Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Aira mengangguk dengan pipi sedikit memerah.
Lumpur masih belepotan tapi wajahnya… anehnya jadi manis.
Ibu-ibu dari kejauhan langsung ribut pelan.
“Hooo… ada yang ditolongin…”
“Itu namanya jodoh diselipin lumpur, Bu.”
“Hahaha!”
Aira panik, langsung berteriak,
“BI! Itu bohong semuaaa!”
Tapi mukanya makin merah.
Dan Ustadz Fathur cuma tersenyum kecil sambil berpura-pura sibuk dengan alatnya lagi
Setelah drama lumpur jilid dua selesai, Bu Maryam mendekat sambil membawa ember kecil berisi air.
“Aira… sini. Mama mau bersihin dulu wajah kamu.”
“Ma! Aku bukan anak kecil, Ma!”
“Kalau kamu bukan anak kecil, kamu nggak akan jatuh dua kali dalam satu jam.”
Bu Maryam mengusap wajah Aira memakai tangan basah. “Tuh lihat, seperti topeng lumpur.”
“Topeng wajah ini mahal, Ma…” sahut Aira sambil manyun.
“Tuh kan, masih sempat bercanda.”
Bu Maryam menepuk bahu Aira. “Udah, kamu minggir dulu, jangan di tengah bedeng. Sini duduk di pinggir. Dijemur bentar biar lumpurnya kering.”
“Dijemur? Ma… aku bukan baju.”
“Ya, kamu jangan bikin baju Mama kotor.”
“Ih Mamaaa…”
Ibu-ibu ikutan menggoda.
“Neng Aira lucu banget, ya Allah…”
“Tadi Ustadz Fathur sampai nolongin loh…”
“Jadi malu yaaa, hehehe.”
Aira langsung tutup wajahnya memakai kedua telapak tangannya.
“Diamin aku semuaaa! Aku cuma kecelakaan. Dua kali. Sedikit parah.”
Bu Maryam cuma geleng-geleng sambil ketawa. “Ayo, Ra, duduk. Jangan gerak dulu.”
Aira akhirnya duduk di pinggir pematang, menatap sawah sambil ngomel-ngomel pelan.
Tapi dari jauh, matanya sedikit melirik Ustadz Fathur yang kembali bekerja seolah tidak terjadi apa-apa.
Pipi Aira memerah sendiri. “Aduh, kenapa jadi canggung begini sih…” gumamnya.
***
Setelah selesai kerja di sawah menjelang Dzuhur, mereka pulang.
Aira langsung mandi sampai setengah jam, berendam di ember kecil, dan menggosok-gosok rambutnya berkali-kali.
Saat keluar kamar mandi, rambut masih basah, wajah bersih tanpa lumpur, tapi sikapnya… lebih diam dari biasanya.
Bu Maryam dan Pak Hadi lagi duduk di ruang tamu.
Bu Maryam langsung menyipitkan mata. “Eh, kok kamu diam?”
“Diam apaan…” Aira pura-pura santai sambil menyibukkan diri buka-buka laci.
“Kamu biasanya pulang dari sawah tuh hebohnya sampai tujuh RT dengar,” sahut Pak Hadi.
Aira merengut. “Papa ini… aku normal kok.”
Pak Hadi menahan senyum. “Gara-gara jatuh lagi?”
“Bukan.”
“Gara-gara dibercandain ibu-ibu?”
“Bukan.”
Bu Maryam mendekat sambil menahan tawa. “Oh… gara-gara seseorang nolongin kamu di sawah?”
Aira langsung memekik. “Mamaaaa! Jangan sembarangan bicara! Itu hanya kebetulan! Dia cuma nolong biar aku nggak jatuh lagi! Nggak ada apa-apanya!”
Bu Maryam makin lebar senyumnya. “Loh siapa yang bilang ada apa-apa?”
Aira langsung menutup wajah dengan bantal. “MAAAA plis lah…”
Pak Hadi duduk di sampingnya. “Ra… kalau kamu masih diam-diam begini, papa kira kamu masuk angin.”
Aira langsung berdiri. “Aku sehat! Aku cuma… ya gitu! Malu!”
“Loh, kenapa malu?” tanya Bu Maryam sengaja.
“Ya… ya… karena… pokoknya.”
Bu Maryam dan Pak Hadi saling pandang, sama-sama menahan senyum.
Aira mendengus, mengambil minum, lalu kembali ke kamarnya dengan langkah sebal... tapi telinganya masih merah.
***
Sore harinya.
Sore itu udara mulai sejuk. Warga kampung... ibu-ibu, remaja putri, dan beberapa bapak... berjalan berkelompok menuju pondok yang jaraknya sekitar dua puluh menit. Jalan yang dilalui naik turun, melewati kebun, sawah, dan pepohonan rindang.
Aira juga ikut berjalan.
Wajahnya sedikit memerah karena capek… dan karena bajunya lagi-lagi tidak sesuai untuk jalan jauh. Ia sudah tertinggal dua puluh langkah dari ibu-ibu lain.
“Ma… kok jalannya seperti naik gunung?” Aira ngos-ngosan memegangi lututnya.
“Ini masih datar, Ra,” jawab Bu Maryam santai tanpa menoleh.
