Istriku menganut childfree sehingga dia tidak mau jika kami punya anak. Namun tubuhnya tidak cocok dengan kb jenis apapun sehingga akulah yang harus berkorban.
Tidak apa, karena begitu mencintainya aku rela menjalani vasektomi. Tapi setelah pengorbananku yang begitu besar, ternyata dia selingkuh sampai hamil. Lalu dia meninggalkanku dalam keterpurukan. Lantas, wanita mana lagi yang harus aku percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dunia Alendra
🌸
🌸
Sosok Asyla selalu menjadi hal pertama yang menyambutnya begitu dia tiba di rumah, dan itu menimbulkan perasaan tersendiri baginya. Rasa kesepian yang semula begitu mencekam perlahan hilang dan terlupakan, berganti kegembiraan dan kelelahan yang pulih dengan sendirinya. Apalagi saat suara ocehan Tirta, yang meski bahasanya tidak terlalu jelas tetapi maksudnya bisa dia pahami.
“Pesawaaattt!!!” Anak itu merangkak dengan cepat saat Alendra mengeluarkan pesawat kertas dari saku jas nya, dan hal itu membuatnya tertawa penuh kegembiraan. Dia pun mempercepat langkah agar mereka segera bisa berdekatan.
“Kemarin sudah bisa jalan, kenapa hari ini merangkak lagi?” katanya yang meraup tubuh Tirta agar dia bisa berdiri.
“Pesawat, Bapak. Pesawat!!” Tangan kecilnya menggapai-gapai meminta mainan yang sangat disukainya itu.
“Iya, ini pesawat.”
“Pesawat besar, Bapak. Pesawat besar!”
“Iya, besar. Kamu suka, kan?”
“Hu’um.” Lalu Tirta segera memainkannya.
“Pesawat kertasnya sudah banyak, Pak.” Asyla menunjuk sebuah keranjang yang hampir dipenuhi oleh pesawat kertas tersebut, yang setiap sore dibawa Alendra sepulangnya dari tempat bekerja. Dia memang tak pernah absen membuatnya, entah di kala bosan atau sekedar mengalihkan perhatian saja. Dan itu menjadi semacam aktifitas wajib yang tak bisa dilewatkan meski masih di jam kerja.
“Oh ya?” Pria itu tertawa, dan benda tersebut memang hampir memenuhi keranjang cucian.
“Keranjang untuk cucian jadi berkurang, saya jadi bolak-balik kalau mau menjemur.”
“Kenapa pesawatnya nggak kamu buang?”
“Nanti Tirta marah. Kemarin hilang satu saja dia ngamuk. Setelah dapat dari tong sampah baru dia diam. Itupun sudah lecet.”
“Masa? Kenapa?”
“Nggak tau.”
“Kok dia bisa tau kalau hilang satu? Memangnya sudah bisa menghitung ya?”
“Kurang tau juga, tapi dia suka sadar kalau ada mainan yang hilang. Kemarin mangkok warna orange yang saya lupa naruhnya di mana.”
“Aneh sekali?”
Asyla menggendikkan bahu.
“Memangnya kita hanya punya satu keranjang seperti itu? Kok kamu sampai bolak-balik?”
“Ada dua. Yang satu untuk pakaian kotor di kamar Bapak, satu lagi ya di ruang cuci.”
“Nanti beli lagi. Di swalayan ada?”
“Nggak tau, kalau di pasar banyak. Atau tunggu mobil perabotan saja.”
“Mobil perabotan?”
“Tukang perabotan keliling, pakai pick up yang datangnya seminggu sekali. Jualannya sambil teriak-teriak. Biasanya datang hari Sabtu atau minggu.”
“Ya sudah, beli saja. Berapa harganya?”
“Macam-macam tergantung ukuran. Ada yang 50 ribu, ada yang 70 ribu.”
“Yang 70 ribu saja beli empat.”
“Banyak amat?”
