Penderitaan bisa dikatakan sebagai temannya. Tangis air mata tak pernah lupa untuk hadir. Perih dari luka yang tercipta selalu ia tahan. Namun, bagaimana jika ia harus menikah hanya untuk menggantikan posisi pengantin perempuan.
Elvira Pelita harus menggantikan posisi sang kakak dalam pernikahan, menjadi pengantin perempuan yang bersanding dengan pria yang seharusnya ia panggil kakak ipar.
Arkanio Althaf Zerion harus menikahi sang calon adik ipar karena calon istrinya melarikan diri. Ia selalu membenci pernikahannya karena bagi Arka, Vira penyebab perginya perempuan yang amat dicintainya.
"Jangan mendekat jangan sakiti aku, aku bisa menjelaskan semuanya. Aku tidak bersalah." Vira was-was karena Arka semakin mendekat.
"Kau salah, kau bersalah!" teriak Arka tepat di muka Vira.
Bagaimana pernikahan yang dipenuhi kebencian itu akan berjalan dan bagaimana cara Vira menyakinkan Arka bahwa ia tidak bersalah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nidati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hidup Terpisah
Suasana hati Arka sedang tidak baik terlebih perkataan Lydia yang masih terngiang dengan jelas. Awan mendung menggambarkan suasana hati Arka saat ini, hanya saja tak ada pengiring seperti hujan dan petir. Balkon menjadi tempat pelarian Arka. Pria itu berdiri tegak dengan raut wajah yang tak terbaca. Arka menghiraukan panggilan Bi Murni, ia tetap diam. Sampai Bi Murni pergi pun Arka belum juga beranjak dari balkon. Menimbang-nimbang keputusan yang akan ia ambil. Ada sesuatu yang berbisik pada Arka untuk tidak menuruti ucapan sang ibu, di lain ruang ada kebimbangan dalam mengambil keputusan. Satu hal yang tak bisa Arka kemukakan, kenapa Lydia bersih keras untuk memisahkan mereka bukan malah berusaha memperbaiki hubungan mereka dan juga seluruh keluarga mendukung keputusan Lydia. Arka masih belum paham, perkataan Vira tadi pagi ternyata bukan bualan semata, wanita itu benar melakukannya dengan mencari simpati keluarga.
"Arrggh..." Arka melampiaskan rasa marahnya pada vas bunga yang tak salah apapun.
Sesuatu yang semula indah dengan bunga yang menjadi hiasan kini tergeletak tak berdaya, pecahan vas menjadi penghias lantai. Seakan mencerminkan hati Arka yang remuk lebur dan tak bisa disatukan kembali. Hidup Arka tak akan pernah damai jika rasa benci itu masih hinggap dalam hatinya. Jikalau Arka mau sedikit saja mengerti dan mendengar perkataan orang lain bukan hanya menuruti egonya saja dapat dipastikan Arka melihat sebuah anugrah yang tuhan berikan padanya. Jangan sampai penyesalan itu datang di saat sesuatu yang dimiliki tidak dapat digenggam lagi.
"Masuk Arka di luar dingin." Entah sejak kapan Lydia sudah berada di dalam kamar Arka tengah duduk santai membaca majalah bisnis milik sang anak.
"Apa yang mama inginkan," ucap Arka tak mau basa basi, kondisinya sedang tidak baik sekedar untuk menggapi perkataan Lydia.
"Mama hanya ingin mengambil berkas perceraianmu agar cepat diproses." Menatap sang anak dengan datar.
"Aku belum menandatanganinya," balas Arka begitu mudahnya, padahal beberapa saat lalu Lydia melontarkan ancaman pada Arka dengan menggunakan Arleta.
"Ya, sudah tinggal tandatangani sekarang apa susahnya, toh tidak akan berpengaruh apapun padamu. Ya, sebentar lagi kau akan menyandang status baru. Duda." Lydia menyeringai tertawa tipis pada Arka.
"Sebentar lagi kau akan menyandang status ayah, Nak," batin Lydia.
Dalam hati ia tersenyum melihat tingkah Arka yang enggan melakukan perintahnya. Anaknya itu malu-malu akan perasaanya sendiri, hanya dengan melihat mata Arka saja Lydia sudah tahu apa yang sebenarnya Arka rasakan.
