Onci alias Fahrurrozi, cowok yang dibesarkan dilingkungan penuh religi, ia pun alumnus sebuah Pondok Pesantren. Harapan kedua orang tuanya kelak ia menjadi pewaris tunggal sekolah pendidikan agama yang sudah dirintis kedua orang tuanya. Namun kenyataannya berbalik, Onci memilih profesi di dunia entertaiment, dan menjadi perselisihan antara dirinya dengan Abah dan Umi.
Terlebih Onci diam-diam menjalin hubungan dengan seorang gadis keterunan Tionghoa, anak seorang pengusaha dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang begitu ta'at dengan keyakinan yang berbeda dengan keluarga Onci. Gadis itu bernama Dhea.
Gadis itu berprofesi sebagai seorang dancer profesional, yang Onci kenal dalam sebuah event yang ia selenggarakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emha albana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dalam Mihrab Cinta
Entah sampai kapan drama ini akan berakhir, menjadi dirinya itu tidaklah enak, ia harus menghormati dan ta'at kepada keduanya. Tak terbesit dalam diri Onci untuk membohongi kedua orang tuanya, karena terjebak keadaan saja hingga Onci harus berdiri di persimpangan jalan.
Yah, dipersimpangan jalan, dengan Dhea pun ia sudah terlanjur cinta. Tidak mudah untuk mendapatkannya,bukan hanya materi tetapi waktu yang sudah ia lalui bersama gadis itu. Ia berbeda dengan gadis pada umumnya, ia datang seperti kemarau yang dibasahi hujan, ketika hati Onci sudah hilang semangat untuk jatuh cinta lagi.
Justru hadirnya Dhea membuka mata hatinya, bahwa masih ada yang mau berbagi arti dalam hidup. Belum lagi orang tuanya yang begitu baik dengan Onci, Tante Lee yang tidak pernah memandang status agama, warna kulit, dan suku. Tidaklah mungkin ia akhiri hubungan ini, hanya karena perbedaan keyakinan, hanya karena orang tua yang telah melahirkan dan membesarkannya.
Di sepertiga malam, disaat manusia terbuai dalam mimpi panjangnya, disaat manusia memanjangkan dengkurannya, disaat manusia larut dalam tidur. Ia pun terbangun, ia sama seperti lelaki pada umumnya. Memiliki air mata yang sama, memiliki hati yang sama, dan memiliki perasaan yang sama.
Onci pun ingin memiliki hubungan yang normal, memiliki pasangan hidup yang seiman, pasangan yang bukan hanya menerima ia ada apanya, tetapi apa adanya. Gadis yang tak melihat materi, tidak memandang latar belakang siapa dirinya. Dan tidak melihat apa yang kedua orang tuanya wariskan.
Sejujurnya Dhea itu gadis yang tepat, ia datang tidak melihat siapa dirinya, latar belakang, materi, warna kulit dan benar-benar hanya mengenal Onci sebagai pekerja di Event Organizer, ia memilih mengakhiri profesinya itu demi kedua orang tua dan waktu bersama dengan gadis Tionghoa itu, serta dasar dari disiplin ilmu yang ia miliki.
Dalam keheningan malam ia berdoa :
Wahai Tuhan, yang dalam lahul mahfudz sudah menggarisi takdir hidup manusia. Tuhan pemilik takdir baik dan buruknya dalam genggaman Mu,...
Ya Illahi...
Sungguh diri ini tak berdaya dan tak memiliki upaya dengan ketetapan yang Engkau kelak akan tentukan.
Maafkan diri ini Ya Rabb...
Diri yang selalu bersembunyi dari aib dan kesalahan, diri yang merasa paling benar, diri yang menolak kebenaran yang datang pada dirinya.
Sungguh, aku berlindung dalam ketentuan dan takdir buruk dalam hidup ini. Berikanlah ketetapan hati sekalipun itu sakit, maka aku terima kesakitan itu, demi pilihan yang terbaik dalam hidupku, pilihan hidup yang Engkau tentukan bukan piihan yang aku mau. Aku yakin Engkau menginginkan yang terbaik dalam hidup setiap insan.
Hanya saja, ego lah yang memaksa manusia untuk melawan Qadha yang Engkau tentukan hingga jatuhlah Qadr atau ketetapan yang mutlak manusia dapatkan dari yang meraka pilih.
Wahai Tuhan yang maafnya lebih dahulu daripada murkahnya,...
Maafkan lisan ini yang senantiasa melukai, mengelabuhi, menghasut manusia hanya demi menyelamatkan diri sendiri, dan berpaling serta mencoba menghindar dari kejujuran dan kata hati.
Wahai Tuhan yang firmannya selalu benar dan janjinya selalu Kau tepati...
Aku yakin Engkau akan mengabulkan apa yang hamba mu butuhkan, bukan apa yang hamba mu inginkan. Kabulkan doa hamba mu ini, di saat yang tepat dan pilihan hidup yang tepat.
