NovelToon NovelToon
Cinta 'Terkontrak'

Cinta 'Terkontrak'

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Romansa / Slice of Life / Chicklit
Popularitas:11.1k
Nilai: 5
Nama Author: Luckygurl_

Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.

Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hukuman

Keterkejutan Maha saat mengetahui bahwasanya Sadewa memiliki seorang putri kecil masih menyisakan kegelisahan. Bukan karena ia tak menyukai Embun, justru sebaliknya, gadis kecil itu begitu manis. Tapi yang membuatnya marah adalah Sadewa yang tak jujur.

Setiap kali mengingat momen itu, Maha merasa hatinya sesak. Ia menginginkan transparansi dan kejujuran yang sederhana. Namun, kenyataan yang ia hadapi adalah kebohongan yang tak terucap. Maha merasa seolah hidupnya sedang dimainkan dan ia tidak tahu harus melangkah ke arah mana.

Luxury Golf, yang terletak tidak jauh dari apartemen Maha, menjadi tempat pelarian sejenak dari segala hiruk-pikuk pikirannya. Hamparan driving range yang hijau membentang luas di depannya, menyuguhkan pemandangan yang menenangkan.

Saat ini, Maha mengenakan pleated skirt yang dipadukan dengan tanktop, kombinasi sempurna yang memadukan kesan sporty dan feminin. Pleated skirt itu memberikan keleluasaan gerak yang ia butuhkan untuk bermain golf, tanpa mengurangi sisi modis penampilannya.

Sementara, tanktop simpel yang Maha kenakan terasa nyaman di bawah terik matahari. Tak lupa, ia mengenakan kacamata hitam dengan frame stylish, melindungi matanya dari sinar UV sekaligus memberikan kesan elegan. Warna-warna monokrom yang ia pilih untuk skirt dan tanktop memberikan tampilan yang timeless. 

Visor cap dari Adidas melindungi matanya dari silaunya matahari dengan pinggiran yang melengkung sempurna, sementara bahan jaring dan teknologi aeroready yang menyerap keringat membuatnya tetap kering di cuaca panas. Penutup yang dapat disesuaikan memastikan visor tersebut pas di kepalanya.

Maha merasa sangat penat dan pada akhirnya memilih untuk bermain golf bersama Niken. Angin sepoi-sepoi menyapa kulitnya, membawa sedikit rasa nyaman di tengah kegelisahannya. Ia sudah memasang kuda-kuda, posisi tubuhnya tegap, matanya terfokus pada bola di tee. Dengan ayunan yang mantap dan perhitungan yang cermat, tongkat golf segera ia ayunkan.

Tak!

Bola melesat tinggi, melintasi lapangan. Namun melewati flag-stick. Hal itu pun membuat Niken tertawa renyah, bertepuk tangan sambil menghampiri Maha.

“Fairway shot…” ledeknya sambil menyeringai.

Maha mendengus, ekspresinya kesal namun tetap terkesan lucu. “Ah, sialan!” ucapnya lirih, menatap bola yang melampaui targetnya.

Niken tertawa lagi, menepuk bahu Maha dengan lembut. “Santai aja, Maha. Ini, ‘kan, cuma bersenang-senang,” ujarnya dengan senyum lebar.

"Iya, iya, aku tahu. Tapi tetap saja." kata Maha sambil menggeleng pelan. Meski kesal, ia tidak bisa menahan tawa kecil yang keluar dari bibirnya.

"Sepertinya kamu butuh pelatih agar permainanmu lebih tajam, Maha." celetuk seseorang.

Tawa Niken terhenti begitu mendengar suara bariton yang tak asing baginya. Maha pun ikut mengangkat kepalanya, mencari sumber suara itu.

Sadewa.

Pria itu berjalan mendekat bersama Maya, senyum tipis menghiasi wajahnya. Mata Maha membulat sejenak, sebelum ia segera memasang ekspresi datar. Sementara, Niken menoleh ke arah Maha, jelas melihat perubahan di wajah sahabatnya.