"Aku tidak bisa menandatanganinya." Lydia memicing mendengarnya, dalam diamnya Lydia bertanya alasan Arka.
"Tanganku masih sakit."
"Bahumu yang sakit bukan jarimu."
"Sakitnya menjalar hingga jari. Mama tidak merasakannya jadi tidak tahu."
"Kalau begitu cap jari saja." Lydia terkikik geli melihat wajah Arka yang kehilangan kata-kata.
Dasar Arka saja yang mencari alasan untuk menghindar. Akui saja jika Arka tidak mau pisah, begitu saja repot. Pada dasarnya Lydia memang sedang menguji perasaan Arka terhadap Vira. Ia akan menekan perasaan Arka hingga pria itu menyadari perasaannya sendiri.
"Cepat sembuh dan tanda tangani. Kalau sudah serahkan pada mama." Arka tak banyak menanggapi dan Lydia pun memilih keluar dari kamar sang anak.
Hari semakin sore dan langit pun tak bersahabat dengan menabur warna hitam. Vira berada di parkiran sekolah bersiap untuk pulang.
"Lah, Bu Vira baru mau pulang?" Vira mengalihkan pandangan pada Nando yang berjalan menghampirinya.
"Ehh iya, Pak Nando juga mau pulang?"
"Iya, tadi habis ngajarin anak-anak main basket," jawab Nando.
"Kalau gitu saya duluan, Pak," pamit Vira tersenyum lembut dan segera mengendarai sepeda motornya.
"Meleleh hati saya melihat senyum manis ibu," gumam Nando tersenyum kecil kemudian menggeleng. Geli sendiri dengan apa yang dirinya pikirkan.
Sekarang bukan lagi kediaman keluarga Zerion yang menjadi tujuan Vira untuk pulang, melainkan rumahnya dulu sebelum menikah kembali kepada orang tuanya. Hal ini menjadi bagian dalam rencana Lydia, tapi baik Melisa maupun Pras tidak ada yang tahu jika pernikahan sang anak sedang ada masalah. Vira hanya mengatakan ingin menghabiskan waktu lebih lama bersama orang tuanya. Lebih tepatnya bersama Melisa karena Vira yakin jika Pras tidak akan mau melihatnya bahkan sedetikpun.
Kendaraan melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalan yang ramai akan kendaraan lain. Vira menepikan kendaraan saat melewati penjual buah. Ia turun membeli beberapa buah-buahan segar, setelahnya Vira membayar belanjaan ia pun segera pulang.
Sampai di rumah sebuah mobil sudah terparkir di garasi. Berarti Pras sudah pulang sebelum Vira. Memarkirkan motor, kemudian masuk dan meletakkan buah yang tadi dibeli. Setiap langkah Vira tak luput dari pandangan Pras yang sedang duduk menikmati kopi hitam dengan televisi yang menayangkan sebuah program. Vira terlalu takut sekedar menyapa Pras sehingga memilih segera masuk kamar.
Tubuh Vira yang terasa lelah kini hilang setelah terguyur oleh air dingin. Menjadikannya terlihat lebih segar. Menata rapi rambutnya yang berantakan. Vira menatap pantulan wajahnya yang sangat pucat pada cermin. Vira menggunakan lipbalm untuk menyamarkan wajahnya yang pucat.
Denting ponsel terdengar, Vira memeriksa pesan masuk yang dikirim oleh ibu mertuanya.
"Kamu tidak perlu khawatir, semua aman terkendali. Jangan memikirkan hal yang tidak-tidak, jaga saja kandunganmu. Semua akan segera berakhir, percayalah."
Vira tersenyum setelah membaca pesan dari Lydia yang membuatnya cukup terharu. Setidaknya keluarga Arka tidak buruk dalam memperlakukan berbanding terbalik dengan Arka yang sangat membencinya. Dalam sekali cerita saja, Lydia sudah tahu siapa yang harus dibela, lantas kenapa Arka tidak bisa berpikir seperti sang mama.
"Sebagai seorang wanita aku juga memiliki batas kesabaran. Perlakuanmu sudah sangat menyakitiku dan aku ingin segera terlepas dari pernikahan ini." Vira menatap dirinya sendiri pada cermin.
