Laras Sagita, gadis kampung yang polos, lucu, dan blak-blakan, merantau ke kota untuk mengubah nasib. Di hari pertamanya melamar kerja sebagai sekretaris, ia tanpa sengaja menabrak mobil mewah milik seorang pria tampan yang ternyata adalah calon bosnya sendiri, Revan Dirgantara, CEO muda yang perfeksionis, dingin, dan sangat anti pada hal-hal "tidak teratur"—alias semua yang ada pada diri Laras.
Tak disangka, Revan justru menerima Laras bekerja—entah karena penasaran, gemas, atau stres akibat energi gadis itu. Seiring waktu, kekacauan demi kekacauan yang dibawa Laras membuat hari-hari Revan jungkir balik, dari kisah klien penting yang batal karena ulah Laras, hingga makan siang kantor yang berubah jadi ajang arisan gosip.
Namun di balik tawa, perlahan ada ketertarikan yang tumbuh. Laras yang sederhana dan jujur mulai membuka sisi lembut Revan yang selama ini terkunci rapat karena masa lalu kelamnya. Tapi tentu saja, cinta mereka tak mudah—dari mantan yang posesif,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Kopi untuk Bos Level 1000
Pagi itu, cuaca Jakarta mendung manja. Laras baru saja selesai menjemur handuk saat HP-nya bergetar.
[Chat dari Arga]
Arga: "Bos udah sampai. Lagi pasang wajah datar + bawa koper. Siap-siap, Laras!"
Laras: "Koper? Jangan-jangan dia kabur ke Korea, ninggalin kita semua."
Laras buru-buru ganti baju, pakai lip balm seadanya, dan berlari ke halte ojek online. Tapi di tengah jalan menuju kantor, ia berhenti mendadak.
Di pinggir trotoar, seekor anak kucing belang tiga tengah terjebak di dalam kardus basah.
“Aduh, kasihan amat si kecil ini…” ujar Laras
Tanpa pikir panjang, Laras menggendong kotak kerdus uang berisi kucing itu, lalu buru-buru ke kantor sambil membawa satu tas dan satu kotak kardus berisi meong yang mengeong galau.
Sesampainya di lobby kantor satpam kantor hanya bisa mengangkat alis saat Laras muncul dengan napas ngos-ngosan dan kardus di tangan.
“Pak, ini bukan barang ilegal. Ini makhluk Tuhan,” jelas Laras, menunjuk ke kucing di kardus.
“Bu Laras… tolong jangan bawa kebun binatang ke kantor, ya…” ujar pak satpam itu heran
"Saya lupa pak jika disini hujan kebun binatang tapi rumah hantu" jawab Laras lalu pergi begitu saja meninggalkan satpam yang tidak menyangka dengan jawaban Laras.
Di Ruang Bos
Revan baru saja membuka laptop saat suara ketukan pintu terdengar.
Tok. Tok.
“Masuk,” katanya datar.
Laras menyembul dengan senyum dua jari dan sedikit bau basah karena kardus.
“Selamat pagi, Pak. Hari ini mood-nya level apa? Dingin beku atau hangat 38 derajat?” tanya Laras nyeleneh
Revan menatapnya dari atas ke bawah.
“Apa yang kamu bawa itu?” tanya Revan curiga
“Kucing terlantar. Saya titip di pantry ya, Pak. Saya sudah siapkan tisu dan selimut.” jawab Laras cepat
Revan memijat pelipisnya. “Kamu tahu nggak, kita ini perusahaan, bukan tempat penitipan hewan.”
“Tapi makhluk ini tadi hampir ketabrak motor. Kalau saya cuekin, nanti karma-nya ke siapa?” tanya Laras
Revan tidak menjawab. Ia hanya menatap Laras lama, lalu berkata:
“Setidaknya, kali ini kamu belum broadcast-nya ke grup kantor.”
Laras senyum lebar. “Tapi saya udah kirim ke Arga.”
Revan hanya bisa menghela nafas kesal.
Siangnya di Pantry
Laras duduk di lantai pantry, menyuapi kucing kecil dengan susu UHT dari kantin. Beberapa staf berkumpul, termasuk Arga yang sudah siap dengan kamera HP-nya.
“Kamu tuh ya, belum lama kerja, tapi dramanya udah kayak sinetron prime time,” kata Arga sambil tertawa.
“Yah, hidup terlalu datar itu membosankan, Kak Arga. Lagian, ini kucing lucu banget. Mirip Pak Revan waktu ngantuk.” jawab Laras tanpa filter
Semua tertawa.
Dari jauh, Revan lewat dan mendengar kalimat itu. Ia berhenti sebentar, menatap ke arah mereka, tapi tidak berkata apa-apa. Hanya mengangkat alis, lalu lanjut jalan.
Sorenya Revan sedang berbicara dengan Arga,
“Dia bawa kucing ke kantor, Ga?” tanya Revan
Arga mengangguk. “Iya, dan semua staf jadi heboh. Tapi anehnya… kantor jadi rame tapi nggak toxic, Pak.”
