Perjalanan hidup sebuah nyawa yang awalnya tidak diinginkan, tapi akhirnya ada yang merawatnya. Sayang, nyawa ini bahkan tidak berterimakasih, malah semakin menjadi-jadi. NPD biang kerok nya, tapi kelabilan jiwa juga mempengaruhinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmanthus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi menegangkan
Waktu berlalu dengan cepat, malam itu mereka makan terpisah. Joni dan Doni membeli makanan di luar, lalu makan berdua. Selesai makan Joni baru memanggil Nita untuk makan dan mereka membiarkan Nita makan sendiri.
Sedangkan makanan untuk ayah dan ibunya diantarkan ke kamar.
Jarang sekali seperti ini. Karena biasanya mereka duduk bersama-sama makan malam.
Nita yang kesal makan sendiri hanya menyentuh sedikit dan membuang sisa nya.
Tidak usah heran, bu Tere memang selalu menutupi ini dari pak Guntur. Jadi bagi Nita sudah hal biasa membuang makanan yang tidak dia suka.
Dia juga akan terus menerus memakan makanan yang dia suka sampai bosan. Bisa saja dalam 1 minggu itu dia makan ayam goreng jika memang suka. Dan bahkan 2 minggu berturut-turut dia akan makan ayam goreng setiap harinya, baik itu makan siang maupun makan malam.
Selesai membuang makanannya, dia kembali ke kamarnya dan tidak keluar lagi.
Bu Tere dan pak Guntur sendiri memilih makan di kamar karena sedang menata hati. Bu Tere tidak selera makan, pak Guntur harus makan supaya tidak sakit, karena pak Guntur memiliki penyakit asam lambung.
Di kamar mereka juga hanya berdiam diri, bu Tere sibuk merapikan kembali pakaian yang sudah dilipat untuk diletakkan di lemari.
"Sayang..." panggil bu Tere akhirnya.
"Ya?" tanya pak Guntur.
"Lain kali jangan emosi lagi. Aku juga akan usahakan agar Nita tidak berbicara seperti tadi lagi." ujar bu Tere akhirnya.
"Bagaimana tidak emosi? Selama dia kurang ajar ke kamu, aku juga tidak bisa terima. Aku loh, kepala keluarga di rumah ini, yang mencari nafkah di rumah ini, tidak pernah memperlakukan kamu begitu." Tekan pak Guntur.
"Tapi dia? Yang masih mengharapkan biaya hidup dari kita, masih dicuci kan bajunya, masih disediakan makannya, masih dibayarkan uang sekolah nya, berani begitu sama kamu?"
"Siapa yang tidak marah? Dalam kondisi dia hidup bergantung dengan kita saja dia berani begitu, usia belasan loh, aku tidak bisa membayangkan jika dia lebih dewasa lagi, ntah apa yang akan dia lakukan."
Bu Tere menghela nafas mendengar rentetan kebenaran yang diutarakan pak Guntur.
"Aku ingatkan ya sayang, jangan kamu terlalu berharap ke depannya dia akan peduli kepada kita. Sedangkan dia masih 100% bergantung hidup kepada kita saja dia sudah begini, apalagi kalau dia sudah mandiri." tawa pak Guntur sinis.
Bu Tere tersentak ketika mendengar perkataan suami nya. Yang dibilang ada benarnya. Jika Nita tidak berubah, bisa saja malah mereka yang jadi bulan-bulanan dia, jangan kata minta tolong, mungkin mereka akan dicaci maki.
Tapi dengan cepat dia menepis semua pemikiran itu.
"Semoga saja Nita bisa berubah lebih baik sayang. Sekarang ini kan memang usia nya dia memberontak." jawab bu Tere mencoba menenangkan suaminya.
"Yah, semoga saja." jawab pak Guntur tidak mau lagi berdebat.
Di relung hati nya yang paling dalam, bu Tere sadar bahwa bisa saja tidak ada perubahan sama sekali. Tapi dia tetap berpikir positif.
Sedangkan pak Guntur kembali terngiang perkataan ibunya perihal Nita bayi dulu, "Bukan jodoh."
