apa jadi nya semula hanya perjalan bisnis malah di gerebek paksa warga dan di nikahi dwngan ceo super galak???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fuji Jullystar07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 24
Calista melambaikan tangan di depan wajah Arsenio.
" Arsen... Arsen... Arsen..." bisiknya pelan, mencoba menyadarkannya dari lamunan.
Arsenio tersentak ringan, matanya kembali fokus.
" Ya? " sahutnya singkat.
" Kamu dari tadi melamun, kenapa? " tanya Calista dengan nada khawatir.
" Enggak, nggak apa-apa. Udah malam, dingin juga. Ayo kita balik ke rumah," ucapnya sambil melepas jaket dan memakaikannya ke tubuh Calista.
Calista tak menjawab, hanya mengikuti langkah Arsenio dalam diam.
Sepanjang jalan mereka tenggelam dengan pikiran masing masing.
Sesampainya di depan kamar arsenio, Calista bertanya pelan.
" Arsen, aku tidur di kamar mana? "
" Sekamar, " jawab Arsenio tenang sambil membuka pintu dan melangkah masuk.
Calista tertegun di ambang pintu.
" Kamu nggak bercanda, kan? Aku nggak mau..." gumamnya gugup.
" Ayo masuk dulu. Jangan ribut, nanti Kakek bisa dengar, " bisik Arsenio dengan tenang.
Dengan ragu, Calista akhirnya melangkah masuk.
Begitu pintu tertutup, aroma lembut kayu dan hawa dingin menyambutnya.
Kamar itu terasa sunyi tapi hangat, seperti menyimpan banyak hal yang tak terucap.
Di tengah ruangan, ranjang besar dengan desain rendah berdiri mencolok.
Seprai abu-abu pucat terhampar rapi, dibalut selimut gelap yang tampak lembut dan tebal. Tumpukan bantal besar tersusun rapi, seperti benteng sunyi yang menunggu penghuni.
Cahaya kekuningan menembus celah langit-langit, memeluk ruangan dalam kehangatan lembut.
Panel hitam vertikal menghiasi dinding di belakang ranjang, menciptakan kesan dalam dan misterius.
Sebuah cermin besar di sisi kanan memantulkan suasana tenang dengan kesan elegan.
Di dekat jendela, sebuah kursi santai berdiri tenang, dikelilingi rak kecil dengan vas dan ornamen hitam keperakan.
" Aku tidur di mana? " tanya Calista pelan.
" Di ranjang, " jawab Arsenio santai.
" Terus kamu? "
" Ya di ranjang juga."
Calista memandang Arsenio tak percaya. Serius? Mereka harus tidur di ranjang yang sama?
" Aku tidur di bawah aja. Ada selimut cadangan? " ujarnya sambil membuka lemari dan mulai mencari-cari.
" Tenang aja, aku nggak akan ngapa-ngapain. Tapi kalau kamu ribut terus, nanti Kakek malah curiga," Kata Arsenio sebelum masuk ke kamar mandi.
Calista menghela napas panjang, merasa kesal dan bingung.
Beberapa menit kemudian arsenio keluar kamar mandi dengan handuk melilit di pinggang.
Tubuh nya basah,rambutnya meneteskan air ke perut sixpacknya, bahu nya lebar.
Calista menelan ludah terpesona.
Saat Arsenio tersenyum, Calista langsung salting, buru-buru menutup mata meski tidak rapat dan lari masuk ke kamar mandi.
Arsenio hanya tersenyum melihat tingkahnya. Ia menggeleng pelan lalu mengambil pengering rambut.
Setelah rambutnya kering, ia duduk di tepi ranjang.
Di tangannya, buku lama yang sudah ia baca berkali-kali.
Tapi matanya terus melirik ke arah pintu kamar mandi.
Calista tak kunjung keluar.
Untuk mengalihkan gugup, Arsenio mulai push-up kecil di atas karpet, mencoba menenangkan diri.
Ia menjadi menarik napas dalam-dalam, senyum tipis terbit di wajahnya.
Semua ini sudah ia atur. Ia sengaja menelpon kakeknya dan mengajak Calista menginap di mansion, sebagai cara untuk berbaikan setelah pertengkaran terakhir.
Ia bahkan sengaja mengeluarkan semua sofa dan selimut cadangan dari kamar, karena tahu Calista pasti enggan sekasur dengannya.
Pintu kamar mandi akhirnya terbuka perlahan.
Calista keluar dengan rambut basah terbungkus handuk. Ia berjalan cepat ke meja rias, berusaha cuek dan fokus sendiri.
Arsenio berdiri, menyimpan bukunya, lalu berjalan mendekat.
"Kamu butuh bantuan?" tanyanya lembut.
Calista menoleh, sedikit terkejut, tapi tidak menolak.
"Kalau kamu nggak keberatan," jawabnya singkat.