Sadewa menghampiri mereka dengan langkah santai, tatapannya singgah pada Maha yang terlihat kaku. "Halo, Maha, apakah kedatangan saya mengganggu mu?" ucapnya dengan mata yang berkilat jenaka.

Maha segera mengalihkan pandangannya, rasa jengah merayapi dirinya saat melihat Sadewa. Kenapa dia tahu aku di sini? Dan apa yang dia lakukan di sini, di hari Minggu? gerutunya dalam hati.

Tanpa mempedulikan kehadiran Sadewa, Maha berjalan menuju tas golfnya, meletakkan tongkat golf dari logam itu dengan gerakan yang terkesan asal-asalan.

"Selamat siang, Pak Sadewa," sapa Niken dengan sopan, senyum kecil menghiasi wajahnya. Ia segera menundukkan kepala memberi hormat.

Namun, Sadewa mengabaikan sapaan itu. Pandangannya tidak lepas dari Maha yang masih sibuk memasukkan tongkat golf ke dalam tasnya, gerakannya tampak lebih keras dari biasanya.

Rahang Sadewa mengeras, matanya menyipit seolah mencoba membaca pikiran Maha. Apakah dia marah? Dan berani sekali Maha menunjukkan sikap seperti itu pada saya, batinnya.

"Maya, tolong bawakan tas Maha," ucap Sadewa dengan nada tegas, tatapannya beralih ke Maha. "Maha, ayo kita pulang," ajaknya singkat namun jelas.

Maha memutar bola matanya dengan ekspresi jengkel, lalu mengangkat wajah untuk menatap Sadewa dengan mata yang penuh amarah. "Apa Anda tidak melihat kalau saya masih bermain golf? Hm?" balasnya dengan nada ketus.

Suaranya tajam, membuat Maya yang hendak mengambil tas berhenti di tempat. Sedangkan Niken yang sejak tadi di sebelah Maha, pun membelalakkan matanya, ia terkejut saat melihat keberanian Maha menantang Sadewa seperti itu.

Sadewa menghela napas panjang, menatap Maha dengan pandangan penuh ketenangan yang terjaga. Ia tahu ada sesuatu yang membuat Maha marah, tapi alasan itu tidak terlalu penting baginya. Yang mengganggu adalah sikap Maha yang terang-terangan mengabaikannya. Dan Sadewa, lebih dari apapun, tidak suka diabaikan, terutama oleh Maha.

"Saya tahu. Tapi ada pekerjaan yang harus kamu selesaikan,” jawab Sadewa.

Maha menyilangkan tangan di dada. "Ini hari Minggu, Pak. Waktunya saya libur," balasnya dengan nada sarkastis, menegaskan bahwa dia tidak akan tunduk begitu saja.

Ketegangan antara Sadewa dan Maha begitu nyata, seolah udara di sekitar mereka menebal. Niken dan Maya hanya bisa terdiam, menyaksikan pertarungan yang penuh emosi di depan mereka.

Sejenak, Sadewa terdiam. Jawaban Maha adalah penolakan yang halus namun jelas dan itu cukup untuk membuat darahnya mendidih. Tatapannya yang tajam menusuk langsung ke arah Maha yang berdiri cukup jauh di depannya.

Sadewa tidak terbiasa dengan penolakan, terutama dari Maha. Ini adalah kali pertama dirinya mendapatkan penolakan sekeras itu dari Maha, dan meskipun wajahnya tetap tenang, di dalam hatinya, amarahnya berkobar.

"Maya, bawa tas Maha. Saya tunggu di mobil." perintah Sadewa tegas, suaranya dingin dan tanpa kompromi. Ia segera berbalik, melangkah pergi dengan langkah berat dan rahang yang mengeras, berusaha menahan ledakan emosi dalam dirinya.

Setelah sampai di mobil, Sadewa melepaskan dasinya dengan kasar, mencoba meredakan perasaan yang berkecamuk. "Brengsek!" umpatnya, napasnya memburu dalam amarah yang tertahan. Lantas, ia mencoba menenangkan diri dari gejolak perasaan yang sulit ia kendalikan.

Di sisi lain, Maha tampak frustrasi melihat tasnya yang semakin jauh dibawa Maya. Sekuat apa pun ia menolak, nyatanya dirinya tidak bisa berkutik di hadapan Sadewa.

