Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.
Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.
“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”
Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.
Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?
Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.
Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi yang tak biasa
Sudah seminggu Rendi mengambil cuti dari kantor. Satu minggu yang ia isi dengan kehangatan rumah, pelukan anak, dan senyum istri yang tak pernah benar-benar ia nikmati sebelumnya. Di antara tawa Rasya dan kecupan lembut Alisya, Rendi merasakan sesuatu yang lama hilang—kedamaian.
Namun kedamaian itu tak cukup untuk menutup luka yang menganga di hatinya.
Pagi itu, sinar matahari mengintip malu-malu dari balik tirai. Rendi duduk di sofa, memandangi foto keluarga kecil mereka yang terpajang rapi di dinding. Ia menarik napas panjang, seolah mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini nyata. Alisya sedang melipat pakaian di dekatnya, sesekali menoleh dan tersenyum lembut.
"Kenapa aku mengambil keputusan itu... tiga minggu lalu?" gumam Rendi lirih. Bayangan rumah sakit itu kembali hadir dalam ingatannya—dinding putih, aroma disinfektan, dan tatapan penuh tekanan dari ayahnya, ayah Bunga, dan Bunga sendiri. Ruang itu terasa begitu sempit. Begitu menyesakkan.
Alisya datang menghampiri, memeluknya dari belakang. Hangat. Tenang.
“Sayang…” bisiknya, memejamkan mata di bahu suaminya. Tak lama kemudian, Rasya datang berlari kecil dan ikut memeluk sang ayah.
“Ayah, kapan kerja lagi?” tanya Rasya dengan mata berbinar, penuh harap. Seakan tak ingin hari itu berakhir.
“Besok, Sayang. Ayah harus kerja lagi. Banyak hal yang sudah menunggu,” ujar Rendi lembut sambil mengelus rambut anaknya.
“Yahh…” Rasya cemberut. Wajahnya lucu, dan spontan membuat keduanya tertawa. Alisya menatap mereka—dua lelaki kecil dan besar yang ia cintai sepenuh hati. Satu minggu memang bukan waktu yang lama, tapi cukup untuk menyembuhkan jarak yang selama ini tak kasat mata.
...****************...
Pagi berikutnya datang lebih cepat dari yang diinginkan Rendi. Di depan cermin, ia merapikan rambut, mengenakan jas, tetapi matanya tampak kosong. Badannya tegap, namun hatinya bergetar.
Di ruang makan, Alisya tengah sibuk menyiapkan sarapan sambil sesekali menggoda Rasya yang belum juga selesai makan. Namun saat melihat Rendi berdiri terpaku, ia segera menghampiri.
“Sayang…” Alisya memeluknya dari belakang, seperti kemarin, seperti hari-hari di mana ia tahu suaminya butuh penguat. Ia memegang tangan Rendi, lalu membantunya membetulkan kerah kemeja.
“Apa yang ada di pikiranmu selama ini, Mas?” tanyanya pelan, penuh cinta.
Rendi hanya menatapnya, kemudian memeluk erat tubuh mungil itu, seakan tak rela berpisah walau hanya beberapa jam.
“Apapun itu… semoga kamu mampu menjalaninya. Tapi aku ingin tahu, Mas. Aku ingin membersamaimu…” bisik Alisya, menatap mata suaminya, dalam dan penuh harap.
“Aku hanya ingin kamu terus di sampingku,” ujar Rendi sambil mengusap pipi istrinya, mencoba tersenyum meski hatinya bergetar hebat. Dalam hatinya, ia bertanya, “Jika kamu tahu yang sebenarnya... apakah kamu masih akan tetap di sini?”
Pelukan terakhir pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Rendi pergi, meninggalkan rumah yang terasa seperti satu-satunya tempat bernapas.
...----------------...
Tak lama setelah kepergiannya, bel rumah berbunyi. Alisya yang sedang mencuci gelas, buru-buru menyeka tangannya dan memakai kerudung. Dengan cepat ia membuka pintu.
“...Ayah?” ucapnya pelan, terkejut.
Di ambang pintu berdiri Pak Wiratma, ayah Rendi, bersama ibu tiri Rendi. Keduanya tampak rapi, wajah mereka tenang namun menyimpan sesuatu yang tak bisa Alisya baca.
Ia mencium tangan mereka dan mempersilakan masuk. Ruang tamu seketika menjadi hening, hingga suara Pak Wiratma memecahnya.
“Kamu masih belum mau kerja, Sya?”
“Belum, Ayah,” jawab Alisya lembut, menyuguhkan air minum seperti biasa.
“Bagaimanapun juga, perempuan harus punya cadangan pekerjaan,” sahut ibu mertua. Nadanya halus, tapi tajam.
“Iya, Bu, tapi…” Alisya belum sempat melanjutkan saat Pak Wiratma menyela.
“Ayah punya hadiah. Ayah bangun satu ruko. Kelola saja. Mau jadi butik, kafe, apa pun, terserah kamu. Yang penting, kamu tidak terus diam di rumah.”
