Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Meski pagi itu cerah, Quin tidak bisa merasa semangat. Cahaya matahari yang menembus tirai tipis putih di kamarnya seolah tidak bisa menembus kabut kusut dalam kepalanya. Kamar bernuansa pink itu terlihat berantakan—baju-baju menumpuk di kursi belajarnya, lembaran-lembaran partitur musik berserakan di lantai, dan boneka-boneka hadiah dari fans kecilnya di IF TV menatap kosong ke arah tempat tidur. Di sudut meja, piala kecil lomba vokal pertamanya di SMP tampak berdebu. Quin menatapnya hampa.
Ia terbaring menatap langit-langit kamar beberapa menit, merasakan dada yang berat seperti tertekan beban yang tidak terlihat. Kelopak matanya masih panas, entah karena kurang tidur atau terlalu banyak menahan tangis. Ketika alarm berbunyi untuk kedua kalinya, ia memaksakan diri untuk bangun, menyeret kakinya menuju kamar mandi. Air dingin yang menyentuh wajahnya tidak mampu membangunkan semangatnya—hanya membuatnya merasa semakin kosong.
Di meja makan, suasana tampak hangat, tapi Quin merasa seolah duduk jauh dari dunia itu. Mamanya sudah menyiapkan roti panggang dan telur mata sapi, aroma mentega memenuhi ruangan. Papa duduk dengan koran pagi, sementara televisi menampilkan berita pagi dengan suara rendah. Semua terlihat normal, kecuali dirinya yang seperti berada di balik kaca tebal yang mengurung.
Mamanya tersenyum kecil, mencoba terdengar berhati-hati.
“Quin, tadi Mama ditelepon Pak Jo, produser IF TV,” katanya sambil menuangkan jus jeruk ke gelas Quin. “Katanya beliau suka banget sama penampilan kamu minggu lalu. Sekarang lagi nyariin produser musik buat kamu.”
Quin berhenti mengaduk jusnya. Tangannya bergetar pelan.
“Jadi,” lanjut Mama dengan mata berbinar, “kalau pun kamu nggak menang YAMI, kamu tetap akan dibuatkan lagu duet sama Arka. Ini kesempatan besar, Quin.”
Kesempatan besar.
Kata-kata itu bergema dalam kepalanya seperti gema kosong di ruangan yang luas. Di dalam hati, Quin ingin menolaknya. Ia ingin mengatakan bahwa semua itu tidak berarti apa-apa tanpa dukungan Dima, tanpa latihan yang seharusnya dilakukan bersama, tanpa perasaan bangga yang biasanya muncul saat bernyanyi dari hati. Tapi mulutnya terasa sulit bergerak. Tidak ada energi untuk bersuara.
Dia hanya diam. Menunduk. Menatap telur di piringnya tanpa selera.
Papa mengamati Quin beberapa detik, wajahnya berubah khawatir. Tapi ia tidak bertanya apa pun. Ia hanya menepuk bahu Quin pelan dan berdiri sambil berkata, “Yuk, Pa antar ke sekolah.”
Perjalanan ke sekolah terasa lebih senyap dari biasanya. Aroma penyegar mobil yang biasanya menenangkan justru membuat Quin mual. Ia menyandarkan kepala di jendela kaca, menutup mata. Jalanan yang hanya sepuluh menit saja terasa seperti perjalanan panjang melelahkan. Di tengah keheningan mesin mobil, Quin tertidur begitu saja—seakan tubuhnya menyerah pada rasa lelah yang menumpuk.
“Quin… sudah sampai.”
Suara Papa terdengar samar saat menepuk bahunya pelan.
Quin membuka mata dengan lambat. Kelopak matanya terasa berat. Ia turun dari mobil tanpa banyak bicara, hanya melambaikan tangan singkat pada Papanya. Angin pagi menyentuh wajahnya dingin, menusuk sampai ke tulang. Ia berjalan menuju gerbang sekolah dengan langkah pelan, tidak menoleh sedikit pun ke arah warung Bu Neneng.