Arsenio meraih handuk, lalu mulai mengeringkan rambut Calista dengan hati-hati. Tangan mereka hampir bersentuhan, tapi keduanya menahan diri.
Sunyi. Hanya suara handuk mengusap rambut yang terdengar.
" Aku ambilkan dulu pengering rambut " Ucap arsenio merek saling tatap di cermin dan Calista hanya nganguk.
Setelah rambutnya kering, Calista kembali ke ranjang.
Ia berdiri di tepinya, memandang bantal-bantal besar yang tertata rapi dan Arsenio yang sudah berbaring membelakangi sisi tempat tidur
"Udah malam," ucap Arsenio pelan, suaranya terdengar lelah tapi tenang.
Calista ragu sejenak, lalu naik ke ranjang, perlahan-lahan, seperti takut mengganggu.
Calista menyusun guling menjadi pembatas lalu ia berbaring sejauh mungkin dari Arsenio, hampir menyentuh sisi ranjang.
Punggungnya kaku, matanya menatap langit-langit.
Degup jantungnya berdetak dengan cepat
Beberapa menit berlalu.
Hening.
Lampu sudah dimatikan, tapi Calista masih terjaga. Napas Arsenio terdengar tenang di balik punggungnya.
Kenapa jantungku deg-degan gini sih?'pikirnya sambil menarik selimut sampai ke dagu.
" Anggap saja kamu tidur dengan kucing atau sebatang bambu "
Pelan-pelan, rasa kantuk mulai mengambil alih.
---
Pagi datang dalam warna keemasan yang lembut.
Calista membuka matanya perlahan, mengerjap.
Tapi sebelum ia benar-benar sadar, sesuatu terasa hangat. Calista lebih merapatkan lagi mencari ke hangatan.
Tangannya meraba raba sesuatu kenapa guling nya keras dan berotot, Calista meremas remas ini bukan seperti gulingnya, seperti manusia.
Tunggu!
Ia menoleh pelan dan jantungnya langsung terpeleset.
Arsenio.
Wajahnya begitu dekat.
Satu lengannya melingkar lembut di pinggang arsenio, sementara tangan nya sendiri menempel di dadanya.
Mereka… saling berpelukan.
Sekejap, napas Calista tercekat. Ia tidak berani bergerak. Matanya membulat panik. Tapi Arsenio masih terpejam, napasnya teratur. Mungkin belum bangun.
Calista buru-buru menarik tubuhnya pelan-pelan, mencoba menjauh tanpa suara. Tapi baru beberapa sentimeter, suara berat Arsenio terdengar.
"Udah bangun?"
Calista langsung membeku.
"I-iya. Maaf… aku nggak tahu kenapa bisa… gini," ucapnya terbata.
Arsenio membuka matanya, menatap Calista. Wajahnya tenang, tapi ada senyum kecil di sudut bibirnya.
"Nggak apa-apa. Kalau nyaman, nggak usah jauh-jauh juga nggak masalah."
Calista membuang muka, wajahnya memerah.
"Aku... nggak sengaja."
"Kalau gitu," Arsenio mengangkat alis santai, "besok sengaja aja." Goda Arsenio sukses bikin pipi Calista memerah dengan langkah terburu buru ia berlari ke arah toilet.
" Astaga apa yang terjadi tadi,sangat memalukan" Calista menutup muka nya yang memerah, masih ia rasakan sisa pelukan Arsenio hangat dan nyaman,
" Sadar lah Calista " Calista langsung tersadar dan mengelengkan kepala lalu menyikat gigi nya dengan kasar menyalurkan rasa kesalnya.
______
Calista keluar dari kamar mandi dengan rambut basah yang mulai kering, mengenakan hoodie kebesaran yang dipinjam dari lemari Arsenio kebetulan hari ini hari weekend.
Wajahnya masih sedikit merah, tapi lebih tenang.
Di luar dugaan, Arsenio sudah rapi. Kemeja kasual digulung di lengan, rambut masih agak berantakan tapi justru terlihat lebih memikat. Ia sedang berdiri di ambang pintu kamar, menyender santai.
"Kakek udah nunggu di meja makan," katanya ringan.
Setelah mereka siap Calista dan Arsenio turun kebawah untuk sarapan.
" Wah serasa jadi nyonya yah gak lihat jam berapa sekarang? " Sindir nina begitu melihat Calista mendekati ruang tamu.
Calista hanya terdiam.
" Bibi Nina lebih baik diam dari pada bicara gak berguna " Ucap Arsenio tajam membuat suasan di ruang makan menjadi dingin.
" Sudah sudah Arsen Calista duduk,ayo kita makan, wajar Nina mereka telat karna pengantin baru yang masih mesra mesra nya. " Kakek menengahi pertengkaran ia tak mau pagi pagi udah pada ribut aja.