Suatu kesalahan besar telah membuat Kara terusir dari keluarga. Bersama bayi yang ia kandung, Kara dan kekasih menjalani hidup sulit menjadi sepasang suami istri baru di umur muda. Hidup sederhana, bahkan sulit dengan jiwa muda mereka membuat rumah tangga Kara goyah. Tidak ada yang bisa dilakukan, sebagai istri, Kara ingin kehidupan mereka naik derajat. Selama sepuluh tahun merantau di negeri tetangga, hidup yang diimpikan terwujud, tetapi pulangnya malah mendapat sebuah kejutan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miracle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Posesif
Elno heran ketika melihat istrinya sudah cantik. Dress yang dipakai berada di atas lutut. Kara juga memakai sepatu sport putih serta tas ransel hitam.
"Sayang, kamu mau ke mana?" tanya Elno. Ia melepas jas yang dipakai, lalu mengikatnya di pinggang Kara.
"Elno!" protes Kara.
"Terlalu pendek. Aku enggak mau kakimu dilihat sama orang."
"Ini masih selutut," kata Kara.
"Enggak boleh keluar kalau masih pakai baju ini. Memangnya kamu mau ke mana?"
"Mau ketemu teman lama. Kamu tau sendiri kalau aku enggak punya kendaraan. Perginya juga harus pakai taksi online."
"Aku sudah pesan mobil yang kamu mau. Masih nunggu lagi untuk warna merah," ucap Elno. "Hari ini kamu jangan keluar rumah. Tunggu aku pulang saja."
Sari menggerutu dalam hati melihat Kara dan Elno. Hanya untuk masalah baju saja Elno begitu panik. Bisa-bisanya suaminya itu rela melepas jas yang dikenakan hanya untuk menutupi kaki Kara yang terlihat.
"Siangnya aku juga ingin belanja gaun buat acara kita," kata Kara.
"Acara?" sela Sari.
"Bukan apa-apa," sahut Elno, lalu membawa Kara pergi dari ruang makan.
"Elno, acara apa yang dimaksud Kara?" seru Sari yang ikut menyusul.
"Enggak ada," kata Elno.
"Bohong! Kamu pasti menyembunyikan sesuatu dariku. Pasti acara perusahaan. Kamu enggak mau mengajakku? Selama ini aku yang dampingi kamu," cerocos Sari.
"Kali ini aku ingin pergi bersama Kara. Aku ingin memperkenalkannya kepada teman-teman kantor," kata Elno.
"Aku mau ikut! Jika Kara pergi, maka aku juga. Kita harus sama-sama. Kamu harus memperlakukan kami dengan adil!" ucap Sari.
"Kalau kamu mau ikut, silakan saja. Jangan bicarakan keadilan. Kayak kamu itu merasa diperlakukan tidak adil saja," sahut Kara.
"Kenyataan memang begitu. Kamu datang, Elno malah berpaling dariku."
"Oh, merasa tidak terima. Ya, sudah. Kamu boleh mundur. Pintu rumahku terbuka lebar."
"Sayang, bicara apa kamu?" sela Elno pada Kara.
"Untuk acara perusahaan saja kita harus bertengkar. Kalian merusak suasana hatiku saja," ucap Kara.
Elno menghela napas. "Kamu mau pergi, kan? Biar aku antar."
Elno mengambil tas kerja dan kunci mobil di sofa. Ia lekas membawa Kara keluar kamar tanpa pamitan lagi kepada Sari. Keduanya harus dipisahkan sebelum perdebatan itu menjadi panjang lebar.
"Mau ke mana?" tanya Elno.
"Kafe But First Coffe."
Elno melihat jam di pergelangan tangannya. Masih tersisa setengah jam lagi untuk masuk kantor. "Aku temani kamu sampai temanmu itu datang."
"Enggak perlu," ucap Kara
"Siapa temanmu itu?"
Kara memandang suaminya. "Apa harus sampai se-detil itu aku menjawabnya? Aku merasa terkekang. Kamu yang enggak jujur saja aku maklumi."
"Laki-laki atau perempuan? Siapa namanya? Apa aku kenal dengannya?" tanya Elno beruntun dengan mengindahkan perkataan Kara tadi.
"Laki-laki. Puas!" sahut Kara.
"Kita ke hotel saja. Hari ini aku akan minta cuti sehari. Kita habiskan waktu bersama."
"Aku hanya ingin ke kafe. Aku ingin menenangkan diri," kata Kara.
Elno menepikan mobil di pinggir jalan. Ia melepas sabuk pengaman, lalu menganjurkan tubuh mengecup pipi sang istri.
"Aku serius. Aku temani kamu, ya," ucap Elno.
"Kamu lagi mau naik jabatan. Enggak baik bolos "
Elno tertawa. "Memangnya sekolah. Begini saja, setelah acara itu kita liburan bersama. Kamu mau, kan?"
