Maya Amelia, seorang mahasiswi hukum Universitas Bangsa Mulya, tak pernah menyangka kalau takdir akan mempertemukannya dengan Adrian Martadinata pengacara muda,tampan,dan terkenal di kalangan sosialita.
Awalnya, Maya hanya mengagumi sosok Adrian dari jauh. Namun, karena sebuah urusan keluarga yang rumit, Adrian terpaksa menikahi Maya gadis magang yang bahkan belum lulus kuliah, dan tak punya apa-apa selain mimpinya.
Setelah Menikah Adrian Tak bisa melupakan Cinta Pertamanya Lily Berliana seorang Gundik kelas atas yang melayani Politisi, CEO, Pejabat, Dokter, Hingga Orang-orang yang punya Kekuasaan Dan Uang. Lily Mendekati Adrian selain karena posisi dirinya juga mau terpandang, bahkan setelah tahu Adrian sudah memiliki istri bernama Maya, Maya yang masih muda berusaha jadi istri yang baik tapi selalu di pandang sebelah mata oleh Adrian. Bahkan Adrian Tak segan melakukan KDRT, Tapi Ibunya Maya yang lama meninggalkannya kembali Greta MARCELONEZ asal Filipina untuk melindungi Putrinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saat Kota Tertidur, Hati Terbangun
Apartemen Lily – Malam Hari
Cahaya lampu samping ranjang meredup, menyisakan siluet dua sosok yang duduk berhadapan di atas tempat tidur. Lily bersandar di dada Adrian, sementara tangan pria itu mengusap pelan punggungnya. Tak ada kata, hanya tarikan napas yang saling bersahutan dalam diam.
“Aku rindu saat kita dulu belum serumit ini,” ujar Lily pelan, matanya menerawang ke langit-langit.
Adrian mengangguk kecil. “Dulu kita masih bisa tertawa tanpa harus menutupi luka masing-masing.”
Lily tersenyum, pahit tapi jujur. “Kamu bahagia malam ini?”
Adrian tak segera menjawab. Ia menatap rambut Lily yang tergerai, jemarinya memainkan ujung helai-helainya.
“Untuk pertama kalinya sejak lama... aku merasa tenang,” gumamnya.
Lily menengadah, menatap wajahnya. “Tenang karena aku? Atau karena kamu berhasil menghindar dari perasaan yang lain?”
Adrian menghela napas. “Mungkin dua-duanya.”
Suasana hening sejenak. Lily lalu berbaring kembali, kali ini dengan kepala di atas lengan Adrian.
“Kalau suatu hari kamu pergi lagi, aku gak akan menahanmu, Adrian,” katanya tenang. “Tapi malam ini, aku cuma mau jadi seseorang yang bisa kamu genggam tanpa ragu.”
Adrian menoleh padanya. “Aku gak janji akan tinggal, Lily... tapi malam ini, aku ada di sini. Sepenuhnya.”
Lily menutup matanya. “Itu cukup.”
Lampu kamar akhirnya padam sepenuhnya, menyisakan kegelapan yang hangat dan tenang. Di luar jendela, kota Jakarta tetap terjaga.
Tapi di dalam ruangan itu, dua hati yang pernah retak mencoba saling mengisi kembali—meski mereka tahu, pagi esok belum tentu memberi jawaban pasti.
Di dalam kamar, suasana terasa semakin intens. Adrian membiarkan tangannya melingkari pinggang Lily yang ramping, sentuhannya semakin dalam.
Lily sedikit mendesah, mencondongkan tubuhnya lebih dekat, dan membalas tatapan Adrian dengan mata yang berbinar.
Napas mereka saling berkejaran di antara keheningan yang dipenuhi gairah. Lily mengangkat tangannya, mengelus rahang Adrian dengan lembut, kemudian jarinya bergerak turun ke lehernya.
Senyum tipis terukir di bibir Adrian saat ia menarik Lily semakin rapat ke arahnya, seolah tak ada jarak yang perlu memisahkan mereka lagi.
Tengah Malam
Lampu telah padam. Hanya cahaya samar dari kota yang menyelinap lewat tirai. Adrian belum tertidur. Di sampingnya, Lily terbaring tenang dengan tangan menggenggam lengannya erat, seolah takut kehilangan lagi.
Adrian menoleh, menatap wajah Lily yang damai dalam tidur. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa tidak ingin ke mana-mana. Tak ingin mengejar bayangan siapa pun—termasuk Maya.
Nama itu perlahan menjauh dari benaknya. Maya yang polos, yang muda, yang terlalu jauh dari dunia yang Adrian jalani. Bukan karena dia tak berarti, tapi karena kenyataan hidup membuat Adrian sadar: ia bukan pria yang bisa menunggu seseorang bertumbuh.
Ia ingin seseorang yang sudah mengerti kerasnya realitas. Dan Lily—dengan semua luka dan keberaniannya—ada di sana.
Adrian mengusap rambut Lily pelan. Senyum samar muncul di bibirnya.
"Dia tahu kapan harus diam, tahu kapan aku butuh sentuhan. Dia tak bertanya terlalu banyak, tapi tahu segalanya."
Lily bergumam pelan dalam tidur, lalu makin mendekat. Tubuhnya melekat erat pada Adrian, seperti menegaskan bahwa ia ingin tetap tinggal.
Malam itu, tanpa ia sadari, Adrian mulai memindahkan pusat perasaannya. Maya menjadi kenangan singkat, sementara Lily perlahan menjadi obsesi.
Bukan hanya karena fisiknya, tapi karena Lily membuatnya merasa dibutuhkan. Di dalam kekosongan batin Adrian, Lily seperti jawaban sementara yang menenangkan.