“Ish… Mama kuat banget.”
Baru saja Aira mau istirahat, terdengar suara motor mendekat dari belakang.
Ustadz Fathur lewat dengan motor bebeknya, hendak menuju pondok untuk mengisi pengajian juga.
Saat melihat Aira hampir mencium tanah saking lelahnya, dia menghentikan motornya.
“Neng Aira… naik saja, bawa motor saya. Capek kalau jalan kaki pakai sepatu begitu.”
Aira mendongak, kaget. “Ustadz… dipinjemin? Itu… motor ustadz beneran?”
“Iya. Daripada kamu jatuh lagi. Pondoknya lumayan jauh.”
“Tapi aku nggak tahu pondoknya di mana.”
“Tinggal lurus ikut jalan ini. Nanti gerbangnya kelihatan kok.”
Aira memicingkan mata penuh curiga. “Ustadz… jangan PHP ya. Kamu baik banget.”
Ustadz Fathur refleks mengusap tengkuknya, malu sendiri. “Saya cuma kasihan melihat kamu kecapekan.”
Aira, tanpa pikir panjang, langsung naik ke motor. “Iya, iya… makasih, Tadz. Aku jalan dulu ya… bismillah!”
Brummm...
Aira pergi dengan motor ustadz itu, sedikit oleng kiri kanan.
Ibu-ibu langsung bersorak... antara takut, gemas, dan geli.
“Ya Allah… semoga motornya nggak nyemplung sawah,” bisik salah satu ibu-ibu.
Ustadz Fathur hanya menunduk… pasrah.
Begitu motor Aira hilang di tikungan, ibu-ibu langsung mendekat ke Ustadz Fathur sambil memandang penuh analisa jodoh.
“Taaadz…” Nada mereka sudah jelas-jelas teasing.
“I-iya, Bu?” Ustadz Fathur terlihat tegang.
“Ibu tanya ya… kalau memang anjeun suka ka Neng Aira, langsung saja ke Pak Hadi. Daripada nanti jadi fitnah.”
Ustadz Fathur tersedak udara. “Suka?? Siapa yang—yang bilang?? Saya cuma… cuma nolong!”
Ibu-ibu makin semangat. “Ah, Tadz… masa nolong sampai minjemin motor? Itu mah kode keras.”
“Bukan begitu, Bu…”
Seorang ibu lain ikut menyahut. “Bu Maryam, gimana? Kalau memang jodoh mah enak atuh. Dekat, tetanggaan.”
Bu Maryam tersenyum kalem, tapi matanya nakal. “Saya mah nggak melarang, Bu. Pintu rumah terbuka aja. Yang penting bisa nerima anak saya apa adanya.”
Ibu-ibu serempak menarik napas. “Waaaah…”
“Lampu ungu nih, Tadz…”
“Hehehe siap lamar, Tadz…”
Ustadz Fathur langsung menatap tanah, telinganya merah. “B-bukan begitu maksud saya…”
Namun ibu-ibu terus menggoda sambil berjalan lagi.
Ustadz Fathur akhirnya memilih berjalan beberapa langkah di belakang mereka, menjaga jarak aman agar tidak digosipkan lebih jauh.
Tapi… matanya sempat melirik jalan yang dilewati Aira. “Haaah… mudah-mudahan motor saya selamat…” gumamnya pelan.
Ibu-ibu mendengar itu.
“Kepikiran nganter Neng Aira yaaa?”
“Bukan! Kepikiran motornya!”
Ibu-ibu semakin ribut menahan tawa.
***
Motor Ustadz Fathur berhenti tepat di depan masjid kecil pondok. Aira menatap kanan... kiri, memastikan lagi arah yang tadi disebutkan. Gerbang pondok terlihat di samping masjid, tapi suasananya ramai sehingga Aira makin ragu.
Aira masih duduk di motor, satu tangan memegang helm, satu tangan menopang dagu.
“Ini bener gak sih tempatnya…?” gumamnya.
Baru saja ia hendak turun, tiga santri perempuan melintas dan langsung berhenti ketika mengenali motor yang Aira pakai.
Mereka saling pandang, bisik-bisik, suara cekikikan kecil muncul.
“Eh, itu motor Ustadz Fathur, kan?”
“Iya, bener!”
“Siapa perempuan itu?”
Aira yang sedang bad mood sejak perjalanan naik turun bukit, langsung melayangkan tatapan tajam. “Apa sih kalian? Mau punya Ustadz Fathur juga gak masalah. Motor ini dia yang kasih pinjem. Rela jalan kaki pula.”
Nada suaranya ketus, tapi tetap dengan gaya blak-blakan khas Aira.
Santri berkerudung merah muda... yang paling vokal, dan jelas menyimpan rasa pada Ustadz Fathur... melipat tangan di dada.
“Gak mungkin! Ustadz Fathur gak begitu.”
Aira mengedikkan bahu santai.“Buktinya ini.” Ia menepuk jok motor.
“Dia yang ngasih sendiri. Saya gak maksa, ya.”
Santri itu maju setengah langkah, menatap Aira dari atas sampai bawah.“Pasti kamu genit sama beliau.”
Bersambung