"Kamu lihat sendiri, ‘kan, Ken? Gimana Sadewa itu selalu bertindak seenaknya! Aku, tuh, cuma boneka! Nggak bisa ngapa-ngapain selain nurutin dia! Akh!" Maha meledak, matanya melotot, suaranya penuh emosi. 

"Iya, iya... Aku ngerti. Sekarang kamu pulang sama Sadewa, turutin aja maunya dia, biar nggak tambah panjang urusannya. Nanti mobil kamu biar aku yang bawa.” Ucap Niken berusaha menenangkan Maha.

Maha tahu Niken benar. Dengan langkah berat, ia meninggalkan Niken dan berjalan menuju mobil Sadewa. Tidak ada pilihan lain, pikir Maha, selain mengikuti peraturan yang sudah Sadewa tetapkan—menuruti semua perintahnya, meskipun hati kecilnya terus memberontak.

Sesampainya di mobil, Maha langsung duduk di kursi belakang, di samping Sadewa. Hawa dingin dari pendingin udara segera menyergapnya, menambah suasana canggung yang sudah terasa sejak awal.

“Jalan, ke apartemen Maha,” perintah Sadewa kepada Maya yang duduk di kursi pengemudi.

“Baik, Tuan.” jawab Maya, patuh.

Maha mengerutkan kening mendengar tujuan mereka. Ke apartemen? Bukannya tadi bilang ada kerjaan? batinnya, bingung dan curiga. Ia sengaja menahan diri untuk tidak bertanya langsung. Sebab gengsi menahannya untuk memecahkan keheningan di antara mereka.

Sementara itu, Sadewa tetap dalam diamnya. Sesekali, matanya melirik Maha yang duduk di sebelahnya. Penampilan Maha yang casual namun tetap menawan dengan pakaian golfnya memang cukup menarik perhatian. Namun, Sadewa menahan diri untuk menjaga jarak, meski hatinya terusik oleh pesona Maha. Ia tahu, tidak boleh membiarkan perasaan itu mengambil alih, setidaknya tidak sekarang.

...****************...

Mobil yang membawa Maha dan Sadewa akhirnya tiba di basement apartemen Maha. Sebelum mesin mobil mati dan sempat terparkir dengan rapi, Maha sudah buru-buru keluar, membanting pintu tanpa menoleh ke belakang. Sedangkan Sadewa, yang masih duduk di dalam, pun ia menoleh sambil menahan tawa kecil tatkala melihat kelakuan Maha.

Dengan langkah cepat, Maha menuju lift. Begitu masuk ke dalam, ia berdiri dengan tangan bertolak pinggang, nafasnya memburu karena kesal.

"Huh!" Maha menghentakkan kakinya, meluapkan amarah yang membara di dadanya. "Sadewa itu, sumpah, huh!" Ia berteriak lagi, frustasi dengan setiap langkah yang diambil Sadewa, yang selalu membuatnya tak berdaya.

Ting!

Suara pintu lift terbuka, Maha segera melangkah keluar, buru-buru ia menuju unit apartemennya. 

Pada sisi lainnya, Sadewa yang sudah berada di dalam lift, hanya terdiam. Di dalam pikirannya, terulang kembali gambaran sikap Maha yang menolaknya secara terang-terangan di lapangan golf tadi. Meskipun pada akhirnya ia bisa mengendalikan keadaan, perasaan tidak terima itu masih mengendap. Penolakan frontal Maha seperti dentingan keras yang menggema dalam hatinya.

Ting!

Pintu lift terbuka, memecah kesunyian. Sadewa keluar dari lift dengan langkah mantap, tangannya bergerak cepat melepas kancing jasnya satu per satu, seolah ingin melepaskan segala rasa yang mengganjal. Tatapannya lurus dan tajam seperti busur panah yang siap membidik, seakan ada sesuatu yang terpendam dalam dirinya.

Sesampainya di depan unit Maha, ia berhenti sejenak. Tangan kirinya menekan tombol password pada panel pintu, dengan gerakan yang tak terburu-buru namun penuh penekanan.

