Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap
Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.
Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.
Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03-Pertemuan
Hujan sore itu turun pelan, membasahi kaca minimarket hingga dunia di luar terlihat seperti lukisan buram. Rintik-rintiknya berjatuhan lembut, namun cukup membuat udara menusuk kulit. Lauren Hermasyah menarik ujung sweater lusuhnya—hadiah ulang tahun dari suaminya tiga tahun lalu—sembari mengamati total belanja di layar kasir. Ia memberi senyum kecil pada kasir, meski jari-jarinya gemetar menahan dingin.
Dua kantong plastik penuh barang kebutuhan rumah tangga tergantung di tangannya. Terlalu penuh, terlalu berat. Tapi Lauren tidak bisa menunggu hujan reda; waktunya sempit, dan suaminya membenci jika makan malam terlambat.
Ia melangkah keluar, payung kecilnya bergetar tertiup angin. Mobil-mobil lewat, mencipratkan air. Suara hujan memantul di trotoar, menciptakan ritme yang biasanya menenangkan—tapi kali ini, hanya menambah rasa lelah di pundaknya.
Lauren menunduk, menata napas.
Hanya beberapa meter. Beberapa meter saja ke rumah.
Namun salah satu kantong belanjaan tiba-tiba sobek.
“Ah—”
Botol kecap hampir jatuh, gula pasir menabrak sepatu ketsnya, dan Lauren spontan jongkok untuk menyelamatkan isinya.
Tangannya yang dingin berusaha menahan semuanya sebelum tumpah ke genangan air. Beberapa orang lewat, tapi tak satu pun berhenti.
“Aku bisa bantu.”
Lauren terkejut. Suara itu datang dari dekat, rendah namun jernih. Saat ia mendongak, ia melihat seseorang berdiri di sampingnya—seorang pria muda, basah kuyup karena hujan, namun wajahnya terlihat tenang seolah cuaca buruk tak menyentuhnya sama sekali.
Ransel hitam tergantung di bahunya. Hoodie abu-abu melekat pada tubuhnya karena basah, dan air menetes dari ujung rambut hitam gelapnya.
Mahasiswa, pikir Lauren sekilas.
Atau seseorang yang jauh lebih muda dari dirinya.
Pemuda itu berjongkok tanpa menunggu jawaban, meraih botol kecap dan memasukkannya kembali ke kantong yang masih utuh.
Lauren mencoba menolak. “Tidak apa-apa, aku bisa—”
“Tanganmu kedinginan,” katanya datar, tanpa menatapnya. “Dan kantongnya udah robek. Sebentar.”
Tanpa banyak bicara, dia mengeluarkan kantong kain dari tas ranselnya—bersih, rapi, seperti sudah selalu ia bawa. Lauren menatapnya, terkejut sekaligus bingung.
Dengan gerakan cepat dan presisi, ia memindahkan semua barang dari kantong plastik yang robek ke dalam kantong kain itu. Ia melakukannya dengan cara yang hati-hati… tapi tidak kikuk. Seakan ia sudah sering membantu orang seperti ini.
Atau… seseorang tertentu.
Ketika berdiri, pemuda itu menyerahkan kantongnya pada Lauren. “Rumahmu jauh?”
Lauren menggeleng. “Tidak… hanya dua blok dari sini.”
Pemuda itu mengangguk pelan. “Aku antar.”
“T-Tidak perlu. Kau pasti mau pulang juga, ini sudah sore—”
“Aku juga tinggal di arah itu,” jawabnya datar.
Kalimat itu terdengar sederhana, namun cara ia mengatakannya—tenang dan langsung—membuat Lauren tidak bisa menemukan alasan lain untuk menolak tanpa terdengar tidak sopan. Hujan semakin deras, memaksa mereka bergerak sebelum basah total.
Mereka mulai berjalan berdampingan.
Lauren menunduk, berusaha menjaga jarak sedikit, tapi pemuda itu berjalan dengan langkah tenang yang secara alami menyamakan ritme dengannya.
Setelah beberapa saat, Lauren membuka suara. “Terima kasih. Maaf merepotkan… ehm—”
“Asher.”
Lauren berkedip. “Asher…?”
“Asher De Luca.”
Ia mengangguk kecil, memperkenalkan diri tanpa senyum. “Aku tinggal di jalan yang sama. Baru pindah.”
Lauren langsung ingat rumah seberang yang sedang direnovasi besar-besaran. Pemilik rumah… pria berjaket hitam dan topi gelap itu.
Tapi Asher terlalu muda.… Mahasiswa.
“Rumah yang sedang direnovasi itu…?” Lauren bertanya hati-hati.