Memang banyak sekali sudah mereka alami sejak Nita masuk ke keluarga mereka. Tepat 1 bulan diambil, kebakaran melanda. Sebelum itu juga pak Guntur mengalami kecelakaan. Lalu berbagai masalah yang ditimbulkan Nita ketika masuk sekolah. Ok lah anggap saja hanya kebetulan. Tapi pertengkaran di depan rumah? Itu bukan kebetulan lagi.
Bahkan anaknya Joni dan Doni saja tidak berani seperti itu di depan umum.
Pak Guntur hanya mengurut pelipis nya yang mulai terasa sakit.
"Setelah ini kamu tidurlah, besok anak-anak mau sekolah." ujar pak Guntur lagi.
"Iya, setelah ini selesai aku mau istirahat." jawab bu Tere.
Sejak Nita masuk SMP, dia tidak lagi berjualan risol. Semua kebutuhan bisa tercukupi dari penghasilan pak Guntur yang sudah semakin agak baik. Jadi bu Tere bisa mengurus rumah saja.
Malam itu berlalu dengan keheningan yang membuat siapa saja dalam rumah itu tidak nyaman. Seakan mereka takut menyambut pagi.
"Kukuruyuk...." sudah kali ke tiga ayam berkokok dan pak Guntur baru tersentak bangun.
Dilihatnya ke tempat bu Tere tidur, sudah kosong dan rapi. Akhirnya pak Guntur bangkit dan menuju kamar mandi.
Di dapur terlihat bu Tere sedang memasak nasi goreng dengan potongan sisa rendang kemarin (rupanya pak Guntur tidak menghabiskan lauknya dan menyisihkan setengah untuk dimakan besok) , semua dicampur jadi satu. Jadilah nasi goreng rendang ala bu Tere.
Pak Guntur hanya tersenyum simpul, ya begitulah istrinya. Ada saja idenya untuk mengolah sisa lauk kemarin.
Akhirnya semua duduk bersama di meja makan, sebelum makan bu Tere sengaja menyuruh Nita untuk meminta maaf terlebih dahulu.
"Nita, minta maaf kepada ayahmu. Kemarin itu kamu sudah sangat salah sekali." ujar bu Tere tegas.
Joni dan Doni kaget melihat bu Tere yang biasanya lembut kepada Nita ternyata bisa tegas juga.
Bagaimana bu Tere tidak tegas? Kalau Nita berbuat ulah lagi dan suaminya malah beneran serangan jantung? Kan mereka semua juga yang kesusahan. Pak Guntur adalah tulang punggung keluarga, jangan sampai malah jatuh sakit parah.
"Maaf ayah, harusnya aku tidak marah-marah dan ribut-ribut di luar seperti kemarin." ujar Nita menundukkan kepalanya.
"Ya sudah, jangan dilakukan lagi. Kalau memang kamu mau kembali ke kakekmu Simon, silahkan. Kami juga tidak bisa melarang mu, kamu kan sudah besar, sudah bisa memutuskan sendiri yang terbaik untukmu."
Ada nada sindiran dalam kalimat pak Guntur itu. Semua yang mendengar sadar itu, tapi mereka hanya diam.
Diam karena takut memancing emosi ayah nya dan juga karena tidak mau memperkeruh suasana.
"Tidak ayah, aku tidak mau dikembalikan ke kakek Simon. Aku mau bersama ayah dan ibu saja." jawab Nita cemas.
Terdengar nada panik dari jawabannya itu dan pak Guntur hanya tersenyum miris.
Ya, dia paham. Setelah dibawa ke rumah pak Simon, pastilah terlihat perbedaan yang jelas. Meskipun kondisi rumah mereka ini terbilang sangat sederhana, rumah pak Simon boleh dibilang rumah terbengkalai. Karena kedua orangtua ini terlalu terpuruk dalam kesedihan hati, sehingga mereka tidak memikirkan lagi mengurus hal kecil semisal menyapu lantai.
Dan Nita anak yang gampang jijik melihat hal kotor. Makanya pak Guntur paham dengan nada panik di jawaban Nita itu.
"Ayah tidak akan memaksa atau melarang, tapi tawaran ayah ini akan berlaku untuk selama-lamanya. Jika suatu saat kamu berubah pikiran, silakan kembali ke ibumu Ema atau ke kakekmu Simon. Kami akan dengan sukarela melepaskan mu. Tapi jika kamu mau tetap disini, ikuti aturan di rumah ini." tegas pak Guntur.