Revan termenung. “Dia… memang seperti itu, ya?”
Arga senyum menggoda. “Pak Revan mulai terbiasa sama gaya Laras ya?”
Revan mendesah. “Saya terbiasa… untuk tidak terbiasa.”
Malam Hari di Kosan Laras
Laras video call dengan ibunya di kampung.
Bu: “Laras, kamu jangan buat masalah di sana ya. Jakarta itu keras, Nak.”
Laras: “Iya, Bu. Tapi sejauh ini, aku cuma buat kucing nyasar jadi seleb kantor. Masalah kecil lah.”
Bu: “Dan bos kamu itu baik?”
Laras: “Ehm… baik kalau lagi diem. Kalau lagi ngomong, rasanya kayak ikut ujian CPNS.”
Bu: “Halah, kamu jangan bikin bos kamu baper, lho!”
Laras: “Eh... Bu, jangan-jangan udah baper. Tapi dia gengsi. Soalnya dia tuh… dingin kayak freezer kulkas rusak.”
Laras dan ibunya tertawa bersamaan.
Sedangkan di kantor yang sudah sepi, Revan masih di ruangannya. Ia membuka grup kantor dan melihat satu foto yang dikirim Arga, Laras tersenyum sambil memeluk si kucing kecil, diberi caption “Karyawan Teraktif Minggu Ini – Versi Hewan.”
Revan mengetik, lalu hapus. Ketik lagi, lalu hapus.
Akhirnya ia kirim satu pesan singkat pribadi:
Revan: "Pastikan kucing itu tidak tidur di ruang rapat besok."
Beberapa detik kemudian:
Laras: "Tenang, Pak. Dia udah saya latih. Sekarang udah tahu cara absen fingerprint."
Revan hanya bisa memandang layar. Bibirnya menyunggingkan senyum yang… tak biasa.
...----------------...
Pagi harinya seperti biasa, Laras datang dengan wajah sumringah dan rambut setengah kering. Ia menenteng satu tote bag dan satu kotak plastik besar. Di dalamnya? Bukan dokumen, melainkan… alat bikin kopi manual!
“Aku sudah bertekad,” katanya pada dirinya sendiri. “Hari ini aku bikin kopi terenak sedunia buat Pak Revan. Biar dia luluh sama anak bawangnya yang imut ini.”
Di Pantry Kantor
Arga baru bangun dari kursinya ketika mencium aroma kopi menyeruak dari pantry.
“Laras, Kamu lagi eksperimen apalagi? Jangan bilang… kopi?” tanya Arga
Laras angguk penuh percaya diri. “Special blend. Arabika Aceh campur susu kental manis. Biar Pak Bos yang dingin bisa lebih manis!”
Arga garuk kepala. “Tapi… bukannya Pak Revan alergi kafein terlalu kuat?”
Laras terdiam.
“…Hah?” Laras terkejut, lalu ia berfikir keras dan tetap melanjutkan
Di Ruang Bos
Dengan langkah mantap dan senyum penuh strategi, Laras masuk membawa secangkir kopi dalam cangkir keramik bertuliskan “Boss Level 1000”.
“Pagi, Pak. Saya bikinkan kopi spesial. Dari hati, bukan dari mesin.” ujar Laras
Revan melirik cangkir itu. Mengangkat alis.
“Kenapa saya merasa ini jebakan?” tanya Revan curiga
“Pak… masak saya tega jebak Bapak? Kalau saya keluar dari sini, saya bakal kangen Bapak lho… Eh, maksudnya kantor!” jawab Laras spontan
Revan hanya diam, lalu menyeruput sedikit. Seketika… ia batuk pelan.
“Ini… manis banget. Kamu bikin kopi atau sirup?” tanya Revan kesal
Laras nyengir. “Pemanis kehidupan, Pak!”
Dua Jam Kemudian
Revan masih di ruangannya. Matanya terbuka lebar, mengetik seperti hacker, dan terlihat lebih… aktif dari biasanya.
Arga bisik-bisik ke Laras. “Kayaknya kopi kamu bikin Pak Revan kena mode turbo. Liat tuh, ngetik nggak berhenti.”
Laras panik. “Jangan-jangan saya bikin dia overthinking. Eh tapi, itu artinya dia mikirin saya dong?”
Arga tepuk jidat. “Tolong, logika kamu tuh kayak sinetron jam tiga sore.”
Dan Laras hanya tertawa mendengar jawaban Arga
Saat jam makan siang Laras berniat masak mie instan di pantry pakai rice cooker mini-nya. Tapi lupa—airnya kelebihan, dan tutupnya nggak ditaruh. Hasilnya?
“KRUKKKK!!” dan meledak kecil
Air mie meluber, rice cooker berasap, dan… alarm kecil di pantry nyala.
Arga muncul dengan muka horor. “Laras! Lu masak atau bikin eksperimen bom atom?”
Laras panik. “Aku cuma pengin makan mie kuah, Kak. Salahku cuma lapar…”
Arga mendesah desa kesal karena kaget.
Bersambung
🌹🌹🌹🌹🌹