Tanpa gaun putih, tanpa restu keluarga, hanya akad sunyi di balik pintu tertutup.
Aku menjalani hari sebagai pelayan di siang hari… dan istri yang tersembunyi di malam hari.
Tak ada yang tahu, Bahkan istri sahnya yang anggun dan berkelas.
Tapi apa jadinya jika rahasia itu terbongkar?
Saat hati mulai berharap lebih, dan dunia mulai mempertanyakan tempatku…
Istri Siri Om Majikan adalah kisah tentang cinta yang lahir dari keterpaksaan, tumbuh di balik status yang tak diakui, dan perjuangan seorang perempuan untuk tetap bernapas dalam cinta yang ia tahu tak pernah boleh ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 24
Sebulan telah berlalu sejak Syifa meninggalkan mansion mewah itu tempat segala luka dan kenangan tertinggal dalam diam. Rumah besar milik keluarga suami sirinya, tempat ia selama ini hanya menjadi pelayan pribadi bagi Tuan Muda Jordan, lelaki yang mencintainya dalam sembunyi, yang melakukan perjalanan bisnisnya ke Amerika Serikat.
Kini, ia tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil di pinggiran kota, jauh dari gemerlap lampu kristal dan lantai marmer yang dingin. Hanya ada suara detak jam dinding, semilir angin dari jendela reyot, dan bisikan lembut dari dalam rahimnya.
Perutnya telah membulat sempurna, usia kandungannya memasuki bulan keempat. Hasil USG kemarin membuatnya tercekat bukan satu, tapi dua detak jantung kecil berdetak dalam tubuhnya.
Syifa duduk bersandar di kasur tipis, tangannya membelai lembut perutnya. Senyum getir tergantung di wajahnya.
“Maaf ya, Nak…” bisiknya lirih, seakan takut jika dunia mendengar, “Mama nggak bisa kasih kalian tempat yang mewah, apalagi nama papa kalian. Tapi mama janji… mama bakal jadi rumah terhangat buat kalian berdua.”
Kepalanya menunduk, suara tenggorokannya nyaris pecah, “Kalian kuat ya di dalam sana… jangan marah kalau malam mama sering nangis. Itu bukan karena kalian, tapi karena mama terlalu sayang sama seseorang yang pergi tanpa pamit.”
Air matanya jatuh satu per satu, membasahi baju tidurnya yang lusuh. Namun tangannya masih membelai lembut perutnya, seakan menyalurkan kehangatan dan kekuatan.
“Kalian tahu?” bisiknya sambil menahan tangis, “Kalian alasan mama bertahan. Kalian alasan mama masih mau bangun pagi. Meski dunia buang mama, mama nggak akan pernah buang kalian...”
Di luar, hujan mulai turun pelan. Seolah langit ikut menangisi luka yang tak bisa ia bagi pada siapa pun, selain dua jiwa kecil yang tumbuh dalam tubuhnya—cinta yang tersisa dari luka yang belum selesai.
Pagi itu, matahari belum terlalu tinggi. Langit masih berkabut tipis, menyisakan udara yang sejuk di sepanjang gang kecil tempat Syifa tinggal. Ia baru saja selesai sarapan dan meminum susu kehamilannya, lalu melangkah keluar rumah dengan membawa tas belanja anyaman dan secarik catatan kebutuhan.
Perutnya yang mulai membuncit dibalut gamis longgar berwarna pastel, wajahnya polos tanpa make-up, tapi tetap memancarkan ketenangan dan pesona lembut yang khas.
Saat melewati pertigaan kecil menuju pasar tradisional, seorang pria muda dengan jaket lusuh dan senyum genit menyender di motor tua. Sorot matanya menyapu tubuh Syifa dengan tatapan tak sopan.
“Wih, pagi-pagi udah jalan sendirian aja, Mbak manis. Lagi butuh ditemenin, ya?” godanya dengan suara serak yang dibuat-buat ramah.
Syifa menghentikan langkahnya. Dia menatap lelaki itu tanpa gentar, lalu melangkah satu langkah lebih dekat. Matanya jernih, tajam tapi tidak kasar. Senyum tipis menghiasi bibirnya—bukan senyum manja, tapi senyum yang menyimpan harga diri.
“Mas,” ucapnya pelan namun tegas, “kalau mulutnya belum bisa dipakai untuk berkata sopan, lebih baik dipakai buat diam.”
Pria itu tergelak, “Sombong amat. Udah hamil, masih jual mahal?”
Syifa mengangguk pelan, lalu menatap perutnya sambil membelainya sebentar. “Iya, saya memang hamil. Tapi bukan berarti saya kehilangan kehormatan. Justru karena saya mengandung, saya harus lebih menjaga diri. Dan Mas,” katanya lagi, kini suaranya semakin dalam dan dingin, “kalau belum cukup dewasa untuk menghargai perempuan yang sedang membawa nyawa, lebih baik belajar dulu jadi laki-laki.”
Pria itu mendecak, pura-pura tertawa, tapi terlihat jelas matanya mulai goyah.
“Mas pikir semua perempuan yang hamil itu lemah? Salah besar. Yang lemah itu bukan kami, tapi yang cuma bisa menggoda dari pinggir jalan karena nggak tahu cara jadi manusia.”
Syifa menatapnya sekali lagi—dalam, tajam, dan membungkam. Lalu melanjutkan langkahnya tanpa menoleh lagi.
Di belakangnya, pria itu terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Hanya angin pagi yang terus berhembus, seolah ikut mengantarkan langkah gagah seorang perempuan yang tak lagi hidup demi dirinya sendiri, tapi demi dua kehidupan yang ia perjuangkan dengan seluruh martabatnya.