“Biar bisa menampung cucian banyak, kan?”
“Tapi berat kalau mau diangkat karena kebanyakan.”
“Ya sudah, yang 50 ribu saja.”
“Empat biji juga?”
“Terserah kamu butuhnya berapa.”
“Sepertinya dua juga cukup.”
“Nggak sekalian untuk wadah mainannya Tirta?”
“Sudah ada.”
“Pakai apa?”
“Saya nemu kardus di gudang.” Asyla menunjuk sebuah kotak di sisi teras.
“Oh …. Ya sudah, terserah kamu.”
Wanita itu mengangguk.
“Bapak kalau mau makan sekarang sudah saya siapkan kok.” Lalu dia berbicara lagi.
“Oh ya? Masak apa hari ini?”
“Ayam asam manis, capcai sama tempe mendoan.”
“Sepertinya enak.”
“Nggak tau, baru masak juga.”
“Dapat resep dari majalah lagi?”
“Bukan. Majalahnya sudah habis saya baca.”
“Terus dari mana?”
“Hape.”
“Memangnya sudah bisa cari video?”
“Bapak ini ledekin saya ya?”
“Lho, kok ledekin?”
“Ya soalnya tanya gitu.”
“Saya ‘kan cuma tanya, memangnya terdengar seperti meledek?”
“Bapak kayak lagi sebut saya nggak bisa pakai hape kalau tanya gitu.”
“Hah?”
“Secanggih-canggihnya hape, saya masih bisa belajar juga lho. Nggak bodoh-bodoh amat lah biarpun tinggal di kampung.”
“Lho, saya nggak bilang kamu bodoh, Syl.”
“Tapi dengan tanya gitu Bapak kayak lagi sebut saya bodoh.”
“Nggak.”
“Saya merasanya gitu.”
Alendra terdiam.
“Sudah, kalau Bapak mau makan silahkan sekarang. Semuanya sudah saya siapkan!” Tiba-tiba saja Asyla merebut tas kerja Alendra kemudian menggendong Tira, lalu membawanya masuk ke dalam rumah sedangkan sang majikan terbengong-bengong di tempatnya berdiri.
“Kenapa dia itu? Lagi pms apa ya?” Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal.
***
“Minggu depan teman-teman saya mau ke sini, Syl.” Ruang tengah menjadi pilihan Alendra untuk melepas penat. Setelah dia makan dan membersihkan diri. Televisi menyala menayangkan program hiburan yang diisi artis terkenal ibu kota.
“Teman-teman?” Sedangkan Asyla yang tengah membereskan meja makan pun menyahut.
“Teman kerja di kantor.”
“Oh, kirain.”
“Apa?”
“Teman yang lain.”
“Teman yang lain apa?”
“Teman dekat, gitu.”
“Mana ada?”
“Iya, kirain. Berapa orang?”
Alendra terdiam sebentar, “berapa ya? Mungkin ada sekitar 20 orang.”
“Banyak amat.”
“Makanya saya sebut teman-teman. Bukan teman saja.”
Asyla tertawa. Suaranya terdengar renyah di telinga dan itu membuat Alendra juga tersenyum. Rasanya menyenangkan mendengarnya seperti itu, dan dia sudah terbiasa.
“Jadinya saya harus siapin apa?”
“Belum tau. Katanya mau bawa akomodasi sendiri. Mungkin nggak usah.”
“Masa mau ada tamu saya nggak ngapa-ngapain? Nggak bikin makanan gitu?”
“Ya ‘kan mereka bilang mau bawa, kita hanya menyediakan tempat saja.”
“Hmm … ya sudah. Kirain harus masak apa gitu. Kalau boleh tau, memangnya ada acara apa? Bapak ulang tahun?”
“Bukan, ulang tahun saya masih lama. Itu hanya acara tahun baruan saja.”
“Kok tahun baruannya di sini?”
“Nggak tau, mereka yang mau. Padahal tadinya saya mau tiduran saja sambil nunggu pergantian tahun. Eh, malah ada yang mau ke sini.”