Ya Illahi, kabulkanlah
Dalam mihrab cinta, Engkaulah yang Maha Pencinta.
Setelah ia menyelesaikan ibadah di sepertiga malam, lantunan kalam Ilahi pun ia kumandangkan, begitu menyayat hati sampai waktu Subuh itu datang, ia pun tunaikan aktifitas ibadah pagi. Dilanjutkan dengan sholat Dhuha dan langsung ia berangkat ke sekolah untuk melakukan aktitasnya sebagai orang yang diharapkan kedua orang tuanya.
"Aku lakukan semua ini, demi orang tua ku Ridho, maka Ridhoilah hidupku." Ia ucapkan doa itu sebelum melangkahkan kakinya keluar rumah.
Pemandangan hari ini sedikit berbeda tak seperti hari biasanya. Nabila pun lebih awal tiba di sekolah dan sudah duduk di ruangan administrasi.
"Assalamu'alikum Kak."
"Wa'alikum salam Nabila, kamu ke ruangan saya sebentar." Ucap Onci.
"Ada apa yah? Kok pagi-pagi begini Kak Onci menyuruh Bila masuk ruangan?" tanya Nabila dalam hati.
Ia pun menguatkan dirinya untuk bisa masuk keruang kerja Onci, karena belum ada satu orang pun yang hadir.
"Ada apa ya Kak?"
"Nggak ada apa-apa kok, hanya ada yang mengganjal di hati aku saja. Kalau sendainya sikap dan ucapkan Kan Onci ada yang salah mohon bukakan pintu maaf yah?"
Onci sepertinya mengibarkan bendera putih yang beberapa hari lalu sempat bersiteru dengannya.
"Nggak ada yang salah kok Kak, justru Nabila yang punya salah. Kemarin terlalu kasar bicaranya sama Kakak."
"Oh itu wajar bagiku."
"Kemarin kan kamu ajukan syaratnya yah kalau aku mau meminta tolong sama kamu."
Nabila pun gugup untuk mengungkapan persyaratan yang harus Onci penuhi jika satu waktu ia meminta tolong Nabila untuk mengatur jadwal dirinya atau menutupi informasi jika saja Abah datang ke yayasan sedangkan posisi Onci beradar di luar.
Nabila lah yang menjadi informer dan membantu Onci untuk menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya. Dan belum ada imbalan atau kontribusi yang Onci berikan. Sekaranglah waktu yang tepat untuk membahasnya.
"Katakan apa yang Nabila mau?"
"Bener nih? Kak Ozi mau penuhi apa pun yang Nabila mau."
"Yah, insyallah."
Nabila pun mengingat kembali apa yang diucapkan Ustadz Burhan katakan, bahwa dalam Islam boleh saja mengungkapan isi hati dan cintanya.
"Ya Allah, kenapa tiba-tiba bibir ini keluh?" ucapnya lirih dalam hati.
"Ayolah Nabila, ini waktu yang tepat kamu ungkapkan perasaanmu, bukankah saat ini waktu yang tepat untuk kamu ungkapkan semua?" Batinnya memburuh.
"Heeem...."
"Cepatlah apa yang kamu mau?" Onci pun terus mencecarnya.
"Bismillah, kamu bisa Nabila." Ia menyemangati dirinya melawan rasa ketakutan.
"Sebenarnya...."
"Sebenarnya apa? Katakan!"
"I..ii..iya ini Bila lagi ngumpulin keberanian untuk ungkapkan semua. Kalau..."
"Kalau apa Bila?"
"Kalaaaauuu...."
Dan tiba-tiba,"Assalamu'alikum." Suara itu mengusik keheningan.
"Wa'alikum salam, masuk."
Ustadz Burhan pun memasuki ruang kerja Onci dan membawa sebuah map biru.
"Maaf mengganggu."
"Oh nggak apa-apa Stadz memang ane juga mau ketemu ente, setelah diskusi dengan Nabila."
"Ustadz ini loporan harian dan beberapa kelengkapan berkas yang harus diserahkan ke Kanwil." Ustadz Burhan memberikan berkas tersebut.
"Eh ada Nabila." Sapa Ustadz Burhan, dan Nabila hanya tersipu malu, seakan berkata,"Aaah Ustadz Burhan ganggu aja nih!"
"Iya Ustadz." Nabila balik menyapa.
Setelah Onci memeriksa dan membaca kembali berkas yang diberikan Ustadz Burhan,"Syukron stadz." Syukron itu jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah terimakasih.
Bersambung>>>>
sedih karena Arul meninggal,,,
bahagia nya,Nabila dititipkan kepada ustadz Burhan,,,
mereka orang baik,dan akan dipertemukan dengan yg baik pula,
sabar Ustadz,,,,mungkin dia bukan jodoh terbaik buat pak ustadz
jangan playing victim donk