Beep!

Pintu unit Maha terbuka, Sadewa masuk dengan langkah cepat. Kini, ia melepas jasnya tanpa peduli dan melemparkannya sembarangan ke sofa. Matanya langsung mencari-cari sosok Maha. Nafasnya sedikit terengah-engah, tanda dari ketegangan yang dirasakannya.

Di balik lemari pendingin, ada Maha yang sedang menikmati air dengan santai. Sadewa yang melihat Maha dengan sikap tenangnya itu tidak bisa menahan dirinya. Langkahnya semakin cepat dan sebelum Maha sempat menyadari, tangannya sudah terulur, ia menarik pergelangan tangan Maha dengan kuat. Sehingga membuat Maha terkejut. Gelas yang masih dipegangnya jatuh, membentur lantai dengan suara keras.

Prang!

Maha menatap Sadewa dengan mata yang terbuka lebar. Tubuhnya membeku, tidak tahu harus berbuat apa, saat bibir Sadewa menyentuh bibirnya dengan penuh desakan. Sensasi aneh menghampirinya, bahkan air mineral yang tadi sempat memenuhi mulutnya berpindah pada Sadewa. Maha membelalakkan matanya, terkejut dan hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Sadewa kemudian melepaskan bibirnya, menatap Maha dengan mata yang tajam, bagaikan dua pedang yang siap melukai. Tangan Sadewa berpindah, menumpu pada lemari pendingin di belakang Maha, membuat ruang di antara mereka semakin menyempit, menekan Maha lebih dekat ke tubuhnya, tak memberi ruang untuk bernafas.

“Kamu, apa-apain, sih?” suara Maha bergetar, dadanya naik turun dengan cepat, menandakan betapa ia masih kaget dan marah. Mata Maha tak lepas dari wajah Sadewa yang kini begitu dekat.

“Siapa yang mengajarkanmu bersikap tidak sopan seperti tadi, hmm?” Sadewa memandang Maha tanpa ekspresi. Namun, suara beratnya terdengar seperti guruh yang menggelegar di ruang sempit itu. Sadewa kemudian menarik pinggang Maha, membuatnya lebih dekat lagi.

Tentu Maha terkejut, tubuhnya langsung terasa begitu rapat dengan tubuh Sadewa, dan ia bisa merasakan detak jantung pria itu yang kian cepat, seolah menyatu dengan denyut nadinya sendiri.

Maha mengerjap cepat, merasa dalam keheningan yang menggantung begitu lama. Meski ketegangan itu mulai menjalar, ia berusaha untuk tetap tenang, menahan gemuruh yang ingin ia lepaskan.

"Salah siapa mengganggu, di saat saya sedang santai?" jawab Maha, suaranya terdengar sedikit teredam, meskipun ia berusaha menutupi kecemasan dalam dirinya dengan nada dingin.

Sadewa tetap diam, hanya menatap Maha dengan sorot mata yang tak lepas, seolah tengah menilai segala sesuatu dengan teliti. Namun, ada perbedaan yang jelas pada sorot mata Maha kali ini—mata itu tampak lebih redup. Berbeda dengan tatapan penuh tantangan yang tadi ia lemparkan di lapangan golf.

"Kenapa kamu mengabaikan saya, Maha? Setelah pertemuan dengan ibu saya dan Embun, sikapmu berubah. Apakah kamu tidak suka dengan keluarga saya? Termasuk putri saya, Embun?” suara Sadewa terdengar lebih berat, bagaikan pertanyaan yang terpaksa keluar.

Maha merasa seperti ada beban berat yang tiba-tiba mengalir melalui setiap kata Sadewa, membuat dadanya terasa sesak. Tatapan Sadewa yang tajam dan pertanyaan itu memojokkannya, meski ia berusaha menahan diri, dalam hati ia merasakan ketegangan yang semakin memuncak.

Bukan itu, Sadewa. Tapi ketidak jujuranmu yang membuat ku seperti ini. Namun, kata-kata itu tak pernah ia ucapkan, hanya tersimpan rapat di dalam hati.

