Hidup sebagai single parent tak membuat Risa kesulitan dalam membahagiakan putri semata wayangnya. Namun satu hal yang ia lupakan. Safira, putrinya, juga membutuhkan sosok lelaki yang di sebut ayah, yang meski ada tapi terasa tak ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon putrijawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengurangi Rasa Rindu
PoV Rendy
Aku mengemasi barang - barangku. Hari ini pekerjaanku telah selesai. Lebih cepat dari dugaanku. Rencananya aku akan pulang besok setelah membeli oleh - oleh untuk keluargaku. Sengaja aku tak memberitahu Safira karena ingin memberinya kejutan.
Aku sudah memasukkan mobilku ke bengkel rekomendasi dari teman untuk diservis. Karena perjalanan pulangku akan memakan waktu beberapa jam. Sementara disini, aku sangat sering menggunakan mobil untuk mengurus berkas klienku. Jadi untuk antisipasi aku menservice mobilku sebel ku gunakan pulang.
Setelah sholat ashar, aku berencana mengambil mobilku ke bengkel. Sesuai perjanjian dengan montir, mobil sudah bisa diambil sekitar pukul tiga. Sengaja ku undur sedikit, untuk memberi waktu agar mereka tak terburu memeriksanya.
Bunyi notifikasi panggilan berbunyi. Aku hanya melihatnya sekilas, lalu membereskan pakaianku ke dalam tas. Setelahnya baru kuberjalan menuju ponselku di atas nakas. "Lita". Namanya terpampang dilayar ponselku. Tak biasanya dia menelponku di jam sore begini. Karena dia tahu kalau ini masih jam kerja.
"Halo. Assa..."
"Bang Rendy. Maaf aku nelpon dijam segini. Ini juga karena penting".
Belum lagi selesai aku mengucap salam dia sudah dengan cepat menyerobot ucapanku saja.
"Bundaaa... Hemhemhem".
Tunggu. Kenapa ada suara anak kecil nangis ? Bukannya itu suara... Argh... Ada apa ini.
"Lita. Kamu dimana ? Itu kok kayak suara Safira ? Dia kenapa kok nangis ? Bundanya mana ?"
"Aduh bang. Sabar, dong. Ini memang Fira yang nangis. Kata tetangga deket warung, kak Risa dibawa ke rumah sakit. Dia berlumuran darah. Ini dibengkelnya bang Zein juga masih banyak darah segernya. Aku gak tau kak Risa kenapa. Aku telpon kak Risa gak diangkat. Manda juga udah coba telpon bang Zein, gak diangkat juga. Itu dia lagi coba nelpon temennya bang Zein. Karena kata warga sini, temennya ikut ke rumah sakit juga. Safira gak mau diem bang. Aku sama Manda bingung".
Astaga. Apa yang terjadi disana ? Niat hati ingin memberi kejutan pada mereka. Malah aku yang dibuat mereka terkejut dengan ini semua. Otakku tak bisa berpikir jernih. Pikiranku terus tertuju pada Risa. Ya, Tuhan. Tolong selamat Risaku. Jangan sampai terjadi apa - apa padanya Tuhan.
"Bang... Abang denger gak, sih ?"
Suara rengekan Lita menyadarkanku. Aku mengatur nafasku. Menormalkan segala emosi dan kepanikanku. Aku harus menenangkan Safira. Pasti dia lebih panik dariku.
"Lita. Tolong kasih dulu ke Safira. Biar aku yang ngomong".
"Iya bang. Sebentar. Fira... Fira sayang. Ini Papa. Fira ngomong dulu sama Papa, ya"
Aku dapat membayangkan bagaimana perasaan Safira saat tahu ibunya dalam bahaya. Suara tangisannya sangat pilu.
"Papa... Papa... Bunda, Pa... hmhmhm".
Ya Tuhan... Aku harus bagaimana ? Otakku masih buntu. Aku saja tak bisa menenanglan diriku. Suara tangis Safira malah semakin membuatku panik. Berkali - kali ku atur nafasku agar pikiranku bisa kembali normal. Ku biarkan Safira menangis hingga ia merasa puas. Hanya itu yang terlintas dipikiranku saat ini.
