan bertarung untuk hidup yang ia pilih.
Ia memilih desa ini.
ia memilih kehidupan.
Dan yang paling penting ia memiliki Shen Liuhan.
Di satu pagi yang cerah, Lin Yue berdiri di halaman belakang rumah, menatap bunga melati yang mulai bertunas. Tangkainya kecil dan rapuh, tapi berdiri tegak di atas tanah kering yang keras.
Ia berjongkok, menyentuh kelopaknya dengan lembut.
"Bertahanlah," bisiknya. "Seperti aku yang bertahan di sini."
Langkah kaki terdengar di belakangnya. Shen Liuhan muncul membawa dua cangkir teh. Ia menyerahkan satu pada Lin Yue, lalu ikut duduk di tanah.
"Bungamu akan mekar," ucapnya.
Lin Yue menoleh. "Kenapa kau yakin?"
Shen Liuhan menatap matanya. "Karena kau tidak pernah menyerah."
Mereka duduk berdua di bawah sinar matahari, dikelilingi oleh aroma tanah, bunga, dan harapan.
Di dunia yang salah, di waktu yang bukan miliknya, Lin Yue memilih untuk tumbuh.
Dan seperti bunga yang menantang musim ia akan mekar dengan caranya sendiri.