Seorang Food Vlogger modern yang cerewet dan gila pedas, Kirana, tiba-tiba terlempar ke era kerajaan kuno setelah menyentuh lesung batu di sebuah museum. Di sana, ia harus bertahan hidup dengan menjadi juru masak istana, memperkenalkan cita rasa modern, sambil menghindari hukuman mati dari Panglima Perang yang dingin, Raden Arya.
13. Pagi Tanpa Aroma Terasi (Bonus Chapter)
Matahari terbit di ufuk timur Kerajaan Arcapada, namun sinarnya terasa pucat.
Di dapur paviliun, Laras duduk meringkuk di dekat tungku yang dingin. Matanya bengkak. Di pangkuannya, ia memeluk erat buku resep ‘The Legend Of Sambal’ yang ditulis Kirana.
Di sebelahnya, Ki Gedeng Roso berdiri kaku, mengetuk-ngetukkan sendok kayunya ke telapak tangan dengan gelisah.
“Sudah siang,” gumam Ki Gedeng serak. “Biasanya jam segini bocah itu sudah berisik minta kayu bakar. Kenapa sepi sekali?”
Pangeran Dipa, yang berdiri di ambang pintu, hanya menunduk ke lantai tanah. Ia tahu jawabannya, tapi lidahnya kelu untuk mengucapkannya.
Terdengar langkah kaki berat mendekat.
Raden Arya muncul. Penampilannya masih rapi dengan beskap hitamnya semalam, namun ada lingkaran hitam di matanya dan sorot kehampaan yang begitu dalam di wajahnya. Ia seperti raga tanpa jiwa.
Laras langsung berdiri, menatap tuannya penuh harap. “Gusti Panglima…Nyai Key…mana?”
Arya berhenti di depan tungku tempat Kirana biasa memasak. Ia menyentuh wajan baja hitam yang dingin itu dengan ujung jarinya.
“Dia sudah pulang,” suara Arya datar, tanpa emosi. “Ke tempat di mana bintang-bintang berasal.”
Isak tangis Laras pecah seketika. Gadis itu merosot ke lantai, memeluk kaki Arya. “Nyai Key…hiks…Nyai Key ninggalin kita…”
Ki Gedeng Roso membuang muka, bahunya bergetar hebat. Pria tua itu mengusap matanya kasar dengan lengan baju. “Dasar bocah nakal. Pergi tanpa pamit. Siapa yang akan mengajariku cara bikin Seblak yang benar sekarang?”
Pangeran Dipa melangkah maju, menepuk bahu kakaknya pelan. “Kakang Arya…kau baik-baik saja?”
Arya menepis pelan tangan Dipa. Ia menegakkan tubuhnya, kembali menjadi Panglima Perang yang tegar. Ia tidak boleh terlihat lemah. Itu janjinya pada Kirana.
“Dengar!” Suara Arya menggema, membuat tangis Laras terhenti sejenak.
Arya menatap semua orang di dapur itu satu per satu dengan tatapan tajam.
“Mulai hari ini, tidak ada yang boleh bersedih. Kirana tidak suka air mata,” ucap Arya tegas. “Tugas kita sekarang adalah menjaga apa yang ia tinggalkan.”
Arya menunjuk buku resep di pelukan Laras.
“Laras, kau hafal semua resepnya kan? Mulai hari ini, kau yang memimpin dapur paviliun ini. Masaklah menu-menu aneh itu untuk Raja, untuk Dipa, dan untukku. Jangan biarkan rasa masakan Kirana hilang dari lidah kita.”
Laras mengangguk kuat-kuat sambil sesenggukan. “S-siap, Gusti.”
Arya beralih pada Ki Gedeng. “Dan kau, Ki. Pastikan nama Kirana dicatat dalam sejarah dapur kerajaan. Tuliskan bahwa pernah ada wanita asing yang menyelamatkan nyawa Raja dengan sepiring bubur.”
“Akan hamba lakukan, Gusti,” jawab Ki Gedeng parau.
Arya mengangguk singkat. Ia berbalik badan, hendak pergi. Namun sebelum melangkah keluar, ia berhenti sejenak dan menatap langit biru dari celah atap dapur.
“Dia tidak meninggalkan kita,” bisik Arya, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia hanya…menunggu di ujung waktu yang lain.”
Arya berjalan pergi meninggalkan paviliun yang kini terasa terlalu luas dan sepi. Ia berjalan menuju ruang kerjanya, memulai hari pertamanya dalam penantian panjang seumur hidup. Penantian seorang pria yang setia pada hantu masa depannya.
Satu Tahun Kemudian.
Paviliun Cakra masih sama seperti dulu. Hanya saja, kini ada satu ritual baru.
Setiap malam Jumat Kliwon, Raden Arya akan duduk sendirian di teras belakang, menghadap hutan larangan. Di meja kecil di hadapannya, tersaji sepiring Nasi Goreng Kampung buatan Laras.
Arya tidak memakannya. Ia hanya membiarkan aroma itu menguar, menemaninya minum teh bunga rosella.
“Rasanya sudah mirip, Gusti,” komentar Laras yang kini sudah menjadi Kepala Dapur yang tegas.
Arya tersenyum tipis, menyesap tehnya. “Memang. Tapi tidak akan pernah bisa kau tiru, Laras. Karena bumbu yang kurang itu adalah omelannya saat aku makan berantakan.”
Malam itu, Arya makan dalam diam, ditemani bayang-bayang tawa seorang gadis yang tak kasat mata.
Sepuluh Tahun Kemudian.