Langkah Syifa belum jauh saat sebuah suara lembut memanggilnya dari arah belakang.
“Ndak papa, Nak?” suara seorang ibu-ibu paruh baya, mengenakan daster batik dan kerudung seadanya. Di sebelahnya berdiri seorang bapak-bapak dengan peci hitam dan sarung, tangan masih menggenggam plastik berisi sayur dari pasar.
Syifa menoleh dan mengangguk pelan. “Alhamdulillah, Bu… saya baik-baik saja.”
Ibu itu mendekat, menatap perut Syifa yang mulai membuncit, lalu mengusap pundaknya penuh iba dan kekaguman.
“Subhanallah… berani sekali kamu, Nak. Mulut saya sampai gemetar dengar kamu bicara tadi. Itu anak muda memang suka seenaknya, tapi kamu balas dengan tenang dan berkelas. Hati saya adem lihatnya.”
Bapak itu ikut mengangguk, wajahnya tampak kagum. “Jarang sekarang perempuan muda bisa setegas itu. Banyak yang malah takut atau diam. Tapi kamu… benar-benar jaga kehormatanmu. Salut saya, Nak.”
Syifa hanya tersenyum kecil, mencoba meredam rasa haru yang mulai menggelayuti dadanya.
“Saya cuma jaga diri, Pak, Bu. Karena saya tahu… saya nggak jalan sendiri sekarang. Saya bawa amanah besar dari Allah.” Tangannya menatap lembut ke perutnya.
Ibu itu mengangguk pelan, matanya sedikit berkaca-kaca. “Anakmu nanti pasti bangga punya ibu seperti kamu. Semoga sehat-sehat ya, Nak. Kalau butuh apa-apa… rumah Ibu di ujung gang sana. Jangan sungkan.”
“Terima kasih, Bu. Terima kasih banyak,” jawab Syifa tulus, suaranya nyaris bergetar.
Setelah mereka berpamitan, Syifa kembali melangkah ke pasar dengan dada yang lebih lapang. Ia sadar, meski ia hidup jauh dari kemewahan istana masa lalunya, tapi hatinya kini dikelilingi sesuatu yang jauh lebih mahal: martabat, kekuatan, dan doa-doa tulus dari orang-orang kecil yang begitu besar hatinya.
Syifa menelusuri lorong-lorong sempit pasar tradisional dengan langkah pelan tapi mantap. Suasana pagi mulai ramai—suara pedagang memanggil pembeli, aroma rempah, ikan segar, dan sayur-mayur bercampur menjadi khas yang entah mengapa terasa akrab di hati.
Hari ini ia berencana belanja cukup banyak. Bukan karena berlebihan, tapi agar ia tak terlalu sering keluar rumah. Perutnya sudah memasuki bulan keempat dan ia ingin beristirahat lebih banyak.
“Bu Syifa, mau tomat lagi, kah?” tanya seorang ibu penjual sayur sambil tersenyum ramah, matanya menatap perut Syifa yang makin jelas terlihat.
“Mau, Bu… yang merah-merah manis itu, ya. Biar si kembar dalam perut makin doyan makan sehat,” jawab Syifa sambil tertawa kecil.
Ibu penjual ikut tertawa, menyerahkan plastik berisi tomat yang dipilihkan langsung dari bawah. “Yang bagus ini, khusus buat calon cucu pasar,” candanya disambut tawa dari penjual lain yang duduk berjejer di lapak sebelah.
“Eh, Syifa! Jangan lupa mangga manisnya. Baru datang dari Jeneponto. Manis kayak senyummu,” goda penjual buah, seorang bapak tua dengan rambut memutih dan topi lusuh, suaranya renyah.
Syifa menggeleng sambil tersenyum geli. “Kalau mangga bisa manis, itu karena dari alam, Pak. Kalau saya manis, itu karena lapar,” jawabnya santai.
Tawa pun pecah. Beberapa pembeli yang kebetulan lewat ikut tertawa mendengar candaan Syifa yang membalas dengan gaya khasnya santun, cerdas, tapi tetap ringan.
Setelah membeli ikan segar, daging ayam, tahu-tempe, serta beras dan bumbu dapur, Syifa berhenti sebentar di lapak buah. Ia memandang pisang matang dan beberapa jeruk manis. Ia tahu anak kembarnya butuh vitamin dari buah segar.
“Berat juga belanjaanmu, Fa. Nggak mau dititipkan ojek saja?” tanya seorang ibu yang mengenalnya.
“InsyaAllah masih kuat, Bu. Tapi kalau capek, saya tinggal duduk sebentar, perut ini bisa jadi alasan istirahat terbaik,” katanya sambil menepuk pelan perutnya.
Seorang tukang ojek yang biasa mangkal dekat pintu keluar pasar menghampirinya. “Kalau nanti berat di jalan, panggil saya saja, ya, Bu Calon Mama. Saya anter sampai depan rumah, gratis satu senyum,” ujarnya sambil bercanda.
Syifa mengangguk sambil tersenyum, “Nanti saya bayar dengan dua senyum, deh.”
Pasar itu mungkin sederhana. Tapi kehangatannya, sapaan tulus para penjual, dan tawa ringan yang dilemparkan tanpa niat buruk, membuat Syifa merasa lebih diterima di sini daripada di rumah mewah manapun.
Dengan langkah pelan dan kantong-kantong belanja penuh di tangan, Syifa berjalan pulang. Hari ini hatinya lebih ringan, tubuhnya terasa lebih kuat karena ia tahu, bukan hanya karena ia sedang membawa dua nyawa dalam dirinya, tapi karena ia sedang membangun kehidupan baru... satu langkah kecil setiap harinya.