Asher menatap ke depan. “Iya. Rumah itu.”
Lauren terkejut, hampir berhenti melangkah. “Kau pemiliknya?”
Asher menoleh sebentar, mempelajari reaksinya. “Hmm. Begitulah.”
Lauren menggigit bibir. Ia mencoba sopan, tapi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Maaf… aku sempat berpikir… pemilik rumahnya seseorang yang… lebih tua.”
Asher tidak tersinggung. Bahkan ada sedikit ketertarikan sesaat dalam caranya menatap Lauren, sebelum ia kembali menatap jalan.
Hujan membasahi jaketnya, tapi ia tampak tak peduli.
“Aku sering dapat komentar begitu,” katanya santai. “Nggak apa.”
Mereka kembali berjalan dalam diam. Hanya suara hujan dan langkah kaki di trotoar basah yang terdengar.
Setibanya di depan rumah Lauren, Asher berhenti.
Ia menyerahkan kantong belanjaan itu—sedikit lebih erat dari seharusnya, seolah memastikan Lauren memegangnya benar-benar kuat.
Lauren memberi senyum lemah. “Sekali lagi, terima kasih, Asher. Kau benar-benar membantu.”
Asher menatapnya lama. Tatapannya tidak seperti tatapan orang asing… lebih dalam, lebih mengamati.
“Sama-sama, Bu Lauren.”
Lauren terdiam. Ia tidak pernah menyebutkan namanya.
Asher merapikan tali ranselnya. “Kau pulang sendirian setiap sore?”
Pertanyaan itu sederhana, tapi caranya menyampaikan—tenang, datar, tanpa intonasi—membuat bulu kuduk Lauren meremang halus.
Ia mencoba tersenyum untuk mengalihkan. “Biasanya… begitu.”
Asher mengangguk pelan, masih menatapnya. “Kalau begitu, hati-hati. Hujan sering bikin trotoar licin.”
Lauren mengangguk. “Ya… terima kasih.”
Asher berbalik. Langkahnya tidak terburu-buru. Tapi Lauren tahu, tanpa harus melihat lama-lama—anak itu punya cara berjalan yang aneh:
Tenang… namun tidak benar-benar pergi.
Lauren menutup pintu rumahnya sambil menarik napas. Ia tidak tahu mengapa dadanya terasa hangat bercampur dingin. Mungkin hanya karena bantuan seseorang terasa begitu langka.
Atau mungkin karena caranya menatap tadi… meninggalkan sesuatu yang sulit diuraikan.
Dan di luar sana, di tengah hujan yang semakin pekat—Asher berjalan tanpa menoleh, tapi tangannya mengepal pelan di samping tubuhnya.
Seolah pertemuan itu bukan kebetulan.
Seolah ia sudah memperhatikannya jauh sebelum hari itu.
___
Dapur rumah itu dipenuhi aroma gurih ayam panggang dan harum bawang putih yang ditumis dengan mentega. Lauren sudah selesai memasak sejak pukul delapan malam, berharap Arga datang sebelum hidangan menjadi dingin. Ia menata meja makan dengan piring-piring putih yang bersih, menyusun sendok dan garpu sejajar, lalu duduk sebentar untuk mengatur napas.
Tapi waktu berjalan tanpa simpati.
Pukul 21.00
Lalu 21.30
Hingga 22.00
Rumah tetap sunyi—hanya suara jarum jam dan hujan tipis di luar jendela.
Lauren berdiri di depan oven yang sudah lama ia matikan, lalu membuka pintunya sedikit. Uap panas terakhir meloloskan diri. Ia memeriksa ayam panggangnya, memastikan tidak mengering, lalu menutup oven lagi dengan hati-hati. Setelah itu, ia menuju kamar mandi kecil di lantai bawah, sekadar mencuci wajah.
Air dingin menyentuh pipinya. Lauren menatap ke cermin—matanya tampak letih, bibirnya pucat, rambutnya sedikit berantakan karena aktivitas siang tadi.
"Aku hanya perlu bertahan… ini hanya masa sibuk Arga," gumamnya, mencoba menghibur diri.
Ketika ia kembali ke ruang tamu, suara mesin mobil terdengar dari luar, perlahan berhenti di depan rumah.
Lauren spontan menoleh.
Arga.
Ia buru-buru merapikan sweaternya, mematikan televisi yang sejak tadi hanya menampilkan layar diam, lalu melangkah ke pintu dengan kecepatan yang ia usahakan terlihat biasa saja.
Klek.
Ia membuka pintu.
Arga masuk tanpa menatapnya. Hujan tipis membuat ujung kemejanya sedikit lembap. Lauren tersenyum, meski senyum itu rapuh.