“Tidak, saya hanya lelah. Jadi, butuh waktu untuk sendiri,” jawab Maha dengan tenang, meskipun kata-katanya terasa seperti kebohongan yang terpaksa ia buat. Ia tak bisa menyampaikan semua yang ia rasakan dan tidak ingin menambah kerumitan dengan bertengkar lebih lama. Sehingga Maha memilih menutupinya dan memilih kata-kata yang mudah diterima.

Sadewa tetap menatap Maha, akan tetapi tak berkata apa-apa. Ada keheningan, seolah waktu pun ikut berhenti, sebelum akhirnya Sadewa berbicara lagi, nada suaranya lebih rendah, namun penuh tekad.

“Lalu pergi sendiri ke tempat golf tanpa mengajak saya? Begitu?”

Pertanyaan itu membuat Maha terkejut. Sadewa mendekatkan wajahnya, hampir tidak memberi ruang untuk Maha menarik napas. Maha merasa tubuhnya kaku, ada rasa cemas yang tiba-tiba muncul, menggerogoti ketenangannya.

Ia menelan ludahnya, wajahnya reflek sedikit mundur, mencoba menghindari kedekatan itu. Namun, semakin dekat Sadewa, semakin terasa berat beban di dadanya.

“Apa hak saya mengajak Anda untuk bermain golf—Akh!” Belum sempat Maha melanjutkan kalimatnya, ia terkejut ketika Sadewa tiba-tiba mengangkat tubuhnya dengan mudah, kemudian menggendongnya seperti koala.

“Pak, eh... Mas! Kamu apa-apaan, sih?” Maha terkejut, kebingungannya bercampur dengan kekesalan. Ia tak menyangka Sadewa akan bertindak seperti itu, apalagi dalam keadaan yang sudah begitu tegang.

Sadewa, dengan ketenangan yang mengejutkan, menurunkan tubuh Maha keatas kabinet. Kedua tangan Sadewa bertumpu di kabinet, tubuhnya sedikit merendah ke arah Maha. Wajahnya kini begitu dekat, hanya beberapa inci saja. Sementara Maha bisa merasakan nafasnya yang hangat menyentuh kulit wajahnya, dan seketika itu juga hatinya berdebar lebih cepat.

Maha terdiam, tidak bisa melarikan diri. Ada sensasi yang mengganggu, tapi juga entah kenapa terasa sulit untuk menghindari kedekatannya. Wajah Sadewa yang sangat dekat dengan wajahnya membuatnya bingung, apakah ia harus marah atau justru diam dalam keheningan yang memadatkan udara. Nafas mereka berpadu, meskipun Maha berusaha menahan detakan jantungnya yang semakin cepat.

“Hak?” Sadewa terkekeh ringan, suara tawanya terasa datar namun tajam. Ia menanggapi ucapan Maha yang sebelumnya. “Tentu, kamu punya hak atas saya, karena saya juga milikmu. Tapi, kamu tidak bisa mengatur saya seperti saya mengatur mu,” jawabnya tegas.

Hati Maha terasa tercekat. Kalimat itu menyentak perasaannya, membuatnya merasa seperti terjebak dalam sebuah jebakan yang tak bisa ia hindari. Seakan, dua ratus juta sebulan itu adalah harga yang membebani dirinya, membeli segala kebebasannya—termasuk harga dirinya.

Maha menunduk sejenak, mematung, merasakan kegetiran yang mengalir dalam dirinya. Sorot matanya sayu, mencoba menahan perasaan yang mulai meluap. Ia mencoba mencari keberanian untuk melawan atau menjawab, tetapi lidahnya terasa kaku. Setiap detik terasa berjalan lambat, dan udara di sekitar mereka semakin berat, seolah membawa kedalaman yang tak bisa dihindari.

Sadewa menatap Maha dengan penuh perasaan. Ia mendekat, memiringkan kepalanya dengan hati-hati. Dengan lembut, ia menyentuh bibir Maha—bentuknya yang selalu menggoda—dengan sentuhan yang tak seperti biasanya, tidak kasar atau terkesan memaksa. Tangan yang sebelumnya bertopang di sisi kabinet kini melingkar di pinggang Maha, sementara jari-jarinya dengan lembut memegangi rahang Maha yang terlihat anggun ketika kepalanya mendongak.