Pagi Hari – Apartemen Lily
Cahaya matahari menembus sela-sela tirai. Adrian terbangun lebih dulu. Lily masih terlelap, selimut menyelimuti sebagian tubuhnya.
Adrian duduk di tepi ranjang, memandangi sekeliling ruangan. Pandangannya tertumbuk pada gaun merah Lily yang tergeletak di lantai. Sebuah senyum mengembang. Bukan senyum penuh cinta—tapi ketertarikan yang perlahan berubah menjadi ketergantungan.
Ia mengambil ponselnya, membuka galeri. Foto Maya masih ada di dalamnya—saat mereka tanpa sengaja berfoto bareng di taman kampus. Ia menatapnya beberapa detik… lalu menekan tombol hapus.
Tanpa ragu.
Lily menggeliat, membuka mata perlahan dan tersenyum melihat Adrian masih di sana.
“Kamu gak pergi pagi ini?” gumamnya dengan suara serak bangun tidur.
Adrian menoleh. “Nggak. Aku masih mau di sini.”
Lily memeluknya dari belakang. “Aku suka kamu yang begini... tinggal.”
Adrian menarik napas panjang. Untuk saat ini, dunia di luar ruangan itu tak berarti. Maya adalah cerita yang belum selesai, tapi Lily adalah pilihan yang membuatnya merasa hidup kembali—meski dengan cara yang rumit.
Dan kadang, manusia memilih apa yang membuatnya merasa hidup… bahkan jika itu bukan yang terbaik.
*
*
*
*
Rumah Maya – Pagi Hari
Maya seperti biasa bangun di pagi hari, tubuhnya masih terasa lelah setelah semalaman belajar untuk ujian. Namun, rutinitas pagi tak bisa dilewatkan.
Dirinya berjalan ke dapur kecil rumah mereka, menyalakan kompor gas, dan mulai menyiapkan sarapan sederhana untuk sang ayah—nasi, telur dadar, dan sambal tomat buatan sendiri yang jadi favorit almarhum ibunya.
Aroma masakan pelan-pelan mengisi udara. Sesekali Maya menatap keluar jendela dapur, memperhatikan langit Jakarta yang mulai cerah. Di sana, hari baru datang seperti biasa—sunyi, tanpa banyak kejutan, tapi juga tanpa beban yang terlalu besar.
“Yah, bangun. Sarapannya sebentar lagi siap,” katanya sambil mengetuk pintu kamar ayahnya pelan.
Tak lama, sang ayah muncul dengan rambut acak-acakan dan senyum mengantuk. “Pagi, Nak.”
Maya membalas dengan senyum hangat. “Pagi, Yah. Telur dadar favorit Ayah hari ini.”
Ayahnya duduk di kursi makan kayu yang sudah usang, mengangguk pelan. “Kamu tuh, udah kayak ibu kamu. Gak pernah biarin Ayah lapar.”
Maya diam sesaat. Nama ibu masih sering membuat dadanya sesak. Tapi pagi ini ia tak ingin larut. “Mungkin aku dapat warisan cinta masak dari Mama,” katanya sambil menuangkan teh manis ke cangkir.
Mereka sarapan dalam diam yang nyaman. Maya sesekali melirik jam dinding—sebentar lagi ia harus berangkat ke kampus untuk ujian semester. Di benaknya, masih ada bayang-bayang Adrian. Tapi tidak sekuat dulu.
Pagi ini, pikirannya lebih sibuk dengan soal etika hukum negara dan pengantar ilmu hukum.
Adrian mulai memudar dari pikirannya, seperti kabut yang tertiup angin pagi. Ia tak tahu apakah itu pertanda baik… atau justru awal dari sebuah kehilangan yang perlahan jadi permanen.
Maya mengenakan tas ransel hitamnya, rambutnya dikuncir rapi seperti biasa. Ia berdiri di depan sang ayah yang masih duduk di meja makan, lalu meraih tangannya dengan penuh hormat.
"Doain Maya ya, Yah, biar sukses," ujarnya pelan, menundukkan kepala, mencium tangan sang ayah.
Ayahnya menatap putri semata wayangnya dengan mata yang sedikit berkaca. Ia genggam tangan Maya erat-erat, seolah ingin menitipkan semua harapan di dalamnya.
"Ayah selalu doain kamu, Nak. Setiap hari, setiap napas Ayah."
Maya tersenyum kecil, lalu memeluk sang ayah sebentar. Pelukan itu tidak lama, tapi cukup untuk mengisi semangatnya pagi itu.
Saat melangkah keluar rumah, matahari mulai naik, menyorot jalan kecil di depan rumah mereka. Maya menghela napas panjang dan berjalan menuju halte, membawa harapan, beban, dan semangat yang tak pernah ia tunjukkan di permukaan.
Di belakangnya, sang ayah berdiri di depan pintu, memandangi punggung Maya yang menjauh. Dalam hatinya, ia tahu—gadis kecilnya sedang tumbuh menjadi sosok tangguh yang berjuang di tengah kerasnya hidup. Dan itu membuatnya bangga, sekaligus khawatir.
Pinginnya gak panjang-panjang awalan ceritanya...
malah kadang suka lebih seru kalau awalan nya langsung yg konflik atau sudah jadi nya aja 👍😁
Ditengah atau setelahnya baru dehh bisa di ceritakan lagi sedikit atau pelan-pelan proses dari awalan Konflik tsb 👍😁🙏
kalau di awalin sebuah perjalanan cerita tsb,kadang suka nimbulin boring dulu baca nya... kelamaan ke konflik cerita tsb nya 🙏🙏🙏