Kara mengangguk. "Iya, aku akan liburan bersamamu. Sekarang antarkan aku ke sana. Aku ingin sarapan."
"Iya, aku antar kamu ke sana. Tapi janji harus selalu bagi tau aku keberadaanmu."
"Cerewet sekali. Aku akan memberitahumu."
Elno kembali memasang sabuk pengaman, lalu mengendarai mobilnya ke kafe yang Kara tuju. Seperti apa yang Elno katakan. Ia menemani sang istri dulu sekitar lima belas menit baru pergi ke kantor.
"Hai!"
Kara menoleh dan ia tersenyum. "Hai, Ted."
"Gila! Makin cantik saja setelah pulang dari luar negeri." Tedy langsung duduk di kursi dan ia mengerutkan kening melihat cangkir kopi yang menyisakan setengah airnya. "Kamu sama siapa tadi?"
"Elno, dia takut aku ketemuan sama cowok lain. Biar aku pesanin kopi buatmu."
Tedy mengangguk. "Sumpah, Kara. Aku kira itu bukan akun fesbuk-mu. Elno malah enggak bilang kamu sudah kembali. Ilmi juga. Tuh, anak kerjaannya sibuk melulu."
"Aku sudah banyak kehilangan kontak teman sekolah, makanya aku cari nama kalian di medsos," ucap Kara.
"Terus gimana? Kamu sudah tau apa yang terjadi pada Elno, kan? Sari istrinya juga. Sumpah, deh. Aku merasa bersalah banget. Kejadiannya di rumahku. Sari juga ngebet mau nikah sama Elno. Maklumlah, kamu tau sendiri jabatan suamimu sekarang."
"Semua sudah terjadi. Apa boleh buat. Aku harus menerimanya."
"Sejak kamu tinggal, Elno memang bekerja keras. Dia selalu saja lembur. Dia berharap lekas naik jabatan dengan gaji gede biar kamu cepat pulang."
"Ini juga salahku. Aku menyadarinya karena meninggalkan dia terlalu lama. Menurutmu aku harus bagaimana?" tanya Kara.
Tedy menggaruk kepalanya, lalu mengangkat bahu. "Enggak tau. Aku bukan wanita."
Kara tertawa. "Jangan bahas aku lagi. Ceritakan tentangmu."
"Apanya? Aku ini cuma dosen."
"Bukannya kamu satu jurusan sama Ilmi dan Elno?"
"Cuma satu kampus dan jurusan belum tentu nasibnya sama. Aku suka mengajar mahasiswa," kata Tedy.
Kara menaikkan sebelah alisnya. "Apa yang kamu ajarkan?"
"Aku tidak seperti Elno yang punya benih subur. Satu kali tanam sudah jadi, tuh, benih."
Kara menundukkan kepala. Tedy tersadar atas apa yang ia ucapkan. Ia keceplosan bicara mengenai tanaman bibit.
"Maaf, Kara. Aku enggak sengaja," ucap Tedy.
"Enggak apa-apa," jawab Kara.
"Kita jalan-jalan saja. Hari ini aku libur. Khusus untukmu aku rela cuti."
Kara tersenyum. "Sekalian kamu ajarin aku menyetir mobil."
"Cie, habis pulang langsung beli mobil," goda Tedy.
"Bukan, tapi Elno yang beliin pakai duitnya."
"Ya, sudah. Kita jalan saja sekarang," kata Tedy.
"Kita sarapan dulu habis itu baru kita jalan."
...****************...
"Mukamu kusut," tegur Ilmi. "Masalah rumah tangga?"
"Tadinya aku ingin mengajak Kara ke acara nanti, tapi Kara malah mengatakannya pada Sari," kata Elno.
Memang niat Elno seperti itu. Mengajak Kara bersamanya. Tidak disangka Kara malah membocorkan rencananya.
"Dia minta ikut?"
"Pastilah."
Ilmi tertawa. "Kukira punya istri dua menyenangkan."
"Tidak seperti yang kamu bayangkan. Kara masih belum bisa menerima sepenuhnya pernikahanku bersama Sari. Saat Kara melihatku bersama Sari, dia terluka." Elno menghela napas panjang memikirkan rumah tangganya.
"Kamu tinggal gantian bermesraan bersama mereka," jawab Ilmi enteng.
Elno mendengkus. "Andai bisa begitu."
Elno beranjak dari duduknya meninggalkan Ilmi di kantin. Ilmi mencerna apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu.
"Pasti dia enggak dikasih jatah," gumam Ilmi sembari tertawa kecil. Kemudian dia menepuk kening. "Aku lupa memberitahu Tedy."
Bersambung
penuh makna
banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari cerita ini.
sampai termehek-mehek bacanya
😭😭😭😭🥰🥰🥰
ya Tuhan.
sakitnya