Amanda Daniella, gadis manis berusia 23 tahun, karena pengaruh obat yang dimasukkan ke dalam gelas minumnya, dia salah masuk kamar. Dia masuk ke dalam kamar yang diisi seorang pemuda berusia 28 tahun, yang merupakan CEO dari perusahaan besar dan sangat berpengaruh. Karena sudah tidak bisa menahan kabut gairah yang sudah menguasainya, akhirnya malam itu dia menyerahkan pada pemuda yang tidak dia kenal sama sekali itu.
Akibat dari kejadian itu, Amanda akhirnya hamil anak kembar. Tapi, dia tidak tahu pada siapa dia mau menuntut tanggung jawab, karena dia sama sekali tidak mengenal laki-laki itu, bahkan wajahnya saja dia tidak ingat sama sekali.
Bagaimana nasib Amanda setelah itu? apakah dia akan bertemu dengan laki-laki ayah dari anak-anaknya yang kebetulan terlahir genius itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosma Sri Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hasil diagnosa Anin
"Tante tidak bisa bilang apa-apa. Kamu coba saja lihat ini!" Amara memberikan sebuah amplop putih ke Amanda.
Dengan tangan gemetar dan raut wajah yang penuh tanda tanya,Amanda meraih amplop putih yang bertuliskan nama sebuah rumah sakit besar di atasnya. Perasaan Amanda terasa tidak nyaman, Jantungnya berdegup begitu cepat, saat meraih kertas, dari dalam amplop.
Amanda memejamkan matanya sekilas, lalu membuang napasnya ke udara dengan sekali hentakan. Setelah dirasa degup jantungnya mulai berkurang kecepatannya Amanda akhirnya memberanikan diri membuka lipatan kertas itu.
Kedua netra Amanda, membesar dengan sempurna untuk sepersekian detik. Detik berikutnya, manik netra itu berangsur-angsur berubah berkilat-kilat seperti kristal.karena sudah penuh dengan cairan bening yang akhirnya lolos merembes membasahi pipinya.
"Tan, ini tidak benar kan? ini bohong kan?" tangis Amada sambil mengguncang-guncang tangan Amara. Amara yang akhirnya tidak bisa menahan air mata untuk tidak keluarpun beranjak berdiri dan meraih Amanda ke dalam pelukannya.
"Ini benar, Manda. Awalnya tantepun tidak percaya, tapi inilah kenyataannya. Kamu yang sabar ya." Amara mengelus pundak Amanda dengan lembut, memberi ketenangan.
"Tidak! ini pasti bohong." Amanda menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak percaya dengan air mata yang tidak mau berhenti keluar.
Amanda lemas, dan tersungkur ke lantai.
"Kenapa hidup ini tidak adil? Apa dosaku Tuhaaan?! mau berapa banyak lagi cobaan yang mau Kamu berikan padaku? ayo ... ayo kasih sekarang!" teriak Amanda sambil memukul-mukul dadanya.
"Sabar, Manda! kamu tenang dulu! menangis bukan cara yang tepat untuk membuat Anin sembuh." bujuk Amara, tapi dia juga tidak memungkiri, kalau jauh di dalam lubuk hatinya, dia merasakan perih yang amat sangat, begitu melihat hasil pemeriksaan Anin yang dia lakukan diam-diam 3 hari yang lalu, karena merasa curiga dengan keadaan Anin, menyatakan kalau bocah berwajah malaikat itu menderita 'leukimia'. Bagaimanapun dia sudah menganggap Anin seperti cucunya sendiri.
"Apa aku kurang sabar selama ini, Tan? aku dikhianati oleh sahabat dan pacarku, aku sabar dan ikhlas, aku memiliki anak tanpa dampingan seorang suami, aku ikhlas. Papa ku meninggal gara-gara aku ... aku ikhlas. Sekarang apa aku juga harus ikhlas melihat tubuh anak yang aku lahirkan dan besarkan digrogoti penyakit itu? Dia bahkan belum pernah merasakan kasih sayang seorang papa,Tan. Tapi kenapa dia sudah harus merasakan sakit ini? coba Tante bayangkan, tubuh sekecil itu, didiami penyakit berbahaya itu? apa aku harus sabar lagi? aku gak sekuat itu, Tante!" pekik Amanda, dengan air mata yang tidak pernah berhenti mengalir dari matanya.