“Kenapa nggak Bapak tolak saja?”
“Nggak enak. Mana manager lain mau ikut juga lagi. Katanya mau tau tempat tinggal saya.”
“Teman-teman Bapak manager semua?”
“Rata-rata iya. Ada beberapa sekretaris sama staf lain juga.”
“Wah ….”
“Kenapa?”
“Manager, sekretaris, staf kantor … pasti mereka sarjana semua.”
“Ya memang, saya juga.”
“Bapak sarjana?”
“Uh’um ….”
“Terus kerjaan Bapak apa?”
“Saya yang mengatur dan memeriksa keuangan di perusahaan.”
“Bapak manager juga?”
“Tentu saja.”
“Manager keuangan?”
“Iya, Asyla. Itu kerjaan saya.”
“Wow ….”
“Kenapa sih?”
“Kata tetangga saya, manager itu posisi yang sangat tinggi di perusahaan. Jadi keren sekali kalau Bapak kerjaannya gitu.”
“Tinggi apanya? Masih ada atasannya juga. Yang paling tinggi ya tetap pemilik perusahaan.” Pria itu tertawa.
“Masa?”
“Ya, di sana ada direktur, wakilnya, asisten pribadi, dewan perusahaan. Dan manager hanya sebagian kecil saja.”
“Tapi kata tetangga saya manager itu gajinya paling besar.”
“Manager apa dulu.”
“Jadi beda-beda ya?”
“Jelas beda. Tergantung pekerjaan dan tanggung jawabnya.”
“Memangnya tetanggamu kerjanya apa sampai-sampai bisa bicara begitu?”
“Suaminya tukang parkir di mini market.””
Tawa Alendra menyembur seketika setelah mendengar perkataan asisten rumah tangganya itu.
“Dari mini market ke perusahaan mana tau hal seperti itu? Ada-ada saja kamu ini?”
“Memangnya salah ya?”
“Ya nggak salah juga sih. Tapi dia sok tau.”
“Hmm ….”
“Mbuuu, ‘nen Mbu!!” Lalu ucapan Tirta yang semula bermain di lantai depan televisi menginterupsi percakapan itu.
“Sebentar, Ibu belum selesai.” Asyla pun beralih kepada putranya.
“Nen, Mbu. Nen!!” Namun anak itu terus berbicara. Kedua tangannya terangkat minta digendong.
“Iya, nanti setelah ini ya?”
“Nggak! Mau ‘nen!!!” Lalu dia mulai merengek sehingga Alendra segera bereaksi. Dia bangkit dan segera menggendong Tirta.
“Kalau main pesawat dulu bagaimana? Biar ibunya selesaikan dulu kerjaan.” Dia membawanya ke area belakang.
“Iya, pesawat!!” Dan segera saja perhatian Tirta teralihkan.
“Baik, ini dia … pesawat tempur yang mau meluncur!!” Alendra memposisikan anak itu seperti pesawat terbang, lalu dia membawanya berlari kecil di teras.
“Awas ada musuh, siapkan amunisi!!” Lalu suara-suara tiruan pertempuran mulai terdengar diselingi gelak tawa dua lelaki berbeda usia itu. Alendra yang membawa Tirta bermain dengan imajinasinya sedangkan anak itu yang terdengar begitu gembira. Mereka seakan masuk ke dalam dunia berbeda di mana siapapun sama di dalamnya.
🌸
🌸
costplay jadi bapak🤣🤣
Ini perempuan main nyelonong masuk tempat tinggal orang aja, bok permisi kek🤦♀️
Listy ini mangkin lama mangkin ngelunjak kayaknya
Ale bukan hanya ga rela kalo Syla disuruh-suruh tapi yang pasti dia ga rela Syla dilirik laki² lain.
Kekecewaan Ale akibat pengkhianatan sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan kehadiran, Syla dan Tirta.