Maha menutup matanya, membiarkan setiap sensasi mengalir dalam dirinya. Ia merasakan kehangatan dari sentuhan Sadewa, dan pelan-pelan, ia memberi akses lebih untuk Sadewa menjelajahi lebih dalam, termasuk rongga mulutnya. Tidak mungkin baginya untuk berpura-pura tidak menikmati momen ini, setiap detik terasa berharga. Dengan tempo yang pelan dan lembut, Sadewa seolah menciptakan sebuah melodi yang membuat Maha melupakan segala hal di sekitarnya.

Di dalam keheningan itu, Maha merasakan ketegangan di antara keduanya mencair, membentuk ikatan yang dalam dan tak terduga. Dia tahu saat ini adalah sesuatu yang lebih dari sekadar kesenangan fisik—ini adalah pengakuan dari seluruh emosi yang selama ini terpendam.

Sadewa dan Maha saling bertukar saliva di dapur, suara decakan kecil mereka menggema di ruangan yang diterangi cahaya remang. Ciuman itu terasa seperti gabungan antara sebuah hukuman dan permohonan maaf, sebuah cara Sadewa untuk membuai Maha.

Melihat respon Maha yang terlarut dalam ciuman itu, Sadewa merasa seolah semua yang terjadi sebelumnya telah terhapus oleh momen ini.

Tak puas hanya menjelajah area bibir, tangan Sadewa perlahan bergerak, menemukan jalan menuju area leher jenjang Maha. Rahang Maha terangkat sedikit, memberi akses yang diinginkan Sadewa. Dalam intentinya, dia seolah berkata, "Lakukanlah apapun yang kamu inginkan."

Ahh…

Sebuah desahan lembut terlepas dari mulut Maha, meluncur penuh hasrat saat Sadewa mengecup lembut area di bawah telinganya. Suara itu membuat jantung Sadewa berdegup semakin kencang, menandakan betapa efek dari sentuhan itu sangat kuat. Dalam kehangatan momen ini, batasan antara mereka semakin kabur, dan seluruh dunia di luar dapur seakan menghilang.

“Mas, sudah…” Maha berkata sambil mendorong dada bidang Sadewa, matanya menatap penuh kemarahan dan kebingungan. 

Tak mengindahkan ucapan Maha, Sadewa kembali mengalihkan perhatiannya ke area leher Maha, tempat yang sebelumnya membuat Maha mendesah dengan intensitas yang menggugah. Dalam sekejap, ia memberikan beberapa tanda kepemilikan di leher Maha, meninggalkan jejak yang jelas akan ketertarikan yang sulit disembunyikan.

“Ck, Mas! Kamu gila, ya?!” Maha memekik, dorongannya kali ini kuat, membuat Sadewa mundur cukup jauh dan tertegun oleh reaksi mendalam dari gadis di hadapannya.

“Kenapa?!” protes Sadewa, dengan tangan terangkat seolah tak mengerti maksud dari perkataan Maha. Ekspresi kebingungannya menambah suasana tegang di antara mereka, menimbulkan pertanyaan tentang batasan yang diinginkan di antara dua hati yang saling tertarik.

Maha memegangi lehernya seperti orang yang baru saja digigit vampir, sebelum ia berlari menuju standing mirror yang terletak di dekat televisi. 

“Ih, kenapa bikin cupang di sini?! Kenapa juga di leher?!” Pekik Maha, matanya membelalak saat melihat tanda merah yang cukup mencolok itu. Kekesalan menyelimutinya, campuran antara marah dan malu.

Di tempatnya nya, Sadewa hanya bisa tersenyum kecil, merasakan betapa lucunya reaksi Maha. Ia berjalan menghampiri, kemudian berdiri di belakang Maha dan melingkarkan tangannya di pinggang ramping sang puan. Dengan lembut, ia mengecup pipi Maha dari arah belakang, membuat Maha sedikit terkejut.