"Manda, apa yang kamu alami sekarang, mungkin tak mudah kamu pahami, Sayang. Tapi percayalah Tuhan memberikan kamu cobaan, ini karena dia percaya kamu mampu dan kuat untuk melewatinya.Satu hal yang harus kamu pahami, bahwa 'Tuhan tidak akan pernah, memberikan cobaan yang melibihi kekuatanmu'. Manda, percayalah, Nak kalau kamu meminta Roti kepada Tuhan, Tuhan pasti tidak akan memberi ular yang beracun. Jadi tetaplah minta yang terbaik pada Tuhan, dan tanamkan keyakinan di dalam hatimu, bahwa semua yang diberikan Tuhan itu semua indah, termasuk apa yang kamu alami sekarang, agar hatimu terasa plong dan ikhlas. Sekarang yang terpenting kita jangan patah semangat untuk mengusahakan yang terbaik untuk Anin. Karena setiap usaha kita akan diperhitungkan oleh Tuhan. Dan dibalik semua cobaan yang terjadi pasti akan indah pada waktunya.Kamu tenang saja, tante dan om Rudi, akan selalu mendukungmu." tutur Amara panjang lebar, memberikan motivasi pada Amanda.
Amanda terlihat mulai terlihat tenang mendengar semua untaian nasehat yang diberikan oleh Amara. "Ya, aku harus tetap semangat demi Anin, Tan." tekad Amanda, yang dibalas senyuman dan pelukan dari Amara.
"Tapi kenapa Tante bisa membawa Anin untuk periksa? apa dia ada menunjukkan gejalanya? soalnya dia selalu terlihat baik-baik saja di depanku Tan."
Amara menghela napasnya dengan cukup panjang.
"Sekarang kita duduk aja lagi, di kursi itu, Manda!" Amara berdiri, lalu mendaratkan tubuhnya duduk di kursi, disusul oleh Amanda.
Kemudian Amarapun mulai menceritakan awal kenapa dia ada niat untuk membawa Anin periksa ke rumah sakit. Dimana dia merasa curiga melihat Anin yang selalu mimisan dan sakit punggung. Kecurigaannya semakin bertambah ketika melihat Aby yang selalu membeli kunyit dan memberikannya untuk dikonsumsi oleh Anin. Tiga hari yang lalu, ketika dia hendak menjemput Anin dan Aby ke sekolah, Anin tiba-tiba pingsan, dan Amara segera membawanya ke Rumah sakit yang merupakan milik dari keluarga Bagaskara. Dengan kejadian itu, Amara mengambil kesempatan untuk sekalian memeriksa penyakit Anin. Karena selama ini Anin selalu menolak untuk diperiksa.
"Jadi Aby juga sudah tahu gejala yang ditunjukkan Anin, Tan?" Amara menganggukkan kepala, membenarkan.
"Tapi, kenapa dia tidak pernah memberitahukan padaku?"
Amara kembali menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kembali. "Kamu memiliki anak-anak yang hebat, Amanda. Mereka sangat menyayangimu. Mereka tidak mau menceritakan semua padamu, karena tidak mau melihat kamu sedih. Bahkan ketika Anin pingsan kemarin, mereka memohon agar aku tidak memberitahukan padamu."
Air mata Amanda kembali menetes mendengar ucapan Amara.Dia memang mengakui kalau anak-anaknya, tumbuh dewasa belum saatnya, khususnya Aby.
"Tan, apa Anin masih punya kesempatan untuk sembuh?" pertanyaan yang sebenarnya paling ingin dia tanyakan, tapi paling dia takuti 'jawabannya'.
"Masih! Kata dokter, peluang sembuh untuk anak penderita leukimia mencapai 80 sampai 85 persen. Jadi, kamu harus tetap yakin dan berpikiran positif kalau Anin akan sembuh. Dan satu lagi, 'hati yang gembira adalah obat'. Jadi upayakan jangan menunjukkan kesedihanmu di depan Anin, agar Anin tidak ikut sedih. Sebaliknya, kamu harus tetap tersenyum dan kasih dia semangat." ujar Amara memberikan nasehat dan Amanda menganggukkan kepala, meng-iyakan.
"Terima kasih ya, Tan! Aku tidak enak pada Tante dan Om. Kehadiran kami sudah membuat kalian semua susah." Amanda menundukkan kepalanya sambil menyeka air mata yang kembali jatuh.
"Amanda, jangan pernah merasa tidak enak hati, Sayang. Jujur, walaupun Aby dan Anin bukan anak dari Ardan, tapi kami benar-benar menyayangi keduanya dan bahkan kami sudah menganggap mereka cucu kami sendiri. Kami merasa hari-hari kami semakin hidup dengan hadirnya mereka berdua." ucap Amara dengan seulas senyum di bibirnya.
"Kami juga merasa seperti melihat Ardan kecil jika melihat Aby, baik wajah maupun sikapnya. Mata Anin juga sangat mirip dengan mata Ardan. Aku juga bingung kenapa bisa seperti itu. Apa papa mereka itu, mirip dengan Ardan? kan katanya di dunia ini kita memiliki 7 kembaran." tanya Amara yang membuat Amanda seketika tercenung dan bingung untuk menjawab.
"Hmm, a-aku juga tidak tahu, Tan. Karena sejujurnya ___"
"Mamaaa! tolong Anin ... Anin pingsan lagi!" Aby tiba-tiba muncul dengan wajah panik.
tbc