"Fira sayang... ", aku mulai memanggilnya saat suara tangisnya mereda.
"Fira denger Papa, kan ?", tanyaku lagi.
"Iya, Pa", jawabnya masih dengan suara sesenggukkan.
"Fira tenang, ya. Fira harus berdoa semoga Bunda gak kenapa - kenapa. Fira jangan nangis lagi. Kalo Fira nangis terus, Fira gak bakal fokus untuk berdoa. Fira harus tenang, dan berdoa supaya Bunda baik - baik aja. Fira jangan kawatir, ya. Papa bakal pulang untuk temeni Fira. Sekarang Fira tenang, ya sayang".
"Iya, Pa. Semoga aja Bunda gak kenapa - kenapa. Aamiin".
Sepertinya dia mulai tenang. Setidaknya satu masalah bisa teratasi. " Yaudah, Fira baik - baik disana, ya. Papa mau siap - siap dulu untuk pulang".
"Papa hati - hati, ya. Jangan ngebut. Fia gak mau Papa gak fokus dijalan. Fia mau Papa selamat sampek sini". Cicitnya masih dengan sesenggukkan.
"Iya, sayang. Fira doain Papa sama Bunda, ya".
Aku mengakhiri panggilan tersebut dan segera memeriksa barang - barangku. Setelahnya aku akan ke bengkel untuk menanyakan mobilku Rasanya waktu bergulir begitu lambat. Semua yang ku kerjakan serasa sulit. Bahkan hanya untuk memasukkan sisa pakaianku ke dalam tas saja aku tak bisa. Oh, Tuhan. Pikiranku terus tertuju pada Risa. Padahal aku bisa membuat Safira tenang, tapi kenapa malah aku sendiri yang tak bisa tenang.
Aku ke kamar mandi untuk mencuci muka. Betapa kusutnya wajahku hanya karena memikirkan keadaan Risa. Ku basuh wajahku berkali - kali agar pikiranku kembali normal. Aku harus bisa tenang agar bisa fokus berkendara. Ku putuskan untuk segera ke bengkel mengambil mobil. Lebih cepat lebih baik. Disana pasti Safira juga butuh sandaran. Dia pasti sangat terpukul dengan keadaan ibunya.
Dijalan menuju bengkel, aku menelpon atasanku.
"Halo, Pak. Maaf saya mengganggu. Saya ada urusan mendadak, dirumah. Apakah saya boleh pulang sekarang ?". Aku berusaha berhati - hati menyampaikannya.
"Oh, Tentu, Pak Rendy. Silakan. Lagian pekerjaan kita sudah selesai. Tinggal menunggu sidang akhir yang akan dilaksanakan di Jakarta saja".
"Alhamdulillah. Terima kasih, Pak". Aku cukup lega karena atasanku memberiku izin.
"Tapi, maaf Pak Rendy. Mohon setelah sampai dirumah, tolong segera kirim laporannya. Itu juga kalau urusan rumah Bapak sudah selesai". Aku baru ingat kalau laporanku belum aku kirim. Harusnya malam ini aku menyelesaikannya. Tapi apalah daya
"Baik, Pak. Terima kasih atas izinnya. Insya Allah, akan segera saya kerjakan laporannya. Kalo begitu saya pamit pulang, Pak".
Ku akhiri panggilan tersebut. Aku melangkah menuju bengkel setelah taksi yang ku naiki berhenti. Terlihat mobilku sudah terparkir di deretan mobil lain. Sepertinya memang sudah selesai di servis.
Aku sedikit berbincang dengan montir yang menangani mobilku. Dia menjelaskan sedikit tentang masalah mobilku yang diatasinya. Setelah dia mengambil kunci mobilku dan mengarahkanku pada kasir untuk menyelesaikan pembayaran. Sebelumnya dia menyuruhku untuk test drive untuk memastikan mobil tersebut sudah nyaman dipakai.