“Itu tanda bahwa Senja Maharani milik Sadewa Pangestu,” jawabnya sambil menatap pantulan mereka di cermin, merangkul Maha dengan penuh kebanggaan.

“Alay banget, sih! Jamet! Jaman sudah modern, masih aja main cupang! Ini besok gimana saya ke kantor? Cupangnya gede gini, huh!” Pekik Maha, kekecewaannya semakin mencolok saat memandangi tanda merah di lehernya.

“Ck, sumpah ngeselin! Udahlah, saya mau mandi!” Maha berkata sambil melepaskan tangan Sadewa dari pinggangnya. Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju kamar.

Sadewa hanya bisa menatap Maha dengan rasa gemas, melihat betapa kesalnya Maha atas ulahnya yang jahil.

“Untung saja ini di leher. Bayangkan kalau di area lainnya, pasti akan semakin heboh,” Sadewa terkekeh, menggeleng-gelengkan kepalanya dan merasa lucu dengan situasi yang terjadi.

Di dalam hatinya, ia merasakan kebahagiaan yang meluap, seakan ribuan kupu-kupu beterbangan di perutnya setiap kali memikirkan momen-momen manis mereka di dapur. “Manis, saya menyukainya.” gumam Sadewa sambil mengusap bibirnya, masih bisa merasakan kelezatan dari ciuman Maha yang terasa begitu memikat. Rasa manis bibir Maha bagaikan sihir yang membiusnya, membawa perasaan hangat dan penuh harapan menjelang apa yang akan terjadi berikutnya.

1
Lilis Yuanita
lnjut
Bunda Mimi
Apakah Maha hamil???
Lucky ᯓ★: waduhhhh/Gosh/
total 1 replies
Rian Moontero
lanjuuutt👍🤩🤸🤸
Lilis Yuanita
ngapain ngarepin maha klo maha d acuhin
Lucky ᯓ★: pria tsunder kan begitu kak /Chuckle//Chuckle//Chuckle/
Lucky ᯓ★: pria tsunder kan begitu kak /Chuckle//Chuckle//Chuckle/
total 2 replies
Bunda Mimi
makasih thor, hari ini update nya 2x,,, trus byk lagi dialog antar tokoh😍😍😍
Bunda Mimi
pokoknya tetap Tim Dewa dan Maha y thor, Danu sama Niken aza😅
Lucky ᯓ★: waduh, plot twist sekali ini bunda /Facepalm/
total 1 replies
Bunda Mimi
terima kasih update nya thor
Lucky ᯓ★: sama-sama bunda /Rose/
total 1 replies
Bunda Mimi
gedeg liat Sadewa🤬
Lucky ᯓ★: aaa aku baru tahu /Cry/ terimakasih bunda /Kiss//Kiss//Kiss/
Bunda Mimi: pasti bisa🤣
total 9 replies
Bunda Mimi
udah panjang bab nya,,,, tapi selalu merasa kurang thor😅
Bunda Mimi: di tunggu crazy up nya thor🤣
Lucky ᯓ★: eiiii sabar dong /Proud/
total 2 replies
Bunda Mimi
Baguss,,,,,, Suka Alur nya
Lucky ᯓ★: ahhh aku melting, terimakasih bebi /Kiss//Kiss//Kiss/
total 1 replies
Bunda Mimi
Tq thor update nya,,,,,
Lucky ᯓ★: iya bebi, sama-sama. Terimakasih juga sudah setia membaca /Kiss/
total 1 replies
Bunda Mimi
thor bab 21 dan 22 nya kok sudah tidak ada ya
Bunda Mimi: ok siap thor
Lucky ᯓ★: terimakasih atas dukungannya kak, dan mohon maaf jika nanti update ulang dengan isi yang sama. aku revisi karena biar lebih nyaman untuk dibaca, juga ini saran dari editor saya
total 4 replies
Wayan Sucani
Luar biasa
Wayan Sucani
Rasanya berat bgt
catalina trujillo
Bikin ketawa sampe perut sakit.
Lửa
Ngakak sampai sakit perut 😂
Kiyo Takamine and Zatch Bell
Asiknya baca cerita ini bisa buat aku lupa waktu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!