“Pulangnya telat lagi,” ucap Lauren lembut. “Kamu sudah makan?”
Arga melepas sepatu sambil menghela napas. “Belum.”
Jawabannya pendek. Suaranya datar. Tidak ada kehangatan yang dulu pernah menjadi bagian dari setiap kepulangannya.
Lauren menelan ludah, mencoba tetap tenang. Saat Arga menunduk sedikit untuk melepas jam tangan di pergelangan, kerah kemejanya bergeser. Dan di sana—begitu jelas meski hanya terlihat sekilas—Lauren melihat sesuatu.
Sebuah warna ungu kemerahan, samar tapi bentuknya sangat dikenalnya.
Bekas bibir.
Hickey.
Tersamar buruk di tepi leher Arga.
Darah Lauren seakan berhenti mengalir.
Ia berdiri mematung beberapa detik, sebelum menarik napas halus.
“Baik,” katanya, masih dengan suara selembut tadi. “Aku panaskan makanannya dulu.”
Ia tersenyum.
Senang, palsu, sangat rapi.
Seolah ia tidak melihat apa pun.
Arga mengangguk tanpa berkata apa-apa dan meletakkan tas kerjanya di sofa. Lauren berbalik menuju dapur, langkahnya ditahan sedemikian rupa agar tidak memperlihatkan getaran kecil di lututnya.
Sesampai di dapur, ia menutup pintu kulkas dan oven dengan perlahan, menahan napas panjang.
Dadanya—berat.
Pikirannya—penuh gemuruh yang ia paksa diam.
Tangannya—dingin, bahkan sedikit gemetar.
Ia mengambil piring berisi ayam panggang yang sudah ia siapkan sejak sore, lalu memanaskannya di microwave. Suara beep memenuhi ruang kecil itu, memecah keheningan yang sudah terlalu padat.
Lauren bersandar pada meja dapur, memejamkan mata.
Ia tidak boleh menangis.
Tidak sekarang.
Tidak saat Arga masih ada di luar sana.
Ketika microwave berbunyi dan pintunya terbuka otomatis, Lauren mengembuskan napas dan memaksakan diri kembali tenang—atau setidaknya terlihat tenang.
Ia membawa piring itu keluar.
Arga sudah duduk di meja makan, membuka kancing atas kemejanya. Bekas itu tampak sedikit lebih jelas sekarang, meski masih berusaha ia tutupi.
Lauren meletakkan piring dengan hati-hati.
“Ini makan malamnya,” ujarnya lembut.
Arga hanya mengangguk. Tidak berkata terima kasih. Tidak bertanya bagaimana hari Lauren.
Lauren duduk di seberangnya, pura-pura sibuk mengambil gelas dan botol air untuk mengalihkan pikirannya. Keheningan di antara mereka begitu tebal, seolah-olah ada tembok tak kasatmata yang berdiri, semakin tinggi setiap malam.
Arga makan cepat, mekanis. Lauren hanya mengamati diam-diam, sesekali tersenyum kecil ketika Arga mendongak, walau ia hanya mengangguk tanpa benar-benar menatap istrinya.
Setelah makan, Arga berdiri.
“Aku capek. Tidur duluan,” katanya, suaranya dingin.
Lauren mengangguk. “Iya… selamat tidur.”
Saat Arga berjalan ke arah kamar, Lauren melihatnya untuk terakhir kali malam itu—menatap punggung lelaki yang dulu menjadi tempat paling aman baginya.
Pintu kamar menutup.
Klek.
Lauren mematung di ruang makan yang sepi, menatap kursi kosong di hadapannya. Makanan dingin mulai kehilangan aroma, bergabung dengan udara rumah yang kini terlalu senyap.
Dan di titik itu, tanpa suara, tanpa air mata, Lauren merasakan sesuatu di dalam dirinya retak sedikit.
Tidak pecah.
Belum.
Tapi retak itu nyata.
Ia berdiri, membereskan piring-piring makan malam sendirian, lalu mematikan lampu dapur sebelum naik ke lantai dua.
Malamnya panjang.
Sementara suara hujan kembali turun perlahan, Lauren berbaring menatap langit-langit. Di sampingnya, ada ranjang yang terasa terlalu lebar. Terlalu kosong.
Dan untuk pertama kalinya sejak menikah, ia memejamkan mata sambil berpikir:
“Ada seseorang yang menggantikanku di hidup Arga.”
Tetapi ia tetap diam.
Ia tetap bertahan.
Belum tahu bahwa seseorang yang benar-benar akan mengguncang hidupnya…
telah menatap rumah nya dari balik jendela kamar yang gelap.
Anyway, semangat Kak.👍