Rambut Raden Arya mulai dihiasi uban perak di pelipisnya. Garis-garis wajahnya semakin tegas, matanya semakin bijaksana. Ia kini bukan hanya Panglima, tapi juga tangan kanan Raja yang paling di percaya.
Di Balairung Istana, para penasihat kerajaan mendesak.
“Raden Arya, usia anda sudah matang. Posisi anda butuh pewaris. Putri dari Kadipaten Tuban bersedia menjadi istri anda. Dia cantik, pandai memasak, dan…”
“Cukup,” potong Arya tenang namu tegas. Suaranya membuat seluruh ruangan senyap.
“Tapi Raden…”
Arya berdiri dari kursinya. Ia memegang hulu keris di pinggangnya—di mana terselip sebuah benda kecil berwarna merah muda yang tak pernah ia lepas.
“Aku sudah menikah,” ucap Arya lantang. “Jiwaku sudah menikah dengan kenangan. Dan aku adalah tipe pria yang setia. Jangan pernah tawarkan wanita lain padaku, atau kalian menghina kesetiaanku.”
Sejak hari itu, tidak ada lagi yang berani menjodohkan Sang Panglima. Rakyat mulai memanggilnya Arya Ingkang Setya (Arya yang Setia).
Tiga puluh tahun Kemudian.
Prabu Wirabumi telah mangkat. Pangeran Dipa (kini Raja) sudah tua. Dan Raden Arya sudah pensiun dari medan perang.
Ia menghabiskan masa tuanya bukan di istana megah, melainkan kembali ke Paviliun Cakra yang sederhana.
Setiap pagi, kakek tua yang gagah itu akan terlihat membersihkan sebuah Lesung Batu di museum kerajaan (dulu dapur istana). Ia mengelapnya dengan kain halus, seolah benda mati itu adalah permata.
Anak-anak kecil sering berkumpul mendengarkan ceritanya.
“Kek, ceritakan lagi tentang Wanita dari Langit!” Pinta seorang bocah.
Arya akan tersenyum, matanya menerawang jauh. “Dia bukan dari langit, Nak. Dia dari masa depan. Dia datang membawa api yang bisa membakar lidahmu, tapi juga bisa menghangatkan hatimu yang paling beku.”
Arya menuliskan kisah itu dalam serat-serat lontar. Bukan untuk di publikasikan sekarang, tapi ia berpesan pada juru tulis : “Simpan ini. Kubur di tempat yang aman. Biar orang-orang masa depan yang membacanya.
Hari Terakhir : Tahun 1440 Masehi.
Hujan turun rintik-rintik membasahi bumi Majapahit.
Di dalam kamar Paviliun Cakra, Raden Arya berbaring lemah di atas dipan kayunya. Tubuhnya yang dulu kekar kini kurus di makan usia, namun sisa-sisa kegagahannya masih terlihat jelas.
Napasnya berat dan satu-satu.
Di sampingnya, Laras yang sudah renta duduk bersimpuh sambil menangis pelan, memegang tangan tuannya.
“Jangan menangis, Laras,”bisik Arya, suaranya parau. “Bukankah sudah kubilang…dia tidak suka air mata?’
“Hamba tidak siap, Gusti,” isak Laras.
Arya tersenyum. Wajahnya terlihat sangat damai. Tidak ada rasa takut sedikit pun.
“Kenapa tidak siap? Aku sudah menunggu hari ini selama empat puluh tahun, Laras. Hari ini…tugasku menjaga rindu akhirnya selesai.”
Dengan tangan gemetar, Arya merogoh bungkusan kain di balik bantalnya. Ia mengeluarkan benda itu.
Jepit Rambut Merah Muda.
Warnanya sudah pudar, plastiknya sudah rapuh, tapi Arya memandangnya dengan tatapan penuh cinta, seolah itu adalah benda terindah di dunia.
Ia menggenggam jepit itu d tangan kanannya, lalu mendekapkannya di dada.
“Kuburkan aku…bersama ini,” wasiat Arya. “Dan Keris Kyai Sengkelat. Agar dia tahu…aku menjaganya dengan pedang dan cintaku sampai mati.”
Pandangan Arya mulai kabur. Langit-langit kamar perlahan berubah menjadi cahaya putih.
Di tengah cahaya itu, ia melihat siluet seseorang.
Gadi muda dengan kemeja flanel kotak-kotak dan celana sobek-sobek. Gadis itu tersenyum lebar, melambaikan tangan, memegang dua bungkus cilok.
“Lama banget sih, Mas? Keburu dingin nih ciloknya!”
Arya tertawa pelan. Tawa terakhirnya.
“Maaf membuatmu menunggu…” bisik Arya, air mata bahagia menetes dari sudut matanya yang keriput. “Aku pulang…Kirana.”
Mata Sang Panglima terpejam perlahan.
Genggaman tangannya pada jepit rambut itu mengerat untuk terakhir kalinya, lalu melemas.
Raden Arya Wirasena, Panglima Perang Arcapada, telah wafat dalam damai. Ia pergi bukan menuju kematian, melainkan menuju sebuah janji pertemuan di kehidupan selanjutnya.
Di luar, hujan berhenti. Pelangi muncul melengkung indah di atas Paviliun Cakra, seolah menjadi jembatan yang mengantar jiwa sang ksatria menuju kekasihnya.
“Cinta tidak mengenal waktu. Ia hanya mengenal siapa pemiliknya. Dan sejauh apapun waktu memisahkan, cinta akan selalu menemukan jalan pulang.”
(Cerita berpindah ke Kirana yang terbangun di Museum Nasional Jakarta, memegang cincin merah delima).