Alisya terdiam. Dulu, ayah mertuanya lah yang bersikeras agar ia menjadi ibu rumah tangga penuh, mengingat bagaimana ibu Rendi dulu pergi terlalu cepat karena terlalu sibuk bekerja. Tapi kini… semuanya terasa berubah.
Dengan pelan, ia mengangguk. “Baik, Ayah.”
“Tumben Ayah ke sini… hmm, Mas Rendi baru saja berangkat,” gumamnya hati-hati.
“Tidak, Ayah cuma ingin memastikan kalian baik-baik saja,” jawab Pak Wiratma sambil berdiri dan menatap sekeliling. Tatapannya tajam, seperti sedang mencari sesuatu.
Tak lama, mereka berpamitan. Langkah kaki mereka menjauh, meninggalkan ruang yang tiba-tiba terasa sunyi.
Alisya berdiri di depan pintu. Angin bertiup lembut, namun pikirannya penuh badai. Banyak tanya yang menyesaki hati, tapi tak satu pun ia tahu harus mulai dari mana.
Ia hanya diam, menatap langit pagi. Dan hatinya berbisik:
Ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi apa?
...****************...
Langit Jakarta pagi itu berwarna kelabu pucat, seolah meniru hati Rendi yang masih menggenggam kabut dari hari-hari sebelumnya. Tapi langkah kakinya tetap mantap saat memasuki gedung kantor—tempat di mana ia kembali memakai topeng bijak dan sikap tenang yang sudah melekat dalam dirinya bertahun-tahun.
Seperti biasa, senyumnya tersebar lembut pada setiap karyawan yang menyapanya. Satu per satu. Tak ada yang terlewat, termasuk Bunga, sang sekretaris yang pagi itu menunduk sopan, menyambutnya dengan sapaan pelan.
"Selamat pagi, Pak Rendi," ucap Bunga dengan suara yang tenang namun terasa dalam.
Rendi hanya mengangguk dan membalas dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat, lalu melangkah masuk ke ruangannya. Begitu pintu ditutup, aroma khas langsung menyambutnya—harum kopi hitam yang baru diseduh, bercampur wangi lembut dari makanan rumahan. Di atas meja kerjanya, terletak sebuah kotak bekal makan siang dengan kartu kecil di sisinya.
Tulisannya sederhana, tapi terasa menohok.
"Untuk Mas, Pak Rendi suamiku. – B."
Rendi terdiam. Matanya menatap tulisan itu sejenak, sebelum perlahan mengalihkan pandang ke luar jendela kaca besar ruangannya. Dari kejauhan, ia bisa melihat Bunga kembali ke mejanya, menyibukkan diri di balik layar komputer. Tak ada lirik mata, tak ada isyarat. Seolah mereka adalah dua orang asing yang hanya terhubung oleh rutinitas profesional.
Seketika, telepon di meja berdering. Rendi menghela napas sebentar sebelum menjawab.
“Halo, apa sayangku sudah rindu lagi?” sapanya dengan suara rendah namun hangat. Sekilas, mata Bunga melirik ke arah ruang kerja itu. Ia mengenali nada suara Rendi yang hanya digunakan untuk satu orang: Alisya.
Dari seberang, suara lembut menjawab.
“Ihh… kamu lupa, ya? Ini kan kotak bekal makan siang kamu,” lirih Alisya, terdengar sedikit kecewa namun masih penuh kasih. Rendi memejamkan mata sejenak. Ada rasa bersalah yang langsung menyelusup ke dadanya. Ia menatap meja kerjanya—dua kotak bekal, dua tangan yang mencintainya dengan cara yang berbeda.
"Maaf, Sayang... aku terburu-buru tadi," jawabnya pelan, nyaris berbisik.
“Aku bawakan siang nanti, ya…” ucap Alisya, tak memedulikan jeda hening di antara mereka. Ada cinta dalam kata-katanya, tapi juga kerinduan untuk tetap menjadi bagian dari hari-hari Rendi.
Rendi menatap jendela, seolah mencari jawaban di balik lalu lintas Jakarta yang padat.
“Tidak usah, Sayang… nanti aku makan di kantor saja,” jawabnya akhirnya. Sederhana. Tapi cukup membuat hati Alisya tenang di seberang sana.
Dan Bunga, yang masih bisa mendengar samar percakapan itu dari ruangannya, menahan napas sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. Bukan karena menang. Bukan karena senang. Tapi karena ia tahu, di tengah dua dunia yang bertabrakan, cinta Rendi masih tertambat di tempat yang sama.
Ia pun kembali menunduk, mengetik pelan, seakan ingin menyibukkan diri dari gejolak yang tak bisa ia tunjukkan.
Hari itu berjalan seperti biasa di mata dunia, namun dalam hati ketiganya—ada badai yang sedang belajar untuk tetap diam.
...****************...