Padahal dari kejauhan, di bangku panjang warung itu, Dima dan gengnya sedang duduk. Suara tawa mereka terdengar berbaur dengan suara motor siswa yang baru datang. Dima menatap layar hapenya sambil bermain game, jarinya bergerak cepat.
“Wih, puisi lo langsung jadi nomor satu,” kata Givan dengan nada kagum.
“Nggak tau gue. Nggak peduli.”
Dima menjawab tanpa mengangkat wajah, matanya terpaku pada layar.
“Gara-gara Quin kan?” tanya Jejen sambil menyikut lengan Dima.
“Iya lah, siapa lagi?” sahut Danu, mata melirik tajam ke arah sekolah, mencari siluet Quin. Tapi Dima tidak bereaksi. Wajahnya datar, namun ada sesuatu di matanya—seperti amarah yang dipendam terlalu lama atau rasa sakit yang tidak diakui.
Sementara itu, Quin melangkah melewati lorong sekolah. Dinding putih yang biasanya hangat oleh poster kegiatan sekolah dan karya seni kini tampak dingin seperti tembok rumah sakit. Suara langkah kaki siswa lain terasa bergema terlalu keras. Setiap tatapan yang diarahkan padanya terasa menusuk.
Minggu lalu, tatapan itu penuh pujian. Orang-orang tersenyum, menyemangati, berbisik kagum. Tetapi hari ini, tatapan mereka seperti mengandung tuduhan. Ada yang berbisik sambil menatap sinis, ada yang menunduk menghindar. Quin menggigit bibirnya, menahan napas. Dadanya terasa sesak.
Apakah karena hate komen di medsos?
Kemarin malam, ia takut untuk membuka ponselnya. Notifikasi komentar membludak—tapi ia tidak sanggup melihatnya. Ketakutannya membesar seperti lubang hitam.
Ia memasuki kelas. Ruangan itu penuh cahaya dari jendela besar, tapi tetap terasa suram. Meja-kursi kayu disusun rapi seperti biasa, papan tulis penuh coretan jadwal latihan lomba sastra. Namun rasanya hampa.
Nisa sudah duduk di kursi sebelahnya. Begitu melihat Quin datang, Nisa langsung bersandar ke arah Quin.
“Quin! Lo udah denger belum? Puisi Dima juara satu! Kalau bertahan sampai akhir minggu, dia bakal menang.”
Quin menunduk, menggenggam pulpen erat-erat. “Karena aku ya...” gumamnya pelan.
Nisa mengangguk cepat, senyumnya cerah. “Iyalah! Abis lo promosikan kemarin di YAMI. Keren banget, Quin! Lo bikin dia viral!”
Tapi Quin justru merasa perutnya mual.
Ia tidak merasa bangga. Ia merasa bersalah. Ia tidak bermaksud membuat Dima jadi bahan perhatian besar, apalagi sampai seperti ini. Semua rasa kagum itu justru terasa seperti pisau.
Beberapa detik kemudian, suara gaduh dari pintu kelas terdengar. Dima dan gengnya masuk dengan gaya biasa—ramai, santai, seolah dunia mereka baik-baik saja. Tawa mereka terdengar memenuhi ruangan, tapi rasanya kaku.
Seolah-olah semuanya berubah menjadi orang asing.
Seolah tidak pernah saling mengenal.
Quin refleks memalingkan wajah. Ia pura-pura sibuk merapikan buku, menata pensil berkali-kali meski sudah lurus. Jantungnya berdebar tidak karuan, namun wajahnya dipaksakan biasa.
Dima duduk di kursinya tanpa menoleh ke arah Quin. Ia mengangkat kakinya ke kaki meja, tertawa bersama teman-temannya, bercerita sesuatu yang sengaja dibuat lucu. Sesekali ia melirik ke arah jendela, menghindari arah tempat Quin duduk.
Tidak ada sapaan.
Tidak ada tatapan.
Tidak ada apa pun.
Yang tersisa hanyalah jarak.
Jarak yang lebih dingin daripada angin pagi, lebih tajam daripada komentar kebencian yang belum ia baca.
Dan entah mengapa, itu terasa jauh lebih menyakitkan.
queen Bima
mantep sih