Setelah urusan dengan bengkel selesai, aku segera menuju penginapan dan membawa barang - barangku. Aku meninggalkan penginapan dengan sedikit menambah kecepatan agar cepat sampai. Tak ku hiraukan ponselku yang terus berbunyi. Aku juga masih memikirkan keselamatanku.
Setelah beberapa jam mengemudi, aku mulai memasuki Jakarta. Ku kurangi kecepatanku untuk sekedar menenangkan pikiran. Ku raih ponselku untuk melihat notifikasi. Pesan masuk terakhir dari Mama. Dia mengirimkan alamat rumah sakit dimana Ibu Risa dirawat.
Ah, pasti Ibu syok dengan keadaan Risa sampai beliau harus dirawat juga. Aku ingat, Risa pernah bilang jika Ibu memiliki penyakit jantung. Tapi Ibu tak pernah mau diajak berobat lanjut. Katanya malas kalau harus terus menerus minum obat. Itu makanya beliau selalu menjaga makanannya dan rajin berolah raga pagi. Walau hanya sekedar jalan pagi.
Alamat rumah sakitnya hanya sekitar dua puluh menit dari tempatku saat ini. Aku langsung mengarahkan mobilku ke sana. Semoga saja kekawatiranku pada Risa segera berakhir. Setelah memarkirkan mobilku dipelatarn rumah sakit, aku langsung menuju ruangan dimana Ibu dirawat. Aku mengetuk pintu ruangan VIP tersebut. Pintu terbuka
"Loh, kamu udah sampek sini aja sih".
Mama menyambutku dengan wajah sedikit cemas.
Aku peluk Mama sebelum masuk ke ruangan tersebut. Ku lihat Ibu sedang tertidur dengan tangan kiri yang terpasang infus. Ada dua tempat tidur dan satu sofa dimana Bapak dan Papa sudah duduk. Aku mendekati mereka dan menyalam takzim.
"Risa dimana, Pak ?"
"Duduk dulu, Rend". Ucap Mama.
"Aku udah kebanyak duduk, Ma. Dari Bandung sampek Jakarta aku terus duduk". Ucapku sedikit kesal. Mama menautkan alisnya.
"Risa masih di ruang ICU", ucap Bapak sambil tersenyum.
"Kalo gitu aku kesana dulu, Pak".
Aku langsung keluar ruangan tanpa menghiraukan panggilan Mama. Ku lebarkan langkahku agar segera sampai. Jantungku berdetak seolah sedang di tempat fitness. Ku masuki lorong ruangan ICU. Tampak seorang wanita duduk bersandar pada kursi tunggu ruangan tersebut. Wajahnya tampak lelah. Hatiku sedikit lega melihat keadaannya. Ku dekati dia perlahan.
"Ri... "
Wanita itu mendongak dan berdiri saat melihatku. "Rendy ?".
Aku langsung memeluknya erat. Perlahan segala pikiran buruk yang memenuhi kepalaku menghilang. Hatiku pun semakin tenang saat tubuh mungil yang selalu ku rindu itu dapat ku rengkuh.
"Kok main peluk - peluk aja, sih. Ini rumah sakit loh". Ucapnya sambil mencoba melepaskan tubuhnya dariku.
"Sebentar aja, Ri".
Ku eratkan sejenak pelukanku padanya. Bibirku mengulas senyum. Ku kecup pucuk kepalanya sebelum melepas tubuhnya dari pelukku. Ku tangkup wajahnya dengan kedua telapak tanganku. Wajahnya yang sendu semakin membuat rasa takut dalam hatiku bergejolak. Andai saja...
"Jangan cari kesempatan". Ucapnya sambil mendorong wajahku. "Mupeng mu itu, loh. Keliatan banget".
"Hehehee... "
Aku hanya bisa tertawa menanggapinya. Hah... Tak apalah. Bisa memeluknya saja sudah mengurangi rasa rinduku. Kekawatiranku juga sudah hilang. Wanita yang kucinta ada dihadapanku dalam keadaan utuh dan sehat.
saya masih penulis baru, yang butuh masukan dan motivasi dalam penulisan cerita saya.
Di penulisan selanjutnya saya akan mencoba lebih baik 🙏
trima kasih sudah setia membaca sampai akhir ☺️