Melamunkan nasib yang tak pernah baik terhadapnya. Apa dirinya sungguh tidak pantas mendapat kasih sayang dari seorang pria. Pras sudah membenci Vira sejak kecil dan sekarang Arka juga membencinya. Kenapa harus seperti itu.
"Maafkan mama, Sayang. Mungkin kamu tidak akan mengenal siapa ayah kandungmu. Mama tidak ingin kamu tersakiti sama seperti mama." Vira mengusap perutnya yang tertutup pakaian yang ia kenakan.
Sebaiknya seperti itu. Tidak akan ada pengaruhnya sama sekali mau Arka mengetahui kehamilannya atau tidak. Pria itu tidak akan mau menerimanya.
"Sikapmu memang kasar, tapi hatimu? Apakah hatimu tak memiliki perasaan sama sekali, tidak mungkin kamu berhati batu, 'kan. Aku hanya berharap suatu saat nanti mata hatimu terbuka." Vira menghela nafas kasar, rasa sesak di dada tiba-tiba datang menyerang. Nafas Vira terasa berat.
"Kamu adalah kekuatan mama sekarang. Kita harus berjuang bersama, sehat-sehat di dalam sana, sayang. Mama menunggumu." Vira menunduk memandang perutnya. Ia tertawa membayangkan perutnya yang akan membesar sesuai usia.
Vira harus segera berkonsultasi dengan dokter kandungan untuk mengetahui segala hal tentang kehamilan karena ini adalah pengalaman pertama baginya.
Malam datang setelah matahari menyembunyikan diri. Langit kosong tak ada satu bintang pun yang menghiasi. Sinar rembulan pun tak terlihat.
Arka berbaring menerawang langit kamar. Pria itu menatap langit kamar tanpa berkedip dengan jiwa yang kosong. Arka menoleh ke samping tempat di mana Vira biasa berbaring. Dari matanya terdapat binar yang tak dapat dijelaskan. Arka segera menghapus bayangan Vira dari pikirannya. Bingung kenapa secara tiba-tiba ia memikirkan tentang Vira. Arka Berbalik memunggungi tempat tidur Vira dan berusaha untuk memejamkan mata.
Hari berlalu tergantikan hari yang baru, suasana baru dan perasaan baru. Awal hari yang harus menjadi kebahagiaan saat pertama kali membuka mata. Udara segar dengan kicauan burung menyambut Arka yang sudah selesai mandi.
"Vira! Cepat bantu aku!" Arka berseru sangat keras dan detik berikutnya ia sadar jika Vira tak ada di sana.
Arka mendesis kesal pada dirinya sendiri karena sudah memikirkan Vira yang jelas-jelas tidak ada di sana. Arka harus bisa tanpa Vira di sampingnya karena sebelumnya ia juga sudah terbiasa sendiri maka ada atau tidaknya Vira bukanlah masalah besar.
"Aku harus ke rumah sakit untuk mengecek kondisi bahuku," gumam Arka saat membenarkan arm sling.
Arka turun dan menuju meja makan, di sana semua orang sudah berkumpul. Kecanggungan menyelimuti semua, tak ada yang mengobrol saat makan, bahkan Killa yang biasanya cerewet kini kembali dingin seperti semula. Sikap kakek dan Faras pun tak jauh berbeda. Arka tak menyangka jika kepergian Vira meninggalkan dampak pada setiap anggota keluarga.
"Bagaimana Arka, kamu sudah menandatanganinya atau belum," ucap Lydia.
"Belum sempat," balas Arka.
"Kalau gentleman sih seharusnya tahu apa yang harus dilakukan," sindir Killa secara halus.
Gadis itu bangkit menggendong tasnya, kemudian menyalami semua orang sebelum pergi sekolah.
"Aku juga berangkat," ucap Arka.
***
Happy reading
Kok up nya malam terus? Ya karena ini waktu luang aku buat nulis hehee
Salam sayang dari aku.
Orang berpendidikan kok mau2nya di aniaya sama ayah dan suaminya..gk masuk akal..
Ceritanya terlalu lebay..
Thor coba bikin tokoh perempuan yg kuat dan punya harga diri
Vira kamu jgn bodoh pergi dari rmh itu..kamu seorang pendidik harusnya tegas dan punya sikap..
thor viranya harus di bikin tegas dan punya sikap dong..